4. Menyerah Itu Tidak Baik ✔

1.1K 42 0
                                    

Gadis itu kembali menghembuskan napasnya lelah. Kepalanya sengaja ia pendam kedalam kedua lututnya, berharap saat matanya terbuka keadaan menjadi lebih baik. Angin perlahan bertiup, membuat rambut Era yang sengaja digerai berkibar.

Sina? Dia masihkah sahabatku? Era merasa ada perasaan sakit dan sesak yang masuk ke dalam hatinya, menghantamnya dengan keras. Beginikah rasanya ketika sahabatmu sendiri tidak mengakuimu? Itu lebih sakit daripada patah cinta.

Era hanya ingin sendiri. Membujuk Sina untuk tetap menganggapnya sangatlah mustahil. Ini semua karena rencana pernikahan itu, batin Era kesal. Andai saja pernikahan itu tidak direncanakan, ia masihlah berkawan baik dengan Sina. Melihatnya saja hanya akan membuatku merasa kesal, batinnya kembali sambil memukul pagar pembatas.

Matahari terbenam yang seharusnya indah itu terasa hampa dan pahit, warna oranye bercampur merah itu seakan melambangkan perasaan yang akan segera berganti.

"Sahabat? Gue nggak pernah bilang lo sahabat gue."

Era memukul dadanya, berusaha menghilangkan sakit yang menjalar membentuk air mata. Sakit, rasanya sakit, aku cuma ingin Sina mengerti aku tidak membencinya. Era menangis sesegukan, hingga matanya memerah dan hidungnya sembab.

"Er--"

Daniel tercengang, kondisi Era yang begitu rapuh itu juga membuatnya merasa sedih. Daniel langsung menghampiri Era, merengkuh Era dalam pelukannya. Memberi semangat ssbagai seorang sahabat.

"Daniel.."

Era mencengkram erat hoodie Daniel, sambil terus menangis untuk mengurangi rasa perih. Daniel mengeratkan pelukannya, kemudian membelai rambut Era. "Era, nggak usah nangis. Cup cup cup."

Sebenarnya gue nggak suka liat lo sedih kayak gini, tapi gimana lagi, itu urusan lo sama Sina. Daniel tak bisa membantu lebih, bagaimanapun persoalan itu hanya bisa diatasi Sina dan Era. Daniel hanya sebagai pihak ketiga yang membantu-- tak ada sangkut pautnya dengan masalah mereka.

"Pulang aja ya."

"A-aku takut, El.. ."

Daniel membelai rambut Era. "Sina bukan orang yang seperti itu, keadaan yang merubahnya."

"Gue tau, El. Gue tau," ujar Era sesegukan. Ia menegakkan punggungnya, menghapus jejak air mata diwajah.

"Trus ngapain lo nangis?"

Era menatap Daniel yang menatapnya dalam, perlahan rasa perihnya berkurang. Daniel ada di sampingnya, mendukungnya agar hubungan persahabatannya dan Sina kembali membaik. "Aku nggak suka Sina menjadi seperti sekarang."

"Gue juga," Daniel menghela napas panjang. Daniel menepuk kedua bahu Era, memberi semangat. "Tapi kita bisa ubah dia, 'kan?"

Era menangkap kesungguhan dari mata Daniel, dibalik iris hitam itu terbalik sebuah rasa percaya bahwa semua akan kembali seperti semula. Era hanya mengangguk, membenarkan apa yang diucapkan oleh Daniel.

"Nah, pinter." Daniel mengacak - acak rambut Era hingga berantakan. Membuat Era menggerutu sebal, sambil berusaha merapikan rambutnya.

"Jangan menyerah, gue bakal tetep dukung lo."

"Siapa juga yang nyerah?" sewot Era.

Daniel menaikan satu alisnya. "Trus tadi acara mewek itu apa?"

"Hish, sapa juga yang mewek," Era mendengus sebal. Daniel tertawa, karena gemas ia mencubit pipi Era yang sedikit tembem.

"Dasar tembem!" ejek Daniel sambil menjulurkan lidahnya.

Sahabat Bukan Berarti DekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang