Duapuluhdelapan

4.7K 273 11
                                    

     Aku makin menyembunyikan diriku dibalik pilar besar depan lobby gedung megah ini saat sebuah mobil yang sangat aku kenal melintas menuju gerbang keluar apartment. Memandang nanar kepergian mobil itu bersama sang pemilik bersama wanita barunya.

Tawa sumbang keluar dari bibirku, menertawakan kebodohanku karena sudah menunggu pemilik mobil yang baru saja melintas itu, aku kira kemarahan dan kata-kataku tadi akan membuat priaku sadar dan memilih untuk tetap disisiku. Tunggu... Priaku? Hah pantaskah aku masih menganggap pria itu adalah milikku sedangkan kenyataan sungguh diluar ekspektasiku.

Sejak awal pria itu bukan milikku, seperti yang dikatakan mba Roro beberapa bulan lalu saat kakak iparku itu pergi dari rumah, aku hanya orang ketiga yang hadir diantara dua orang yang saling mencintai, awalnya aku tidak begitu mengerti tapi akhirnya kini semua jelas untukku Mba Roro mencintai Mas Edo dan begitupun sebaliknya

Tanpa bisa ku tahan aliran sungai kecil mulai mengalir dari sudut mataku saat kenyataan itu berhasil menghantam hatiku bertubi-tubi, aku tidak bisa lagi menahan kegalauan hatiku. Aku tersakiti karena harapan yang aku buat sendiri, harusnya aku tidak menghadirkan perasaan ini, harusnya aku tetap pada komitmen awal pernikahan konyol ini terjadi, sehingga aku tidak akan terluka seperti sekarang.

Tapi apa mau dikata nasi sudah menjadi bubur menyesalpun tidak akan membuat semua kembali ke tempat semula bukan? yang harus aku pikirkan sekarang adalah cara melanjutkan hidupku kedepannya, kehidupan baru dengan keadaan dan status baru. Yah hanya itu yang harus aku pikirkan sekarang.

Setelah beberapa menit menenangkan diri aku memutuskan kembali kerumah orangtua suamiku, suasana lumayan sepi hanya suara beberapa orang berbincang lalu tak lama suara tawa samar terdengar dari ruang kerja Papa Edgar, mungkin sedang ada rekan kerja Papa yang dimaksud Mama tadi.-pikirku. Tidak mau membuang waktu lebih lama lagi aku beranjak ke kamar yang setahun lebih ini menjadi kamar kami, berusaha menahan setiap gejolak yang hadir karena potongan memori kebersamaan ku dengan suamiku dikamar ini berputar-putar bagai kaset kusut diotak cantikku

Aku menarik koperku yang berada diantara lemari pakaian dan meja rias, berusaha secepatnya memindahkan pakaian-pakaianku serta beberapa barang yang aku anggap penting kedalam koper besarku, tidak mungkin aku membawa semua barangku sekarang karena aku tidak ingin kepergianku dilihat oleh keluarga suamiku, aku tidak akan sanggup menjawab pertanyaan mereka sekarang aku tidak ingin menangis lagi dihadapan mereka. Aku akan memikirkan nanti bagaimana cara mengambil barang-barangku yang tertinggal disana.

Usai membereskan baju dan mengambil barang-barang pentingku, dengan perlahan aku melangkah menuruni anak tangga dengan susah payah sebab membawa koper besar ini, sehati-hati mungkin agar menimbulkan suara yang akan menarik perhatian aku juga tidak ingin mati konyol karena jatuh dari tangga, saat aku sudah berhasil sampai dipintu utama serta mengeluarkan koperku tiba-tiba suara Mama Sabil terdengar

"Thifa kamu sudah pulang?" aku sempat terkejut tapi akhirnya menoleh menatap mama mertuaku dalam lalu berlari memeluk wanita yang sudah seperti ibuku itu sembari berusaha sekuat mungkin untuk menahan emosiku agar tidak keluar

"Hey kenapa?" suara lembut itu kembali terdengar, aku menggeleng sebagai jawaban seraya mengeratkan pelukkan kami, aku ingin menikmati pelukan hangat ini sekali saja mungkin untuk terakhir kalinya. Aku rasa setelah keluar dari rumah ini aku tidak akan mempunyai hak lagi untuk kembali akan ada orang yang masuk menempati tempatku disini

"Ma, Thifa izin pergi ya.." lirihku dengan suara agak bergetar menahan tangis setelah puas memeluk Mama

"Kamu mau pergi lagi? Ini sudah sore banget loh.. Sudah izin sama suami kamu?" aku tersenyum miris saat Mama menyebutkan kata Suami, setelah kepergianku ini, suamiku itu mungkin akan menjadi suami orang lain

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang