Enam

5.3K 323 3
                                    

Disebuah kamar besar yang didominasi dengan warna maroon dan gold itu terdapat seorang wanita paruh baya yang tengah larut dalam pikirannya, mata indah itu menatap kosong jendela besar dihadapannya. Terlalu asyik dengan pemikirannya sampai tidak menyadari seorang pria paruh baya yang masih terlihat gagah sudah berdiri tepat dibelakangnya

"memikirkan apa, hemm?" mendengar suara bariton yang tiba-tiba membuat wanita paruh baya tadi terperanjat kaget

"Mas.. Ish bukannya salam dulu malah ngagetin orang.." rajuknya seraya menarik tangan kanan suaminya, mencium punggung tangan itu dalam sembari meresapi belaian lembut dari sang suami dikepalanya.

"Aku sudah mengucapakan salam dari tadi, Sayang.. Kamu saja yang terlalu asyik melamun sampai tidak mendengar salamku.." wanita paruh baya itu melepaskan tangan suaminya sembari tersenyum lucu

"Maaf Mas, wa'alaikumsallam.. Sudah makan mas?" tanya wanita paruh baya itu seraya membukakan dasi dan kancing kemeja suaminya, rutinitas yang selalu dia lakukan setiap hari

"Sudah tadi aku makan bersama klien.. Kamu belum jawab pertanyaanku Sayang, kamu mikirin apa, hmm?" pertanyaan itu bertepatan saat wanita paruh baya tadi selesai melepas kancing kemejanya, tanpa menjawab dia memilih beranjak ke lemari pakaian mengambil baju untuk sang suami

"Nanti aja bahasnya, Mas mandi dulu sana.." peritahnya halus disertai senyuman manis, tentu saja tidak dapat ditolak oleh sang suami. Terbukti dari pria itu yang mulai bergerak melepas pakaiannya, mengecup sebentar kening sang istri lalu beranjak ke kamar mandi yang berada disudut kamar besar itu

Alunan gemericik air dari arah kamar mandi mengiring wanita paruh baya itu kembali larut dengan pemikirannya, sungguh hatinya gelisah ketakutan yang selama bertahun-tahun terbukti sudah.

Sebenarnya tidak ada yang salah, tapi entahlah lagi-lagi sebagian dirinya menentang keras untuk menyetujui perasaan Anaknya dan keponakan yang juga sudah seperti anak sendiri baginya

"Aku tidak suka diabaikan, Sayang.." suara bariton dibarengi oleh tangan besar yang tiba-tiba melingkar dipinggangnya kembali menyentak Sabil, wanita paruh baya itu memukul pelan tangan sang suami yang bertengger di perutnya

"kasian Jantung aku tau Mas.." rengek Sabil seraya menyandarkan kepalanya didada bidang Edgar

"kamu juga siapa suruh melamun.. Mikirin apa, hem?" Sabil tidak langsung menjawab, memilih melepaskan diri dari belitan sang Suami lalu menarik lembut Edgar untuk mengikutinya ke Soffa yang ada disudut kamarnya

"Ada apa?"

"Sandy, Mas berteman dekat dengan Orangtua Sandy kan?" pertanyaan Sabil justru membuat Edgar menyernyit bingung, tidak biasanya istrinya ini menanyakan teman-temannya

"Andy dan Ferra? Tentu saja.. Andy temanku sejak masih kecil dulu.. Tapi Ada apa?" Sabil tampak menghela nafas sebentar lalu menggenggam tangan Edgar lembut

"Bisa kita atur perjodohan antara Roro dan Sandy? Lebih cepat Roro menikah lebih baik.." ujar Sabil dari ekspresinya Edgar bisa mengetahui ada sesuatu yang mengganggu Istrinya itu

"Kenapa buru-buru? Aku baru saja melepas tanggung jawabku untuk Erina kepada suaminya Lima bulan lalu, Sayang.." Sabil melepas genggaman tangan suaminya, beralih memilin ujung bajunya tanda kegelisahan, gelisah karena Edgar sepertinya tidak setuju dengan idenya

"Terbukti Mas.. Kecurigaan kita sejak dulu terbukti.. Bahkan Erina juga menyadari perasaan Edo terhadap Roro.." lirih Sabil nafasnya memburu menunjukan kegelisahannya. Pria paruh baya itu menegang sesaat, setelah bisa menguasai dirinya, Edgar menggerakan tangan besarnya kebahu sang istri mengelus lembut guna menenangkan

"Lalu kamu mau menjodohkan Roro dengan alasan itu? Dengar Sayang, kita sama-sama tau rasanya tidak direstui dan dipisahkan.. Aku tidak mau anak-anakku mengalami itu.." Edgar menjeda kalimatnya, menghirup nafas dalam, berusaha mengabaikan tatapan tidak suka dari Sabil "Lagipula kalaupun Edo memiliki perasaan itu, aku rasa tidak ada yang salah toh mereka juga bukan saudara kandung--"

"Mas!"

Edgar melanjutkan kalimatnya tanpa menanggapi Sabil yang hendak protes "Dengarkan aku dulu.. Aku tidak mau Roro menjadi korban perasaan Edo.. Hanya karena Edo mencintainya lantas dia harus mengorbankan masa mudanya dengan perjodohan, Tidak.. Aku pikir lebih baik kita cari tau dulu apakah Roro juga memiliki perasaan yang sama dengan Edo, kalau memang benar.. Aku minta kamu mencoba menerima itu tapi kalau tidak aku rasa sudah bukan masalah lagikan, bagaimana?"

Sabil menitihkan airmata dalam diam, wanita paruh baya itu dilanda dilema yang amat besar, sebagian hatinya menjerit tak terima keputusan Edgar tapi logikanya mengatakan ucapan Suaminya ada benarnya juga. Akhirnya yang bisa wanita paruh baya itu lakukan hanya mengangguk menuruti perkataan suaminya seraya berdo'a agar ketakutannya tidak terjadi.

(っ´▽')っ💙(っ´▽')っ

Seorang pemuda tampan mundur beberapa langkah dari depan pintu besar yang sedikit terbuka, jantungnya berdebar cepat, kepalanya pening dan kakinya terasa lemas. Tangannya mengepal erat sebuah map yang ada ditangannya

Niat awalnya adalah dia ingin menyerahkan dokumen sang Papa yang diantar kurir perusahaan tadi, tapi malah tidak sengaja mendengar percakapan orangtuanya, dia marah bukan pada Mamanya yang berniat memisahkannya dengan gadis pujaannya tapi dia marah pada dirinya sendiri karena sudah membuat malaikatnya tertekan.

Ya, bagi Pria itu sang Mama adalah malaikat dalam hidupnya, malaikat yang merawatnya dengan penuh kesabaran, selalu menyayanginya seperti sayang Ibu ke anak kandungnya, dan malaikat yang tak pernah lelah menggenggam tangannya dalam kesakitan atau ketakutan, menguatkannya, menasehati serta mendidiknya

Dan sekarang Malaikatnya tertekan karena perasaannya terhadap orang yang sudah seperti kakak baginya,tidak ada yang salah memang tapi seperti yang diucapkan kakak sulungnya kemarin siang semua tidak mudah, Mamanya tidak akan mudah menerima kenyataan itu. Dan yang paling penting bagi Pria itu sekarang adalah Mamanya. Dia memang mencintai gadisnya tapi cintanya pada sang Mama jauh melebihi apapun

Pria itu mengurungkan niatnya untuk menyerahkan Map itu kepada Papanya, memilih untuk menaruh map tersebut diatas meja nakas dekat ruang keluarga lalu beranjak ke kamarnya tapi baru saja langkahnya sampai dianak tangga ke lima telinganya menangkap suara tangisan dan suara seseorang bicara, tidak terlalu jelas memang karena tersamar dengan suara gemuruh hujan yang cukup deras

Berdasarkan rasa penasaran yang tinggi, pria itu berbalik badan melangkah perlahan kearah pintu utama rumahnya seolah suara langkahnya akan membuat mangsa buruannya kabur

"Gue capek Sa.. Gue capek!! Gue selalu pengen keluarga kayak keluarga lo.. Gue pengen ngerasain hangatnya keluarga.. Hiks.. Tapi.. Tapi.."

"Gue harus apa Sa? Gue pengen keluar dari rumah itu... Gue pengen hidup gue tenang.."

Pemuda tampan itu mematung di ambang pintu rumahnya, menatap lurus tubuh mungil yang bergetar hebat didalam dekapan sang Adik. Tiba-tiba saja dia merasa sekitarnya menjadi hening yang ada hanya isakan pilu gadis itu dan suara-suara aneh dari dalam dirinya

Ini ni dia.. Inilah jawabannya..

inilah kesempatannya untuk membahagiakan dan mengangkat beban dari punggung sang Mama.


🆙🆙🆙

Tbc

Hey.. Aku up lagi nih..

Maaf ya aku baru bisa up lagi, tugasku makin menggunung hiks...

Vote dan Comment jangan lupa yaa biar aku semangat meneruskan cerita ini hohoho

Love Zat 💙

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang