Sepuluh

5.3K 267 6
                                    

     Di sebuah ruangan yang cukup luas dengan beberapa belas meja yang diatur sedemikian rupa hingga tersusun rapih itu tampak sunyi, sebagian besar dari meja-meja itu kosong karena pemiliknya sudah pergi ke kelas-kelas untuk mengajar, hanya ada beberapa meja yang tampak terisi dan mereka semua larut dalam kegiatan mereka masing-masing

Di kesunyian ruangan itu terdengar helaan nafas berat berkali-kali dari seorang wanita berkacamata, masih cukup muda usianya mungkin masih di dua puluh akhir, Dia mengetuk-ngetukan pensil yang ia pegang pada kepalanya seolah dengan begitu otaknya bisa bekerja

Sekali lagi wanita berkacamata itu menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan keras, melepas kacamatanya dengan gerakan dramatis lalu menaruh kasar diatas meja kerjanya

Wanita itu mendongak menatap seorang remaja putri yang berdiri didepan mejanya sembari menunduk, dia sendiri sudah putus asa bingung harus bagaimana lagi membantu menyelesaikan masalah muridnya ini, huft salah satu tugas wali kelas yang sangat membebaninya.

"Sering telat datang ke sekolah, laporan dari beberapa guru karena tidur saat pelajaran, nilai-nilai yang terus menurun, tiga kali Orangtuamu tidak datang saat dipanggil.. Bagaimana lagi saya harus membantu kamu Thifa?" lirih wanita itu lemah, terdengar seperti nada putus asa

"Orangtua saya sibuk bu.. Saya mohon maaf tapi saya janji akan berusaha berubah.." sahut Thifa pelan namun masih bisa di dengar sang guru dan seorang pria yang berdiri beberapa meja darinya

"Apa tidak bisa sehari saja orangtua kamu menyempatkan untuk hadir? Atau apa tidak ada wali lain yang bisa datang? Kalau ibu guru BP mungkin ibu bisa menerima asal ada perubahan dari kamu, tapi kamu tau sendiri Bu Nimar... Coba biar Ibu yang bicara minta nomer telpon orangtua kamu, bukan asisten Mama kamu.." ujar wali kelas Thifa, membuat gadis itu makin meremas jemarinya

"Ti-tidak perlu bu biar saya yang bicara lagi sama orangtua saya, Bu.." cicit Thifa, Wali kelasnya menghela nafas lalu mengangguk dan mengizinkan gadis itu kembali ke kelasnya

Begitu keluar dari ruang guru Thifa disambut oleh tatapan penuh arti milik Esa, tadi pria itu diminta mengumpulkan tugas teman kelasnya dan menyerahkan ke ruang guru. Begitu melihat Thifa dan mendengar sedikit masalah gadis itu Esa memutuskan untuk tidak kembali kekelasnya dan menunggu Thifa di depan ruang guru

"Ngapain disini, Sa?" tanya Thifa sedikit terkejut mendapati kakak kelasnya didepan ruang guru padahal saat ini jam pelajaran masih berlangsung

"Di panggil Bu Inggit lagi?" tidak menggubris pertanyaan Thifa, Esa justru balik bertanya

Thifa tampak salah tingkah beberapa saat sebelum akhirnya terkekeh geli, ekspresinya yang murung berubah ceria walaupun itu tidak sampai matanya "Iya, hehehe.. Gue heran juga deh kenapa ya Bu Inggit itu suka banget manggil gue.. Gue rasa ya beliau itu--"

"Kalau gue ga heran.." sela Esa sebelum celotehan tidak jelas Thifa selesai, mata gadis itu mengerjap lucu beberapa kali "Kenapa?" pertanyaan bodoh yang keluar dari bibir mungilnya

"Ortu lo ga dateng lagi, kan? Okey tenang aja serahin sama gue.." putus Esa lalu berbalik badan dan meninggalkan Thifa yang kebingungan dengan sikapnya.

(っ´▽')っ💙(っ´▽')っ

Kalau tidak ingat kini sedang ada dimana mungkin Thifa akan nangis sejadi-jadinya sekarang, andai saja bisa ingin rasanya gadis itu menghilang dari muka bumi ini sekarang juga. Malu, marah, kesal, terharu semua bercampur menjadi satu didadanya, menciptakan sesak yang sedari tadi berusaha dia tahan

Esabillo, satu nama itulah yang menjadi tujuannya setelah berhasil bebas dari ruangan ini, dalam hati dia bertekat akan menghajar habis-habisan kakak kelasnya itu karena sudah menempatkan dia didalam situasi yang menyebalkan ini.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang