Cassandra Inara Sheren
Aku mungkin bukan tipe orang yang tangguh. Aku gampang menangis. Tapi sekarang tenaga ku untuk menangis sudah habis. Hanya melamun yang aku bisa. Aku seperti sebuah patung. Sulit bergerak. Beginikah rasanya kesedihan? Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan rasa ini. Terakhir kali adalah saat Papa benar - benar meninggalkanku.
Rasa bersalah menyelubungi hatiku sedari tadi. Ingin aku meminta maaf pada Era. Atas apa yang aku lakukan selama ini. Bodoh sekali aku. Menyianyiakan orang yang selalu berada di sampingku. Hanya menuruti ego Bunda. Bahkan aku melupakan seorang yang selalu memperhatikanku dari kejauhan. Daniel.
Aku sedikit terkejut mendengar langkah seseorang. Aku tahu siapa dia. Tidak perlu berpaling untuk sekedar mengetahui siapa yang datang. Aku sudah hapal segala tentangnya.
"Era.. kenapa?" tanyaku begitu lirih. Membiarkan suaraku pergi terbawa angin.
Langkah itu terhenti. Namun aku bisa merasakan kesedihan dari auranya. Ku pejamkan mata. Menghaturkan maafku secara tidak langsung. Aku memang pengecut. Tidak berani meminta maaf padanya.
"Aku yang seharusnya minta maaf, Sina. Aku yang bodoh. Tidak pengertian dengan dirimu." Suara Era tak kalah lirih. Aku bisa mendengar tangisnya dari sini.
Hatiku bertambah sakit mendengar suaranya. Mengandung rasa bersalah yang begitu mendalam. Aku tahu apa yang dirasakannya. Karena aku sahabatnya. Bukan hanya sahabat, saudara tiri.
"Aku tahu kau suka pada Sean. Namun aku tidak mencegah rasa itu bertambah besar dan hanya diam saat aku tahu Sean dijodohkan. Aku memang bukan sahabat yang baik."
Tidak, Era, ini salahku. Salahku membencimu seperti itu. Kau tidak bersalah Era. Maaf, maaf. Seharusnya kau membenciku. Mengapa kau malah datang padaku? Meminta maaf dengan sepenuh hati.
"Aku yang salah, Era. Aku yang bodoh." Tangis tidak bisa tertahan. Aku meluapkan sebagai pelampiasan atas rasa bersalahku.
Aku bisa mendengar langkah Era mendekat. Lalu ia duduk di sampingku. Mendekapku dalam pelukanku. Membiarkan aku menangis di pelukannya. Walau aku tahu dia menangis, tanpa suara. Tangannya yang hangat membelai rambutku. Sungguh, aku rindu kamu Era. Aku bodoh pernah membencimu.
"Maafin gue. Maafin gue, Era. Maaf. Maaf." Beribu kata maaf ingin ku lontarkan padanya.
Era tetap diam. Membiarkan aku membasahi bajunya dengan air mata. Tapi aku bisa merasakan air matanya membasahi rambutku. Tidak masalah rambutku yang indah terkena air mata sahabatku. Karena aku bahagia dia berada di sisiku lagi.
"Aku maafin. Dan aku juga minta maaf, Sina. Aku selalu sayang sama kamu." Nada bicara Era begitu lembut. Seperti sosok Bunda. Bunda yang aku rindukan.
Dia memanglah sahabatku. Tetap memaafkanku walau aku banyak membuat kesalahan. Aku tak akan membiarkanmu tersakiti lagi. Aku akan gantian menjagamu. Sebagai sahabat akan ku jalankan tugasku.
Angin dingin berdesir dingin di antara kami. Aku menghentikan tangisku. Paham siapa yang sedang berkomunikasi dengan kami. Ku tengadahkan kepala, menatap malam yang dipenuhi bintang. Aku tahu diantara bintang - bintang itu ada Sean. Sean pasti bahagia melihat kami bersama lagi.
"Sean.."
Era tersenyum. Lalu mengeratkan pelukannya. Sambil menatap ke langit malam. Walau orang yang kami ajak bicara berbeda dunia. Dia tetap ada. Di hati kami. Di persahabatan kami. Di setiap kenangan.
Aku juga tersenyum bahagia. Tanpa Sean, kami mungkin masih bertengkar.
"Terima kasih," ucap kami bersamaan.
Aku lalu menatap Era. Ia balas menatapku. Detik setelahnya kami tertawa. Disusul tawa ngebass dari arah belakang. Kami menoleh menatap orang yang baru saja hadir. Kami tersenyum. Tentu, meski ini kami hanya bertiga, kami pasti akan menjaga persahabatan ini.
"Gue turut bahagia kalian baikan lagi," ujar Daniel sambil menatap kami.
"Sean yang menjadikan kita deket lagi. Dan kita harus menjaga persahabatan ini!" Aku berkata dengan bahagia.
"Gue setuju sama lo, rambut kinclong."
Aku mendelik marah. Menatap Daniel yang sudah tertawa. Segera aku melepas pelukan Era. Beranjak dari kursi dan mendekati Daniel. Ia segera berlari. Dan aku mengejarnya. Sama seperti dulu.
"DANIEL! Berhenti nggak!" Aku sekarang berubah menjadi macan betina. Itu yang dikatakan Daniel jika aku marah.
"Macan dateng! Kabur!" canda Daniel sambil tetap berlari.
"Daniel, berhenti nggak!" Sekarang gantian Era angkat berbicara.
Ia mendekati kami. Menatap ulah kami yang masih terkesan terlalu kanak - kanak. Aku berhenti berlari, menatap Era. Lalu memberikan peace kepadanya.
Daniel juga berhenti. Ia tertawa bahagia. Sudah lama sekali kami tidak seperti ini. Seperti biasa, Era pasti menjadi pihak pelerai. Ini yang kami rindukan dari persahabat kami. Dan sekarang kami tidak akan terlalu bersedih dengan kepergian Sean. Karena ia pergi setelah tugasnya selesai.
"Sean, inget kami terus ya!" teriak Daniel kepada langit malam.
Aku dan Era tersenyum bahagia. Lalu kami berjalan meninggalkan taman rumah sakit. Membiarkan Sean kini tetap menatap kami. Tanpa henti.
Maaf Sina
Aku seperti mendengar suara. Permintaan maaf. Entah dari siapa. Aku menengok ke belakang. Memastikan siapa. Namun tidak ada siapa - siapa di sana. Hanya taman yang aku lihat. Sudut bibirku terangkat. Itu pasti Sean.
"Ayo, Sin! Cepetan. Lemot lo!" ejek Daniel dari depan.
Aku menoleh cepat. Mendengus sebal dengan perkataan Daniel. Aku kembali melangkah. Bersama sahabat yang paling aku sayangi.
Ini sudah mau tahap akhir. Tenang, tinggal beberapa chapter! Semoga kalian suka dengan endingnya! Maaf kalau masih banyak kesalahan, karena saya masih pemula. Happy reading! :)
-I.T.-
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat Bukan Berarti Dekat
Novela JuvenilH I G H R A N K : #54 in Teenagers Ketika sahabatmu harus menjadi saudara tirimu. Ada alasan mengapa Cassandra Inara Sheren memusuhi sahabatnya sendiri. Dan juga, ada alasan untuk Veralia Agatha Sekar menentang pernikahan Ayah-nya. Tapi, bisakah m...