Teror di Hutan Pinus: Sembilan

44 3 0
                                    

Clara

Hai, aku kembali lagi dengan suaraku. Karena kak Rio sekarat, dan hanya aku yang mengetahui akhir nasib dari para komplotan penjahat.

Akan aku ceritakan dari aku dan kak Rio saling duduk di bawah pohon. Aku membersihkan luka kak Rio, tak lupa membuka baju yang ia kenakan. Sedikit ngeri memang melihat luka cakaran harimau di seluruh tubuhanya. Bahkan aku tak menyangka aku bisa membuhuhnya hanya dengan menusuk bagian vitalnya. Padahal kak Rio telah memotong kepalanya.

Aku jadi ingat anime jepang soal perburuan iblis. Bedanya yang aku temukan tadi adalah siluman dan membunuhnya dengan memenggal kepalanya. Persamaannya adalah sama-sama memakan manusia. Iyuh!

"Kak Rio bertahan, ya?" kubalut perban di tangan kak Rio. Namun belum seluruh luka terlilit perban, perbannya sudah habis. Memang P3K ini hanya untuk jaga-jaga sakit ringan.

"Clar--kita belum menang, mengerti?" ucap kak Rio dengan menahan sakit.

Aku hanya mengangguk, lantas berdiri. Memperluas pendengaranku saat ini. Apa yang harus kulakukan saat ini? Aku saja hanya bermodal pisau dapur.

"Kak Rio bersembunyi di balik pohon dulu, aku harus menyerang mereka."

Kak Rio tampak pasrah, tak mengelak atau mengiyakan. Jujur, aku tak bisa meninggalkannya sendiri. Namun jika aku masih berada di sini, kak Rio akan jadi tawanan.

Dengan tubuh yang gemetar aku melangkah, mungkin ini karena aku belum makan sesuap nasi pun. Kapan terakhir kali aku makan? Di mimpi tadi aku berkali-kali makan mie, namun itu hanya mimpi, 'kan?

Oke, jika aku bisa menyelesaikan teror ini secepatnya. Maka aku akan segera makan serta kak Rio mendapatkan pertolongan.

Aku terus melangkah maju tanpa gentar hingga aku dikagetkan suara seseorang dibelakangku. "Kamu mau kemana, hah! Ki Loreng sudah kamu bunuh, kini kamu yang harus menanggung akibatnya."

Aku berbalik, namun belum saja aku melihat siapa dia, ia meninju pipiku hingga aku terpelanting di atas tanah.

"Dia perempuan, boss!" ucap suara lain.

Aku masih terjerembab di atas tanah, menghilangkan sensasi rasa sakit di pipi. Berusaha bangkit lagi, dan mengumpulkan tenaga.

Lelaki itu mendekatiku, lelaki berkulit putih pucat berumur hampir setengah abad. Tapi heranku, rambutnya masih hitam pekat. Hanya saja ada sedikit keriput di wajahnya.

"Cih! Ternyata kamu wanita ingusan, kamu yang membunuhnya?" lelaki itu menekan kedua pipiku dengan mendongakkan wajahku.

"Dia tawanan kita, boss! Dia kabur!"

Lelaki berkulit pucat itu lantas menoleh kebelakang. "Kalian kenapa kemari? Jaga tawanan kita yang lain!!"

Ketiga lelaki berkulit gelap itu kelimpungan, mereka segera lari setelah berbalik arah. Aku yakin jika mereka tak lain adalah bawahan lelaki berkulit putih ini.

Lelak berkulit putih itu kembali memusatkan perhatiannya padaku. Melihat remeh, lantas kembali menekan kuat pipiku.

"Kamu harus menanggung akibatnya, mengerti!" bentaknya dengan mendorong wajahku hingga aku harus mencium tanah untuk yang kedua kalinya.

Rasanya kepalaku berputar, kedua pipiku nyeri, perutku perih melilit, sedikit mual dan begah. Bahkan sejak di mimpi tadi, aku berkali-kali menyangka jika aku akan segera mati. Sekarang aku pun masih sama menyangkanya.

TEROR JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang