32. Maaf

493 24 0
                                    

"Ayah? Tante Erina?" tanya Era tercengang melihat keduanya.

Tante Erina menundukan kepalanya, tak berani menatap Ayah yang tampak merendam emosi. Mukanya pucat pasi, Era paham, maksud dari ekspresi Tante Erina. Jelas - jelas Tante Erina merasa bersalah.

Sedangkan Ayah menatap jendela apartemen dengan wajah kaku. Seperti Ayah biasanya yang menahan amarah.

Ayah kemudian menatap Era.

"Kamu dah pulang, Era?" tanya Ayah.

"E.. iya," jawab Era dengan gugup.

"Duduk sebelah Ayah, Era." Ayah menepuk sofa di sampingnya.

Era berjalan perlahan menuju sofa. Ia merasa tidak enak dengan situasi ini. Moodnya yang hancur tadi hilang entah kemana.

Ayah mengetuk - ngetuk jarinya di meja. Seperti menunggu seseorang. Era tidak berani bertanya pada Ayah. Melihat beliau berusaha menahan amarah.

"Terima kasih, Kak Anandya, udah mau nganterin." Ujar seseorang dibalik pintu apartemen.

"Era, bukakan pintunya," perintah Ayah sambil melirik pintu apartemen.

Era segera beranjak menuju pintu apartemen. Membukakan pintu apartemennya, sambil menahan rasa penasaran siapa yang dinantikan Ayahnya.

"Ayah ada ap-"

Pandangan Sina dan Era bertemu. Era hanya menatap Sina datar. Sedangkan Sina memutar bola matanya dengan kesal sambil berjalan memasuki apartemen Ayah. Era buru - buru menutup pintu dengan keras.

"Ada apa, Yah?" tanya Sin sambil duduk di samping Tante Erina.

Era kembali duduk di posisi semula, yakni di samping Ayahnya. Di antara merek seperti tercipta atmosfer yang aneh. Tidak biasanya Ayah datang ke Jogja seperti ini.

"Apa yang kalian lakukan?"

Sina menatap kedua manik hitam Ayahnya. Tidak peduli Ayah menghujaminya dengan tatapan yang begitu tajam.

Era hanya mengerutkan dahi. Ia tidak tahu menahu soal masalah yang dibicarakan Ayah. Era juga jarang datang ke Surabaya.

"Itu salahku, Alex." Tante Erina berkata dengan lirih.

"Kenapa kalian melakukannya?" tanya Ayah dengan dingin.

Sina gelagapan melihat bundanya ketakutan. Ia bergantian menatap Ayah dan Tante Erina. Mencari akal untuk membantu bundanya.

"A.. ayah, kami hanya tidak ingin membebani." Sina menelan ludah, berharap jawaban yang ia berikan sudah yang terbaik.

"Oh, jadi kalian sudah berani mengatur segalanya di keluarga ini? Masih ada Rendra yang sudi mengurusnya!" Ayah memelototi mereka berdua yang semakin terdesak.

"Memang cuma kalian anggota keluarga ini? Seharusnya kalian membicarakannya bersama kami!" Ayah meninggikan suaranya, bertanda ia sangat marah sekarang.

Tante Erina menggenggam erat tangan Sina. Memberikan ketenangan lewat genggamannya. Percuma, muka Sina kini sudah pucat pasi menahan takut.

"APA KALIAN-"

"Itu karena aku membenci Era!" seru Tante Erina, dengan terang - terangan ia balik menatap Ayah dengan tajam. "Aku benci Era," ulang Tante Erina dengan nada penuh penekanan.

"Apa urusanmu dengan Era!?"

Raut mereka berdua kini benar - benar serius. Mereka seperti memulai percikan api yang akan menjadi kobaran api. Era dan Sina berharap, ini semua segera berlalu.

"Karena aku iri pada Sinta!" teriak Tante Erina hingga air mata membasahi pipinya.

"Jika saja Sinta tidak meminta Ethan untuk menyari ayahnya.. Ethan tidak bakal pergi!" seru Tante Erina dengan raut penuh kemarahan.

"Andai saja aku bisa menghentikannya.." Tante Erina menatap Sina yang memilih menulikan telinganya.

"Aku tidak peduli apa alasan kalian! Besok kita akan ke Jakarta, aku akan mengawasi kalian," ucap Ayah sambil beranjak dari sofa.

Ia lalu menuju pintu, hampir membukanya. Ayah lalu menatap ketiga anggota keluarganya itu.

"Sina, Erina, kita pulang sekarang." Tante Erina dan Sina buru - buru mendekati Ayah yang sudah siap dengan tatapan elangnya.

"Era, maaf mengganggu waktu istirahatmu. Semoga malam ini menyenangkan, nak." Ayah lalu membuka kenop pintu dan melenggang keluar. Diikuti Sina dan Erina. Lalu pintu tertutup dengan perlahan.

Era hanya menatap kepergian mereka. Tidak percaya Ayah kini membela Mama. Selama ini Ayah tidak peduli pada Mama. Namun mengapa hanya sebuah toko roti dan rumah peninggalan Mama begitu berharga?

Era menghela napas. Ia sepertinya salah menilai Ayahnya. Namun mengapa Ayah jarang menemuinya? Ayah selama ini hanya mementingkan pekerjaannya. Apakah Era dan Mama tidak penting? Pekerjaan apa yang membuat Ayah melupakan keluarganya sendiri?

"Maafkan Mama, Era."

Tanpa sadar air mata membasahi wajahnya. Ia begitu tersentuh. Ayah mati - matian menjaga kenangan Mama. Mungkinkah Era selama ini salah? Apakah ada alasan dibalik seluruh tindakan Ayahnya?

Era menghapus air matanya. Mencoba mengatur napas agar tidak menangis lagi. Matanya tertuju pada bingkai foto keluarganya yang ia bawa dari Jakarta. Era kecil yang digendong Mama. Sudah lama sekali kenangan itu. Ia ingin merasakan sentuhan Mama lagi.

"Mama, apakah tindakanku benar?" tanya Era pada sosok Mama yang terbungkus dalam foto.

"Apakah aku membuat Mama.. marah?" tanya Era dengan lirih.

Era mengambil bingkai foto itu, mendekapnya erat seperti meminta Mama untuk kembali dan tidak meninggalkannya lagi. Era harap itu sebuah kenyataan. Atau mungkin Mama datang dalam sosok lain.

"Aku melakukan ini karena sayang sama Mama," kata Era sambil mengeratkan dekapannya.

Ia berharap Mama memaafkannya. Mama pasti tahu, apa yang Era lakukan semuanya demi Mama. Demi Mama yang menghidupi Era sewaktu kecil. Demi Mama yang ia sayangi.

Angin malam berhembus. Seperti memaksa Era untuk menatap rembulan yang bersinar terang. Rembulan yang sangat indah. Dari situ Era paham, Mama memintanya untuk tidak menangis. Mama meminta Era bahagia.

Sahabat Bukan Berarti DekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang