21. Sisi Lain

1.7K 102 0
                                    

Aku masih tidak habis pikir, ada apa dengan Dave. Hari ini dia terlihat biasa saja, seperti melupakan percakapan kami tadi malam. Ada apa ini, Dave? Ini teka-teki yang tidak bisa kuterka.

“Berangkat sekarang, Sya?” tanya Dave.

Aku menatapnya sejenak, kemudian mengangguk. “Iya. Aku ada kelas jam 9.”

Dave sengaja datang sepagi ini, karena Abi yang menghubunginya. Satu lagi yang mengganggu pikiran Risya, apa Dave sudah tidak sakit? Meski terlihat sedikit pucat, tapi dia tidak bersikap layaknya orang sakit.

“Kamu sudah sembuh?” tanyaku padanya. Saat ini kami sudah berada di dalam mobil, di jalan menuju kampusku.

Dave tersenyum simpul.

“Kamu lihat aku ada di sini sekarang, berarti aku baik-baik saja.”

“Harusnya kamu istirahat saja, jangan memaksakan diri untuk mengantarku. Lagian, tidak semua kemauan Abi harus kamu penuhi.”

“Iya. Aku tahu. Dan bukan berarti juga, hanya karena demam, aku akan membiarkamu membawa mobil dan mencelakakan dirimu.” Dave seperti meragukan kemampuanku mengemudikan mobil sendiri.

“Aku masih ingin hidup, aku tidak mungkin mencelakakan diriku sendiri.” sergahku.

Dave mengangkat bahu acuh, ia pun fokus pada jalanan.

“Dave. Yang semalam, apa...” belum selesai berucap, Dave sudah mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk tidak melanjutkan ucapanku.

“Jangan bahas itu. Aku sudah bilang, kita jalani saja seperti ini. Ada saat di mana kamu akan mengerti dengan semua ini, Sya.” aku melihat Dave seperti orang yang tengah menanggung beban.

Aku menarik napas dalam, kembali menatap ke arah Dave setelah tadi memalingkan pandang.

“Jangan memendam semuanya sendiri, Dave. Aku tidak mau kamu jatuh sakit hanya karena sesuatu--yang tidak kuketahui, yang kamu sembunyikan dariku rapat-rapat.”

“Aku akan merasa baik, jika kamu selalu bahagia, Sya.” aku kembali membuang napas, rasanya Dave akan membuat terus-terusan merasa bersalah.

“Terima kasih, Dave.”

Hm. Iya. Asal kamu jangan pernah lagi membahas kesepakatan sepekan itu.”

“Tapi, Dave... Kamu curang!”

Dave terkekeh. “Aku tidak pernah ingin menarikmu ke dalam hidupku dengan paksa, Sya, hanya saja keadaan yang memaksa kita melakukan ini.”

“Apa susahnya, sih, bilang ke aku apa yang kamu sembunyikan?”

“Sekarang bukan waktu yang tepat.”

Lebih baik diam. Melanjutkan untuk bertanya, sepertinya bukan pilihan yang tepat.

Dave menurunkanku di area parkir depan fakultas. Dan seperti biasa, dia baru akan pergi saat aku sudah masuk kelas.

Hari ini sepi, sahabatku tidak masuk kelas. Nindi sedang ke luar kota katanya, Aya sedang liburan, dan Sistia sedang menemani Neneknya check up ke rumah sakit. Jadinya, sepi.

Kelas berakhir tepat saat waktu memasuki waktu Asar. Jadi, aku memutuskan untuk salat dulu ke musala--di samping aula fakultas.

****

Sedari tadi aku tidak hentinya tertawa. Dave mengajakku ke panti asuhan, dan sampai di sini, dia langsung berbaur dengan anak-anak panti. Dave terlihat bahagia, dia tak hentinya tertawa lepas dengan tawanya itu juga menular padaku.

“Muka kamu lucu tahu, Dave!” aku berusaha menahan tawaku agar tidak lepas, pasalnya digendonganku sedang ada bayi cantik yang lucu. Ya Allah, menggemaskan sekali bayi ini.

Setulus Rasa (END)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang