Jujur, setelah melewati sederas-derasnya kenangan bersamamu aku telah sangat lupa akan senyum palsumu. Aku tidak bisa mengelak saat ini. Memang benar, aku sudah ikhlas serta lupa terhadapmu. Namun, luka yang kau berikan selama kita berdampingan masih membekas dengan sangat lekat. Puing-puing kesakitan hati olehmu seakan tersayat bercucuran darah hingga perlahan mengeluarkan nanah. Bukan nanah seperti biasa! Nanah ini mungkin bukti kesakitan hati yang pernah kau tusuk hingga berkali-kali, dulu.
Bekas sayatanmu masih tergambar jelas dalam ingatanku. Semua yang kau lakukan padaku akan kuanggap seperti angin yang sangat kencang yang menerjang hingga perlahan-lahan menghempas ke arah batu besar menghantamkan tubuh dengan sedemikian hancur. Sudah berkali-kali luka ini mengenyam perih di dalam tubuh, namun arti sabar selalu menjadi makanan sehari-hari dalam hidupku.
Terkadang, dengan helaian-helaian tisu pun tak mampu menghentikan luka di dalam jantung ini. Kau merobek-robek secara perlahan hingga aku kehabisan nafas untuk melihat wajahmu kembali. Sosok yang selalu aku dambakan berubah menjadi penjahat bermuka manis. Kau manis, tapi kau membuatku seperti rasa pahit yang terus bersemayam dalam pikiran.
Kau hancurkan hingga luka,
Membekas!
Abadi!
Tidak bisa diobati!
Dalam waktu singkat!
Berbagai cara telah di tempuh, agar diriku lupa terhadap semua luka yang pernah kau ciptakan dengan senyumanmu sendiri. Aku mencari seseorang yang bisa jauh sepertimu, tapi tetap saja luka terus menghantui perjalananku.
Luka yang kau berikan tidak bisa aku obati meskipun di jahit oleh rasa manis sekalipun. Pernah ada, seseorang yang mendekatiku hingga perlahan-lahan merangkak ke dalam hati. Kamu harus tahu, bahwa hatiku belum bisa menerima sepenuhnya orang asing itu. Hatiku masih terluka oleh semua perbuatan-perbuatanmu. Aku takut, jika nanti orang asing itu sepertimu.
Mengapa kau hadir sebagai luka? Bukan sebagai kebahagiaan yang selalu memberikan arti cinta. Air mataku kau biarkan menetes dengan derasnya, dan kau tidak pernah menghentikannya. Sampai luka ini membekas sekali pun, kau tidak pernah memedulikanku.
Sampai kapan semua ini akan beres, hingga aku tidak menjadikanmu seperti ratu yang selalu di elu-elukan keberadaan oleh rakyatnya. Aku lupa, bahwa ratu bisa seenaknya kepada rakyat, mungkin kau bersifat seperti itu, selalu seenaknya kepadaku yang notabene sangat mencintaimu.
Terima kasih untuk luka yang pernah terberi. Meskipun membekas dan abadi, aku akan mengobatinya sendiri. Tanpa rasa lelah yang pernah bersemayam di hati. Tanpa rasa rugi karna kau yang memberi.
Aku tidak akan sekalipun merasa rugi karena kau yang telah membuat luka ini. Aku hanya rugi akan kehilangan dirimu. Aku rugi jika kau bisa berbahagia dengan orang yang pernah kau benci itu. Sekarang, aku tidak ada hak untuk menahan dirimu. Berbahagialah, kau. Doakan aku semoga cepat sembuh dari semua apa yang pernah kau perbuat padaku.
“Lucunya, dari segala kelebihan yang aku miliki. Kau memilih menyimpan luka dalam-dalam di tubuh ini.”
-Elgi Rizkiansyah
KAMU SEDANG MEMBACA
IKHLAS
Non-FictionBukan novel. Aku menulis catatan ini, hanya untuk mengutarakan isi hati. Mengingat kejadian-kejadian yang enggan untuk Aku lakukan kembali. Atau bisa jadi catatan ini mengutarakan juga isi hati kalian yang membacanya, bahkan ada kejadian yang sama p...