39. Mereka Sahabatku

491 21 0
                                    

Dua hari sudah berlalu. Kini tiba saatnya aku kembali ke Indonesia. Rasanya waktu berjalan dengan cepat. Padahal aku masih ingin di sini. Bersama Sean.

Ayah dan Sina sibuk mengemas barang - barang. Lusa Sina berencana pulang bersama Daniel. Sedangkan Ayah harus lanjut pergi ke Korea untuk mengurus pekerjaan. Aku tidak tahu kapan Rendra pulang. Ia tidak memberitahuku.

Daniel menepuk bahuku pelan. Aku lantas menoleh ke arahnya. Mulutnya penuh dengan satu gigitan roti selai kacang.

"Apa, El?"

"Kok lo pulangnya buru - buru amat."

Aku tersenyum ketus. Daniel ini memang jarang memikirkan kuliah. Kelewat pintar, jadi baginya semua gampang. Yah, dari SD Daniel memang selalu mendapat peringkat pertama. Tapi aku tahu dia sangat lemah dalam menggambar. Ia juga jarang bermain musik kecuali gitar.

"Elu mah udah pinter, El."

"Gue tantangin main piano aja deh." Kataku dengan nada bercanda. Karena memang Daniel sangat susah dalam bermain piano.

"Idih gak sudi! Jari gue bisa keriting main piano kayak sapa itu pianis kesukaan lo. Moz.. Moza Moza sapa itu lah!" seru Daniel dengan kesal.

"Mozart!"

"Udah deh, Er. Daniel aja nggak mau ditantangin fashion show," kata Sina sambil tertawa.

"Aelah, bukan anak bencong gue!" Daniel nampak kesal.

"Ato gini aja, ballet. Kan Sina pinter ballet tuh," usulku sambil menahan tawa. Karena aku tahu Daniel itu risi melihat cowok ballet.

"Idih, bukan gue banget!"

Kami tertawa. Berjalan seperti sebelumnya. Saling mengejek satu sama lain.

"Gue tantangin lo main catur." Daniel tersenyum puas sambil mengatakannya. Aku memang payah dalam bermain catur.

Aku mengangkat bahu. Lalu membantu Sina mengemas baju - bajunya. Hanya beberapa saja yang dikemas Sina. Namun model bajunya yang membuat lama melipat. Bahannya berbeda - beda.

"Kacang mahal banget di pasar," kata Daniel dengan datar.

"Gue beliin mau? Nanti gue kirim lewat pos," candaku sambil menggeret koperku ke dekat TV.

"Nggak perlu. Mending duit lo gue buat beli game."

"Kayaknya udah gede. Tapi kok masih suka malak. Gue aduin Tante Rin rasain lo!" Sina menonyor kepala Daniel.

"Ampun, mbah!"

Aku tertawa melihat aksi mereka. Rasanya lucu sekali seperti melihat Daniel ketakutan karena dimarahin Tante Rin.

"Udah, Sin, kasian." Aku menatap Daniel yang begitu lucu ekspresinya.

Diam - diam Daniel memonyongkan bibirnya tanda mengejekku. Ternyata Sina melihat hal itu. Ia langsung menjadi macan betina.

"Siapa yang lo ejek?" tanya Sina dengan garang.

"Itu figuranya." Tunjuk Daniel ke sebuah figura tepat terpajang di sebelah kiriku.

Sina menyipitkan matanya. Ia lalu memukul pelan bahu Daniel. Daniel mengaduh kesakitan walau sebenarnya tidak sakit sama sekali. Efek realistis.

"Au! Au! Eh, udah, udah! Ampun! Sina! Au! Heh berhenti! Au!"

Aku tertawa lepas melihat aksi mereka. Sudah sangat lama aku tidak melihat mereka seperti ini. Tepatnya setelah Sean kembali meneruskan SMA di Amerika. Aku menghentikan tawaku. Lalu menatap dua orang yang berharga dalam hidupku. Mereka adalah sahabatku. Dan aku akan berusaha menjaga mereka.

Sahabat Bukan Berarti DekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang