Duapuluhenam

4.5K 262 4
                                    

     Setelah kejadian beberapa hari yang lalu meja makan tidak lagi diisi dengan formasi komplit, Roro selalu pergi pagi-pagi sekali dan akan pulang larut malam. Edgar, Sabil bahkan Erina sudah mencoba bicara dengan wanita anggun itu tapi ternyata Gen keras kepala yang diturunkan dari almarhumah ibu kandungnya, Luna. Melekat erat pada wanita 26 tahun itu

Setelah acara sarapan selesai semua yang ada disana hendak meninggalkan meja tapi kedatangan anggota keluarga yang beberapa hari ini tidak terlihat menghentikan pergerakan mereka, beberapa hening sampai Mama Sabil menawarkan sarapan untuk Roro tapi tanggapan wanita itu sungguh tidak bersahabat

"Aku hanya ingin bicara, kebetulan semua sedang berkumpul.."

Sabil dan Edgar saling menatap, lalu kembali berfokus kepada wanita anggun yang terasa berbeda dari Roro aanak mereka yang mereka kenal selama ini. Sementara yang lain memilih bungkam hanya diam-diam memperhatikan apa yang sebenarnya sedang terjadi

"Bicaralah.." Edgar yang berinisiatif buka suara karena terjadi keheningan cukup lama

"Hari ini aku akan pindah ke Apartmentku, terima kasih atas tumpangan dan bimbingannya selama ini.." kalimat yang meluncur begitu tenang dari bibir Roro tapi nyatanya mampu menyentak semua orang yang berada di sana. Terutama Sabil perasaannya hancur berkeping-keping, bahkan saat dia sempat kehilangan Edo dan Erina dulu tapi rasa hancurnya melebihi saat itu

"Pergilah!" suara bergetar diiringi tatapan penuh kekecewaan tidak bisa disembunyikan oleh Sabil, lalu dia bangkit dari kursinya

"Sudah tidak ada yang ingin anda katakan lagi, bukan? Kalian berangkatlah sekarang nanti telat.. Yuk, Mas.." Sabil kembali membuka suara, tatapan kecewa tetap dia tersorot dari matanya tapi berusaha tersenyum pada anggota keluarganya yang lain tapi pada Roro senyuman itu tidak terlihat. Mungkin dia ingin menunjukan betapa kecewanya dia pada Roro

"Sayang..." Edgar berusaha menengahi, tapi emosi Sabil sudah diubun-ubun. Dengan nafas terengah wanita itu menunjuk tepat kearah Roro walau tatapannya menatap sang suami

"Dia... Mas dengar apa yang dia bilang barusan? Hahaha dia bilang tumpangan mas.. Bahkan aku menangis setiap malam saat dia sakit dan dirawat mas.. Tapi apa? Dia bahkan tidak pernah menganggap kita orang tuanya!!" suara Sabil naik satu oktaf, bahunya bergerak naik turun karena emosinya. Lalu menoleh menatap Roro dengan air mata yang sudah berlinang

"Anda ingin pergi? Silahkan!! Tapi satu yang harus anda tau bagi saya, anda tidak berbeda dengan anak-anak saya yang lain!" setelah itu Sabil beranjak ke kamarnya, meninggalkan semua anggota keluarga dalam keadaan yang begitu canggung

"Kalian berangkatlah..." titah Edgar yang tidak bisa dibantah, dengan perlahan satu persatu anggota keluarga itu beranjak meninggalkan meja makan meninggalkan Edgar dan Roro yang masih tertunduk dalam

"Beri waktu mama untuk menenangkan diri... Dia sangat menyayangi kamu.. Kalau emosinya sudah tenang dia akan kembali seperti biasa.." ujar Edgar sebelum bangkit dan beranjak dari tempatnya. Sepeninggal keluarganya Roro meraba pangkal lehernya menggenggam erat liontin dari kalungnya, salah satu peninggalan mendiang Luna, Ibu kandungnya yang tidak pernah dia lepas sejak belasan tahun lalu

"Tolong bilang kalau Roro tidak melakukan kesalahan, Bun.. Tolong yakinkan bahwa keputusan Roro tepat, Bun.." lirihnya sangat pelan sembari menejamkan mata dengan tangan menggenggam liontin itu erat seolah mencari kekuatan dari sana.

(っ°▽°)っ💙(っ°▽°)っ

Setelah menunda kepindahannya selama beberapa hari karena permintaan sang Papa dan beberapa kali bujuk rayu dari Sabil juga Erina untuk dia mengurungkan niat itu, tapi akhirnya Roro tetap pada keputusannya untuk keluar dari rumah yang selama hampir 20 tahun ini menjadi tempat ternyamannya.

Egois memang tapi dia benar-benar merasa ini adalah langkah yang paling tepat untuk di ambilnya. Tinggal dimana terdapat pengacau kecil yang sangat dibencinya karena dianggap telah merebut Prianya serta perhatian dari anggota keluarganya yang lain berada adalah Neraka untuk Roro

Beruntung Ayah kandungnya bersedia membelikan apartment untuk tempat tinggalnya jadi wanita itu tidak harus kembali merepotkan Edgar yang notabenenya hanya Papa angkat sekaligus Omnya. Walau sebagai gantinya dia harus mau bekerja diperusahaan keluarga Ayah kandungnya itu tapi menurut Roro ini lebih baik dari pada harus terus menerus merasa terbebani dengan hutang budi.

Hari ini tepat satu bulan setelah kepindahannya dan dia merasa hidupnya begitu hampa, walau Mama Sabil sering mengunjunginya tapi tetap saja dia merasa ada yang kurang. Seperti pagi ini ah tidak siang lebih tepatnya, Roro baru saja pulang ke apartmentnya dengan keadaan yang cukup berantakan. Matanya sembab, bibirnya sedikit membengkak dan jalannya yang tertatih.

Roro yakin kalau dia pulang kerumah Sabil dan Edgar dalam keadaan seperti ini, sudah pasti dia akan mendapat rentetan kalimat tanya dan ceramahan khas Mamanya itu. Tidak seperti ini, apartmentnya terasa sunyi tidak ada teriak sambutan dari Gitta atau semburan dari Mamanya dan Roro hanya bisa meringis merutuki kebodohannya yang berharap mendapatkan itu semua sekarang

Malas terlalu berlarut-larut dalam pemikiran tentang keluarganya, Roro memilih langsung masuk kedalam kamar mandi meringkuk dibawah guyuran air dari shower tidak perduli pakaian lengkap yang masih menempel ditubuh moleknya. Ada airmata mengalir dari pelupuk matanya tersamarkan dengan air yang terus mengalir membuat tubuh itu basah kuyup, mata wanita itu tampak kosong, Roro kini tak ubahnya seperti raga tanpa jiwa.

(っ°▽°)っ💙(っ°▽°)

"Udah lima hari ini loh Mas, Roro ga angkat telpon aku.. Kita pulang aja yuk.." rengek Sabil pada suaminya, mereka memang sedang dalam perjalanan second honeymoon plus menghadiri undangan untuk Edgar menjadi pembicara dibeberapa acara seminar, didaerah Lombok ini

Sudah seminggu dari jadwal 10 hari mereka disini, namun sejak kemarin Sabil terus merengek minta kembali secepatnya karena dia tidak bisa menghubungi Roro, memang sikap protektifnya sebagai ibu tidak bisa diredam walau kini anak-anaknya sudah beranjak dewasa dan bahkan ada yang sudah berkeluarga tapi Sabil selalu menelpon anak-anaknya untuk mengetahui keadaan mereka setidaknya 2 hari sekali.

"Mungkin dia sibuk, Sayang.. Kan Harris dan Erina udah ketemu sama Roro dikantornya.. Mereka bilang dia baik-baik aja,kan?" dengan sabar Edgar menenangkan istrinya, bukannya dia tidak khawatir tapi acara besok lusa tidak bisa mereka lewatkan dan lagi anak serta menantunya sudah dia tugaskan untuk mengecek keadaan anak perempuannya itu jadi Edgar bisa sedikit lebih tenang

"Masa sibuknya sampai berhari-hari..." ketus Sabil tanpa sadar mencibirkan bibirnya hingga Edgar gemas dibuatnya, usia mereka tidak lagi muda tapi Edgar merasa kembali jatuh cinta setiap hari pada istrinya itu. Tingkah Sabil juga tidak jauh berbeda seperti saat mereka bertemu dan disatukan oleh takdir

Chup

"Maaaasss.." rengek Sabil antara kesal dan malu karena tiba-tiba mendapat kecupan dibibirnya dari sang suami, Edgar hanya bisa tertawa heboh karena terlalu bahagia dengan rona merah yang samar tergambar diwajah istrinya

"Semua baik-baik saja, Sayang... Aku yakin semua akan baik."

🆙🆙🆙

Tbc

Sedikit banget ya? Ga ada Mas Edo dan Thifanya pula Haha maaf yaa lagi ga cukup mood soalnya hehe

Dimaafkan ga? Dimaafin dong kalau dimaafin janji nanti malam akan aku up lagi deh hehehe

Tapi jangan lupa tinggalkan jejak kalian yaaaw 😄

LoveZat💙

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang