33. Kebingungan

482 22 0
                                    

Esoknya Era sudah bersiap dengan tas besar yang sudah ia siapkan. Era tidak mau repot, membawa koper yang begitu ribet. Lagipula baju yang ia bawa hanya sedikit.

Era menunggu di depan televisi sambil mendengarkan musik. Ayah memberi tahu lewat pesan, bahwa ia akan menjemput pukul 10.00. Ia bersenandung mengikuti nada lagu yang ia dengarkan. Tanpa terasa jam sudah menunjukan pukul setengah sepuluh.

Tok! Tok! Tok!

"Era.."

Era berhenti bersenandung. Kemudian melepas earphone yang ia gunakan. Lalu menaruh di atas nakas. Menuju ke pintu apartemen untuk membukakan pintu.

"Sudah siap?" tanya Ayah sambil menatap Era intens.

Era mengangguk. Kembali ke depan televisi, mengambil barang - barang yang ia bawa. Setelah itu Era menjinjingnya dan melangkah keluar dari apartemen.

"Masih marah pada Ayah?" tanya Ayah sambil mengambil tas yang dibawa Era.

"Aku tidak marah pada Ayah." Era mengunci pintu apartemen. Ia berusaha tidak bertatapan mata dengan Ayahnya.

"Terserah." Ayah lalu berjalan terlebih dahulu diikuti Era yang jalan begitu pelan.

...

"Selamat siang, Yah!" kata Sina sambil menyalimi tangan Ayahnya.

"Hm," jawab Ayah dengan singkat.

Mereka lalu menunggu pesawat yang akan sampai. Sina sibuk mengurusi pemotretannya yang ia tinggalkan. Erina memeriksa kelengkapan isi tasnya. Ayah sibuk menelepon sekretarisnya. Sedangkan Era mengechat Daniel untuk menghilangkan rasa bosannya.

Omong - omong, Daniel sekarang di Sanghai bersama Om Bagas dan Tante Rin. Mereka pulang kampung untuk menemui kakek dan nenek Daniel yang tinggal di Sanghai. Kak Stela terpaksa tidak bisa ikut karena tugas di Palembang.

Terkadang Era ingin bertemu dengan kakek dan neneknya. Selama ini yang Era kenal hanya ibu dari Mamanya. Era tidak pernah melihat orang tua Ayahnya. Ayah bahkan tidak pernah menyinggung hal tersebut. Andai Era bisa bertemu dengan mereka.

"Era, ayo! Jangan melamun," oceh Ayah sambil mengguncang lengan Era pelan.

Era tersadar dari lamunannya, ia lalu menyusul Ayah yang sudah berjalan dahulu bersama Sina dan Tante Erina. Mungkinkah hal yang perlu Era lakukan sekarang adalah menerima keluarga barunya? Tidak, keluarganya hanya Ayah dan Mama. Tante Erina dan Sina bukanlah keluarganya. Pemikiran itu selalu terngiang ngiang di kepalanya selama tiga tahun ini.

...

Setelah pesawat mendarat di Jakarta, mereka langsung keluar dari bandara sambil menunggu sopir Ayah. Era sudah lupa jalan yang ada di Jakarta, ia hanya mengingat rupa rumah Mamanya dan toko roti milik Mama. Tidak seperti Ayah yang sering datang ke Jakarta.

"Selamat datang kembali, Tuan Alex," sapa sopir Ayah yang bernama Rey.

"Terima kasih Rey."

Rey lalu menatap nonanya, Era. Sudah lama sekali Era tidak datang ke Jakarta. Walau begitu Rey masih hafal perawakan Era.

"Selamat siang, Nona Era. Bagaimana kabarnya? Lama sekali tidak datang ke Jakarta," kata Rey sambil tersenyum pada Era.

"Selamat siang, Rey. Aku terlalu sibuk mengurusi sekolahku," jawab Era kepada pria berusia 39 tahun itu.

"Perkenalkan, Rey. Ini Erina." Ayah menunjuk Tante Erina yang mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Diikuti Rey yang menerima jabatan tangan. "Dia adalah istriku."

Sahabat Bukan Berarti DekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang