Tujuh✔

578 55 2
                                    

🍃Rio🍃

"Sssttt..." aku mencoba menenangkan Clara yang kembali merasakan aura jingga itu kembali.

Aku merasakan tubuhnya yang kaku setelah melihat darah segar yang berasal dari perut Sam. Kulepaskan pelukanku, lalu kutangkupkan kedua tanganku di pipinya.

"Kita akan berhasil menangkapnya. Aku akan berusaha" ucapku dan setelahnya ia kembali memelukku karena takut.

"Aa..aku ta..takuut"

"Ssstt.. tenanglah. Jangan kamu rusak rencana kita dengan racauanmu"

Ia melepaskan pelukannya, dan mengangguk.

Kulihat kembali si jingga dan Sam yang masih di tengah jalan yang sepi dengan pencahayaan lampu bohlam kuning yang sesekali meredup. Aku masih bisa mendengar suara rintihan kesakitan dari mulut Sam. Sungguh aku tak tega dengan keadaannya sekarang. Tapi, jika aku keluar sekarang, sama saja aku akan membahayakan semua.

Si jingga berdiri, menarik lengan Sam untuk menyeretnya menuju lahan kosong milik warga. Darahnya berceceran di atas aspal hitam dan itu berhasil membuat tubuhku terasa ngilu.

"Ayo.." ucapku sambil menarik lengan Clara.

"Tunggu, dia kembali" tukasnya menghentikan langkahku.

Benar, dia kembali membawa pasir lalu menyebarkannya pada bekas darah Sam. Setelahnya, ia membersihkannya hingga tak tersisa. Bersih, pekerjaannya memang sangat bersih.

"Ternyata seperti itu ia membersihkan aksinya. Cukup cerdik" bisikku setelah si jingga kembali menyeret tubuh Sam memasuki area lahan kosong yang dipenuhi pohon besar.

"Ayo, kak" ajak Clara.

Aku dan Clara mengendap-endap menerobos semak, hingga terlihat si jingga membuka dedaunan dan ranting kering di sebuah gundukan tanah. Ternyata di balik ranting tersebut terdapat terowongan yang terbuat dari gorong-gorong dengan diamater kira-kira 1 m. Ini sepertinya jalan rahasia menuju sarang si jingga itu.

"Kamu nggak takut, kan?" Tanyaku pada cebol setelah si jingga benar-benar sudah jauh.

Dia menggeleng dan berjalan di depanku memasuki terowongan tersebut, tak lupa ia menyalakan senter pada ponselnya. "Semakin dalam, semakin besar diamaternya" ucapnya berbisik.

Aku berjalan menunduk memasuki terowongan ini, bahkan aku harus menjaga keseimbanganku karena takut, jangan-jangan aku tergelincir mengingat kemiringan terowongan ini. Tak ada pencahayaan, hanya ada setitik cahaya di ujung terowongan ini yang kini hilang. Kurasa pintu ujung terowongan ini ditutup oleh jingga.

Memang benar yang diucapkan Clara, semakin masuk ke dalam terowongan, semakin besar diameternya.

"Hati-hati" ucapku ketika Clara hampir tergelincir, dan dengan sigap kutahan dari belakang.

"Makasih, kak"

Beberapa saat mata kami saling terkunci, lalu disusul oleh suara gertakan yang keras dan berhasil membuat aku dan Clara terhenyak.

"Apa itu?" Tanya Clara gelagapan.

"Ayo, jika kita tetap di sini, kita tidak akan tahu jawabannya"

TEROR JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang