26. Berita dari Rendra

450 24 0
                                    

Sina memperlambat jalannya. Agar Rendra menunggu lama. Sina tahu alasan Rendra menemuinya. Pasti membahas kontrak kerja lagi. Sudah berapa kali Sina menolak, Rendra tidak peduli.

"Aku sudah bilang, aku tidak bersedia bekerja sama dengan perusahaan-"

"Aku tahu kau pasti menolak. Aku jauh - jauh ke Surabaya bukan untuk membahas kontrak," potong Rendra. Ia memandang Sina dengan tegas.

Sina mengerutkan dahinya. Jikalau bukan itu, untuk urusan apa? Sina dan Rendra tidak punya urusan lain selain kontrak itu.

"Lalu?" tanya Sina bingung.

"Aku hanya ingin meminta tolong padamu," kata Rendra. "Duduklah terlebih dahulu."

Sina segera duduk di hadapan Rendra. Sina ingin Rendra langsung mengatakan intinya. Kak Anandya makan bersama salah satu model. Kak Anandya tidak ingin mengganggu Sina dan Rendra.

"Era tidak boleh bertemu Sean selama beberapa waktu," kata Rendra langsung ke intinya.

"Maksudmu? Kenapa Era nggak boleh ketemu dengan Sean?" tanya Sina.

"Sean kondisinya sedang buruk. Aku tidak mau Era khawatir dengan keadaan Sean," jawab Rendra sambil menyandarkan bahunya.

"Sean kenapa?" tanya Sina cemas.

"Sean sedang dirawat di rumah sakit, ia kecelakaan."

"Bagaimana bisa?" Sina begitu kaget dengan berita yang dibawakan Rendra.

"Aku tidak tahu. Aku ingin kau, Era, dan Daniel tidak menemui Sean sementara waktu. Sean sekarang aman bersama Tante Diana," kata Rendra dengan tegas.

"Apa hakmu melarang kami?" Sina mencoba menentang Rendra. Benar sepenuhnya, Sina bahkan tidak cukup dekat dengan Rendra.

"Aku mempunyai hak sebagai teman dekat Sean," Rendra menekan seluruh kata - katanya. "Dan apa kamu tahu? Sean sudah dijodohkan."

Rendra menghela napas. "Dengan salah satu temanmu, Feslyne."

Sina membelalakan matanya. Sepertu sebuah pisau seperti menancap tepat di jantungnya. Sina tidak percaya itu semua.

"Apa maksudmu?"

"Dulu saat kalian masih SMA, Sean sudah lulus kuliah. Ia harus melanjutkan perusahaan milik Ayahnya. Tapi Sean bekerja di perusahaan Om Alex untuk mencari pengalaman," kata Rendra sambil memandangi kaca jendela restorant. "Om Alex lalu menjodohkan Sean. Ayah Feslyne sendiri adalah teman dekat Ayah Sean, Om Alex tidak perlu khawatir dengan hal itu."

"Kehidupan itu penuh misteri, ya? Selama ini aku nggak nyangka Feslyne dijodohkan dengan Sean," kata Sina sambil tertawa lirih. "Aku kira selama ini Sean dekat dengan Era."

"Aku akan sangat berterima kasih jika kau mau membantuku," Rendra benci melihat perempuan menangis. Maka dari itu, ia menghindari ucapannya yang bisa menusuk Sina lebih dalam.

"Aku akan berusaha," Sina mencoba tersenyum.

"Terima kasih, Sina. Hanya kau yang bisa ku mintai tolong," kata Rendra turut senang. Rendra tidak mungkin meminta tolong pada Daniel. Karena Daniel tidak bisa mengawasi Era terus menerus.

"Bagaimana hubunganmu dengan Era?" tanya Rendra mencoba mengalihkan topik.

"Buruk. Aku yang memulainya, jadi aku rasa semua akan baik - baik saja," kata Sina sambil menahan kesedihannya.

"Kau lebih memilih berpihak pada Bundamu?"

Sina menatap Rendra tajam. "Maaf jika aku tidak sopan denganmu," Sina menurunkan tatapannya.

"Tidak usah merasa bersalah. Kita hanya terpaut satu tahun. Aku merasa pilihanmu kurang tepat?"

"Ini semua bukan urusanmu," kata Sina dengan sorot mata tajam.

Rendra lalu mengangkat bahu. "Baiklah, aku tidak ikut campur."

...

"Era, kau mendapat pesan dari Rendra," kata Tante Rin sambil menghampiri Era.

Era menatap Tante Rin. "Rendra siapa sih?"

"Itu lho, anaknya Om Rama. Masih ingat nggak?" tanya Tante Rin.

Era mencoba mengingat ingat. Ia lalu ingat siapa itu Rendra. Anak dari Om Rama yang mengunjungi rumahnya dulu.

"Oo, emang Rendra bilang apa?"

Tante Rin lalu menyodorkan sepucuk surat untuk Era. Kertasnya masih rapi. Tanda belum ada orang menyentuhnya kecuali Tante Rin.

Era membukanya perlahan. Lalu menatap tulisan tangan Rendra yang rapi.

Bisnismu berjalan baik di Jakarta, kau tidak perlu datang ke Jakarta

Singkat, padat, dan jelas. Era merasa Rendra adalah manusia primitif. Saat semua orang menggunakan ponsel, hanya Rendra yang menggunakan surat. Well, Era sekarang tidak peduli. Jika memang itu ciri khas Rendra, Era tidak punya hak untuk protes.

"Tante istirahat saja, besok Tante pulang kan?" tanya Era sambil menatap Tante Rin yang duduk di samping Era.

"Iya, habis ini Tante tidur. Kamu njalanin toko roti milik Mamamu?" tanya Tante Rin sambil menatap surat yang diberikan Rendra.

Era mengangguk. "Era cuma nggak mau toko rotinya tutup."

"Oh ya, Ra. Daniel nggak pulang ke Surabaya?" tanya Tante Rin.

Era menepuk jidatnya. Ia lupa memberitahu Tante Rin tentang liburan Daniel.

"Daniel liburan sama temen - temennya, Tan," kata Era sambil nyengir.

"Walah, padahal Tante udah punya rencana masakin makanan kesukaannya. Ya udah deh kalau begitu," kata Tante Rin dengan nada sedih.

"Kalau Stela?" tanya Tante Rin kembali ceria.

"Ee.. Kak Stela juga nggak. Rumah sakit katanya selalu ramai, Tan," kata Era sambil menggeleng pelan.

Tante Rin lalu mengepalkan tangannya. "Awas aja tu kalo dokter sok sibuk itu tidak membawakan menantu untuk Tante," katanya dengan aura penuh kemarahan.

"Tante, Kak Stela kan masih muda. Masih 23 tah-"

"Stela itu pasti lupa nyari jodoh. Sampai umurnya 50-an pun nggak bakal peduli," kata Tante Rin dengan kesal.

Memang sih, Kak Stela anti pacaran. Dari jaman SMA sampai kuliahpun nggak pernah pacaran. Katanya, "Belajar itu nomer satu."

"Lama - lama Tante nikahin sama alat - alat rumah sakit!" Tante Rin mengutarakan segala keluh kesahnya tentang Kak Stela.

Era sudah biasa mendengar Tante Rin berkeluh kesah. Karena pada dasarnya Kak Stela anak yang nyebelin. Ya walau baik sih. Era dan Tante Rin lalu mengobrol hingga hampir larut malam.

Sahabat Bukan Berarti DekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang