Jalanan Surabaya sudah tidak terlalu padat, hanya beberapa kendaraan yang berlalu lalang. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam dan tidak biasanya jalanan sesepi ini. Di dalam kegelisahannya, Era mendengus kesal berkali - kali. Nyatanya taksi pesanannya tak kunjung datang, malahan tak ada satupun taksi yang lewat. Era merasa takut, jelas saja, dia sendirian di tengah malam. Pergi ke rumah adalah pilihan yang buruk, Era tak yakin bisa mengontrol emosinya sendiri. Bisa berbahaya apabila ia dan sang ayah kembali bertengkar.
Memikirkan hal semacam itu membuat Era bergidik. Ia menggigit jarinya dengan cemas dan tanpa sadar jalan mondar - mandir. "Apa taksinya macet, ya?"
Era tersenyum kecut. Dia sudah berdiri selama dua puluh menit lamanya, dan ternyata taksinya belum datang juga.
Apa lebih baik dibatalkan saja? Era sudah memikirkan hal itu, namun ia menepisnya. Kasian bila taksinya sudah dekat, dan kasian pula sopir taksinya.
Ponsel Era berdering, yang adalah nomer dari pihak taksinya.
"Oh begitu ya, Pak."
Era tersenyum kecut. "Eh, iya, tidak apa - apa, Pak. Iya, selamat malam."
Panggilan berakhir. Ban taksinya bocor, dan pilihan terakhir bagi Era adalah berjalan kaki menuju hotel terdekat.
Perlahan Era menggeret kopernya menuju persimpangan jalan, tempatnya menyebrang. Nyalinya ciut, ketika melihat gerombolan laki - laki yang membawa motor ninja di dekat warung kecil. Era meneguk ludah, pikiran buruk langsung memenuhi pikirannya. Di saat seperti ini, bukan saatnya untuk memikirkan pencopetan atau semacamnya. Berusaha bersikap acuh, Era menunggu lampu lalu lintas untuk pejalan menjadi hijau.
Era bernapas lega, dirinya sudah sampai di seberang jalan dan berhasil melewati gerombolan laki - laki tadi.
Perasaan menyesal hinggap di hatinya. Andai saja ia menerima tawaran Kak Stela yang hendak ikut ke Surabaya, mungkin ia tak akan setakut ini. Ia hanya merasa tidak enak kepada Kak Stela dan keluarganya. Selama ini ia sudah terlalu banyak merepotkan dan Kak Stela sedang sangat sibuk dengan tugas kuliah.
"Kamu yakin?" Kak Stela melebarkan matanya. Raut penuh kekhawatiran terlihat begitu menonjol, bersamaan dengan tangannya yang meremat lengan Era.
"Iya." Era berusaha tenang. "Lagipula Kak Stela juga sibuk, kan? Era bisa sendiri kok."
"Tapi, kan.."
Kak Stela menggigit bibir bawahnya, memikirkan bagaimana nasib Era ketika sudah sampai ke Surabaya. Lebih tepatnya, kemana tujuannya dan bagaimana nasibnya. Apalagi Era melakukan penerbangan malam, yang menambah kekhawatiran Kak Stela.
"Nggak papa, Kak." Era tersenyum, senyum untuk menguatkan dirinya sendiri.
"Masalahnya lo sendirian, Era." Kak Stela bersikukuh.
Meskipun Era juga takut, ia tetap menggeleng. Sudah cukup banyak ia merepotkan. Tidak lagi. "Nanti Era kabarin deh, oke? Kakak di Jogja aja ngurusin tugas."
"Era.." Kak Stela menggantung ucapannya.
"Santai aja gitu loh. Udah yuk, makan dulu. Tadi pagi Kak Stela nggak sempet makan nasi, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat Bukan Berarti Dekat
Teen FictionH I G H R A N K : #54 in Teenagers Ketika sahabatmu harus menjadi saudara tirimu. Ada alasan mengapa Cassandra Inara Sheren memusuhi sahabatnya sendiri. Dan juga, ada alasan untuk Veralia Agatha Sekar menentang pernikahan Ayah-nya. Tapi, bisakah m...