1. Keputusan Ayah ✔

4.8K 90 7
                                    

Era berjalan gontai menuju sekolahnya. Tidak terlalu jauh dari rumahnya yang berlokasi di daerah Surabaya itu. Semangat tidak terpancar diwajahnya karena malas bertemu guru guru yang siap memberi berbagai pesan sebelum perpisahan.

"Era!"

Seseorang memanggil Era. Dengan malas Era berbalik menatap orang yang memanggil namanya. Senyum dengan cepat tersungging walau Era merasa malas memberi senyum.

"Hei!" sapa Era malas sambil melambaikan tangan.

"Kenapa? Kok lo kayak males gitu?" tanya orang itu, mengkerutkan alis karena bingung.

Era tersenyum masam, mengingat bagaimana ia tidur larut malam dan bangun pagi - pagi buta. Kini kantuk menyergapnya akibat tidur kurang dari 6 jam.

Era menguap, tak kuasa menahan kantuknya. Matanya mulai lengket, namun Era menahannya dengan melebarkan matanya. "Kurang tidur," jawabnya malas.

"Makanya, jangan tidur malem - malem. Lo sih, keseringan begadang." Dia adalah, Sina. Sahabatnya sejak kecil. Sina sudah mengenal tabiat Era yang sering begadang.

Era mengusap mata. Kembali menahan kantuk. Bayangkan saja setiap hari ia sendirian di rumah hingga larut malam. Mengingat Ayahnya yang selalu pulang dini hari. Saat ingin menutup mata, pikiran buruk mulai menganggu Era. Pengaruh menonton film horor.

"Aku ngantuk, Sin. Mau tidur bentar di kelas," rengek Era sambil terus berjalan pelan.

Sina yang berjalan dibelakangnya diam sejenak. Menggeleng geli ketika memandang Era yang mengantuk.

Setelah sadar, jaraknya mulai menjauh dari Era. Sina segera berjalan cepat menyeimbangi langkah Era. "Tungguin, Er!"

Sina menyusul Era yang sudah berjalan duluan. Punggung Era nampak sedikit membungkuk, walaupun beban di pundaknya tidaklah berat. Berbeda dengan Sina yang terlalu bersemangat pagi ini.

...

"Ma, kenapa duduk sendiri di taman?" tanya Era ketika melihat Mama di taman sore - sore. Era yang sudah sangat lama tidak bertemu Mamanya, masih sangat ingat perawakannya. Nampak dari belakang Mama berbalutkan baju lengan panjang dengan rok semata kaki. Gaya khas Mamanya.

Era mengeryit ketika Mama tidak membalas pertanyaannya. Perlahan tapi pasti, Era melangkah mendekat. Ingin memeluk leher Mama, meluapkan rindu yang terlalu besar dalam hatinya.

Saat Era hampir dekat, Mama menoleh perlahan. Wajahnya diselimuti cahaya, membuat Era tak mampu menatap wajahnya. "Ma?" panggil Era takut.

...

Perlahan Era terbangun, ketika guncangan di bahunya bertambah kencang. Era mengucek matanya, agar pandangannya kembali jelas.

"Akhirnya lo bangun," Sina bernapas lega. "Ayo, Kepsek minta kita kumpul ke lapangan," ajaknya sambil menarik tangan Era.

"Eh?" Era tersadar bahwa kini ia ada di kelas, bukan di taman.

"Mimpi," batinnya dalam hati ketika mengingat pertemuannya dengan Mama.

"Kenapa, Er? Ayo cepet, udah pada kumpul." Sontak Era beranjak dari kursinya dan mengejar Sina yang sudah berjalan duluan.

Sahabat Bukan Berarti DekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang