Taman bermain itu nampak asing bagi Era. Ini pertama kalinya ia diajak Mama jalan - jalan ke pusat kota. Orang - orang yang berlalu lalang membuat Era takut. Tidak ada satupun orang yang ia kenal di sini.
Pandangannya teralihkan pada anak kecil berkucir ekor kuda dengan poni rata sealis. "Mama aku mau es krim!" ujarnya sambil menarik narik jas kantor ibunya.
Era hanya menyaksikan pemandangan itu dengan tatapan iri. Ia berharap dapat meminta hal seperti itu pada mama. Namun pada kenyataannya, perekonomian mereka sedang tidak baik. Dan Era tahu harga es krim yang diminta anak itu sangat mahal.
Ia menghela napas pelan, kemudian mengalihkan kembali pandangannya pada keluarga yang sedang makan siang. Raut ceria terpancar dari wajah mereka, tertawa lepas seakan tanpa beban. Era kembali iri dengan wajah anak laki - laki keluarga itu yang sangat bahagia. Ditemani figur ayah yang perhatian. Senyum pahit terukir di wajahnya, pada kenyataannya ia tidak akan bisa merasakannya.
Dulu Era pernah bertanya pada Mama tentang ayahnya. Jawaban yang sama selalu ia dapatkan, ayah sedang sangat sibuk, Era. Terkadang ia menginginkan sosok ayah mengantarnya ke sekolah lalu menjemputnya, membelikan apapun yang Era mau, mengajaknya jalan - jalan, dan membacakan dongeng singkat. Seperti keluarga pada umumnya.
Rerumputan yang bergoyang mengingatkan Era tentang sosok ayah yang ditemuinya tiga tahun lalu. Dan ia sudah lupa bagaimana bentuk wajah, senyuman, atau tatapannya. Menghilangkan kenangan lama yang kembali, Era memakan lagi gulali pemberian Mama.
Mama berkata untuk menunggu di sini, tapi sudah setengah jam Era menunggu. Mama belum datang juga. Ia memperhatikan setiap orang yang melangkah, mencari Mama diantara keramaian. Nihil, ia tak menemukan orang yang ia nanti - nanti.
"Mama lama sekali," gerutu Era dalam hati sambil menggoyangkan kedua kakinya. Kantuk menyergapnya akibat lelah. Ia ingin segera tidur di kasur yang empuk.
"Halo?" Era menatap anak kecil yang memanggilnya, perkiraan ia lebih tua dari Era. Senyum manis merekah di wajah anak itu.
"Siapa kamu?" tanya Era bingung, ia belum pernah bertemu dengan anak itu sebelumnya. "Kata Mama aku nggak boleh ngomong sama orang asing," lanjut Era berharap anak itu mengerti.
Mata anak itu menyipit membentuk bulan sabit. Ia tersenyum, menampakan gigi putihnya yang berjejer rapi. "Aku anak baik, aku nggak pernah bohong sama orang tuaku."
"Apa orang jujur itu orang baik?" tanya Era polos, pada waktu itu ia belum mengerti apapun tentang kehidupan.
Anak laki - laki mengangguk cepat, merasa percaya diri dengan ucapannya.
"Tapi kamu orang asing." Era memperhatikan wajah manis anak laki - laki itu. "Aku nggak kenal kamu," sambungnya.
"Ayo kenalan. Namaku Rendra." Anak bernama Rendra itu mengulurkan tangannya, diterima oleh Era. Era mengulum senyum.
"Aku Veralia." Rendra lalu menarik kembali tangannya.
"Kamu kenapa di sini?" tanya Era sambil turun dari bangku yang ia duduki. "Apa kamu tersesat?" tanyanya lagi sedikit antusias.
Rendra menggeleng sebagai jawaban. Ia lalu menunjuk salah satu restorant yang berada di taman hiburan itu. "Orang tuaku sedang makan di sana."
"Oh," gumam Era. "Lalu ngapain kamu di sini?"
"Bosen, aku ingin main bersama anak seumuranku," curhat Rendra lirih. Ia lalu tersenyum kecut.
Tanpa diduga, Era lalu menggenggam tangan Rendra erat - erat. Ia tersenyum sebelum akhirnya menarik Rendra agar mengikutinya. "Kita sama. Aku cuma punya satu teman, dan dia sedang pergi ke luar kota."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat Bukan Berarti Dekat
Ficção AdolescenteH I G H R A N K : #54 in Teenagers Ketika sahabatmu harus menjadi saudara tirimu. Ada alasan mengapa Cassandra Inara Sheren memusuhi sahabatnya sendiri. Dan juga, ada alasan untuk Veralia Agatha Sekar menentang pernikahan Ayah-nya. Tapi, bisakah m...