25. Masa Lalu

461 25 0
                                    

Selama 2 jam Era mengurung diri di kamar. Bukan tanpa sebab, Era merebahkan dirinya karena capek. Ia tidur selama hampir satu stengah jam. Lalu mandi, dan membaca novel. Lagipula sekarang Tante Rin dan Tante Erina sedang beristirahat.

TV di kamarnya tidak dinyalakan. Karena Era jarang menonton TV.  Acara TV tidak ada yang bagus baginya. Lebih baik menonton film lewat laptop. Atau menghabiskan waktu untuk membaca.

Ponsel Era masih berada di meja makan. Era tidak mengambilnya karena malas. Ia memilih menggunakan tablet samsung yang disimpan di kamarnya.

Entah mengapa, Era sekarang ingin membuka sosial media miliknya. Ia membuka akun instagramnya. Postingan terakhirnya adalah foto Era dan Sina waktu di acara pernikahan Ayah. Era tidak membuka akun instagramnya setelah itu.

Postingan terakhirnya mendapat lebih banyak like. Mungkin karena Era jarang mengaploud foto dirinya. Lalu ia membuka akun milik Sina. Isinya hanya foto foto Sina semua. Era bosan membuka instagram miliknya, ia hendak keluar dari aplikasi. Namun ia sadar ada pesan masuk di DM.

VelerieSin.7624 : Denger denger lo pulang ke Surabaya ya..

Urusan lo?

VelerieSin.7624 : Urusan gue lah. Yang lo urus Bunda gue

Trus?

VelerieSin.7624 : Ya lo ngurus yang bener! Sampe Bunda knapa knapa, gue laporin lo ke Ayah

Trus? Gue harus bilang waw gitu?

VelerieSin.7624 : O ya, rumah lo yang di Jakarta skarang milik gue

Itu tanah Mama gue bukan Bunda lo!

VelerieSin.7624 : Tanya saja pada Ayah kalo lo nggak percaya
VelerieSin.7624 : Rumahnya bagus, gue suka. Sayang bangunannya KUNO

Kata - kata lo dijaga! Lo nggak tau apa - apa tentang keluarga gue

VelerieSin.7624 : Heh, emang gue nggak tau?
VelerieSin.7624 : "Keluarga Miskin" hahahaha

Era meremas tepi tablet. Ia sangat marah. Keluarga miskin kata Sina? Ia tidak tahu sebanyak apa keluarganya berkorban. Apalagi Mama. Bagi Era, Mama sudah terlalu banyak berkorban. Mama bahkan tidak memikirkan kondisi kesehatannya. Ia bekerja terlalu keras. Pagi buta, Mama sudah menjajakan makanannya di sekitar pasar. Lalu menjelang siang, Mama akan membuka toko hingga malam. Toko milik Mama libur setiap hari Minggu. Namun di hari Minggu, Mama sudah mulai menitipkan dagangannya. Mama baru pulang saat sore.

Era tahu, Mama berjuang terlalu keras. Baginya toko roti milik Mama sudah cukup. Tapi bagi Mama, Era harus tetap mendapat pendidikan yang layak. Mama akan membiayai seberapapun besar SPP, untuk masa depan anaknya.

...

"Mama sudah pulang?" tanya Era dengan gembira saat Mama memasuki kamarnya.

"Iya sayang. Kamu belajar apa malam - malam begini? Besok ulangan?" tanya Mama sambil duduk di kursi.

"Iya, Era pengen dapet nilai bagus besok," kata Era sambil berseri senang.

Hati Mama merasa senang dan sedih dalam waktu bersamaan. Senang, karena Era anak yang rajin dan pintar. Sedih, karena Mama tidak bisa memberikan Era yang terbaik. Tapi Era tidak pernah mengeluh. Bersama Mama adalah hal terindah baginya. Dan Mama tahu itu.

Mama meninggalkan Surabaya saat Era masih di dalam kandungan. Mama memilih tinggal bersama Nenek. Di Surabaya sangat menyiksa baginya. Ayah juga jarang datang ke Jakarta untuk mengecek keadaan Era. Sibuk, sibuk, dan sibuk. Bagi Era bertemu Ayah adalah hal yang luar biasa.

"Maaf Mama tidak bisa seperti orang tua teman - temanmu," kata Mama dengan nada lirih. Mama tahu teman - teman Era selalu mengikuti trend jaman.

Tiba - tiba Era memeluk Mama. Mama membelalakan matanya.

"Era nggak mau tas baru, Ma. Era mau sama Mama dan Nenek," kata Era sambil tersenyum.

Mama memandangi Era. Lalu air mata keluar dari matanya. Ia tidak bisa menahan lagi. Segera Mama memeluk Era. Mama merasa beruntung memiliki anak seperti Era.

...

Era mengalihkan pandangannya. Keluar dari ingatan lama itu. Lalu mengecek apakah Sina mengirimkan pesan lagi untuknya. Tidak, ternyata Sina tidak mengirimkan apapun. Era menghela napas panjang, lalu menghembuskannya kuat - kuat.

Sina mungkin tahu sedikit. Sina mungkin juga mengerti. Bagaimana perasaan mereka, bagaimana masa kecil mereka. Bagaimana mereka bertahan dengan keadaan itu.

...

Sina memandangi ponsel yang sedari tadi ia genggam. Berharap Era membalas pesannya. Namun nihil. Sina tidak mendapatkan pesan apapun. Ia merenungi kata - kata yang tadi ia ketik.

"Keluarga miskin"

Sina merutuki kata - kata yang ia tulis. Tidak sepantasnya Sina menulis hal seperti itu. Era pasti sakit hati.

"Sina, ayo cepat keluar! Kita harus makan malam," kata Kak Anandya dengan suara toanya dari luar.

Sina spontan menoleh ke arah pintu. "Iya, iya. Tunggu bentar Kak."

Sina menaruh ponselnya. Lalu turun dari kasur. Besok lusa dia pulang. Sina harus siap mental untuk bertemu Era.

"Sina, dinner kali ini ada yang mau ketemu sama kamu," kata Kak Anandya setelah Sina keluar dari kamarnya.

"Siapa?" tanya Sina sambil mengunci pintu.

"Dia dari Jakarta. Namanya, Ren.. Rendra," jawab Kak Anandya sambil menompang dagu. Sedang Sina membelalakan matanya, kaget.

Rendra jauh - jauh dari Jakarta hanya untuk menemuinya? Ada urusan apa yang membuatnya melakukan hal senekat itu. Padahal setahu Sina, perusahaan Papa Rendra sedang menjalankan sebuah proyek.

Sahabat Bukan Berarti DekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang