Mulai dari hari di mana Satya dan aku bertengkar di UKS, Satya jadi semakin baik padaku. Mungkin karena tidak enak hati sudah membuatku kesal saat itu. Padahal aku saja sudah melupakannya.Bukan hanya mengajakku ke kantin bersama, dia bahkan mau repot-repot mengantarku pulang. Tentu aku tidak mau. Lagipula aku bisa naik bis sendiri.
Yah tapi bukan Satya namanya jika tidak memaksa orang. Setiap kali aku menolaknya, pasti dia langsung memaksaku. Sudah tahu aku tidak suka dipaksa-paksa, jadilah kami bertengkar di jalanan. Tapi akhirnya aku mengalah juga.
Dia selalu pulang bersama Galang. Naik motor sendiri-sendiri. Tapi aku tidak mungkin minta ke Galang untuk diantarkan pulang, lah. Masa aku harus bilang ke dia, "Galang, aku pulang sama kamu dong."
Ih, nggak lah. Padahal aku mau jika diberi dua pilihan antara Satya dan Galang. Tapi memangnya Galang mau mengantarku? Haha.
Ya sudah, akhirnya aku dibonceng Satya, dan Galang naik motor sendiri. Andai Satya adalah Galang, mungkin aku akan memeluknya sekarang juga.
Eh, tapi nggak juga ah!
Hari-hari terus berjalan sama. Kurasa aku sudah cukup malas kalau harus pulang bersama Satya lagi. Ya ... meski saat di jalan aku bisa melihat wajah Galang diam-diam, sih.
Akhirnya hari ini aku pulang sendiri saja. Tidak dengan Defia karena rumah dia dekat sekali dari sekolah. Beda denganku.
Aku lebih memilih jalan sendirian ke jalan raya daripada harus bersama temanku. Mereka terlalu berisik dan lama jalannya.
Setelah sampai di tepi jalan raya, aku menunggu bis sebentar di halte. Hingga lima menit, akhirnya bis pun tiba. Aku diam sebentar untuk menunggu penumpang dari bis turun, lalu setelahnya aku masuk.
Rasanya panas dan sekali. Tapi untungnya bangku di sebelahku kosong. Jadi tidak terlalu sempit lah.
Bis baru berjalan sedikit, namun berhenti lagi. Sepertinya ada penumpang yang tertinggal. Ya, bodo amat juga sih ya.
Aku mengeluarkan sebuah novel tipis yang baru kubeli, lalu aku membacanya untuk menghilangkan suntuk. Jujur aku tidak terlalu suka bermain gadget.
"Aduh gila capek ...."
Tiba-tiba, aku sedikit dikejutkan oleh seseorang yang baru saja duduk di sebelahku. Bukan karena apa, tapi dia ....
"Eh, Galang?" Aku menutup novelku, lalu menatap Galang dengan gemeteran. Kok bisa-bisanya dia naik bis juga, sih?
Jangan-jangan dia sengaja naik bis supaya bisa pulang bareng denganku, lagi?! Hahaha, lucu sekali. Tingkat kepercayaan-diriku terlalu tinggi ternyata.
"Eh, lo rupanya. Gue gak nyadar tadi." Galang tertawa simpul.
Aduh, dia kenapa suka banget senyum sih? Apa dia sengaja mau bikin aku salah tingkah?!
Aku tersenyum kikuk. Lalu melihat ke jalanan. Tapi hembusan napasku tidak bisa normal. Aku terlalu deg-degan dan gerogi sampai aku seringkali menarik dan membuang napas.
"Lo kenapa? Perasaan tadi gue yang ngejar-ngejar bis ini. Tapi kenapa lo yang ngos-ngosan dah?"
Aku menoleh ke arahnya, lalu tersenyum keki lagi sambil menggeleng cepat. "Gue ..." Aku terdiam sesaat, bingung ingin mengatakan apa. "Oh, itu. Gue lagi latihan bernapas."
KAMU SEDANG MEMBACA
101 Ways To Say I Love You
Short Story"Harga diri; Itu lebih dari sekedar menyatakan rasa." Ya itu menurutku, sampai akhirnya statement itu dihancurkan oleh seseorang laki-laki yang paling sulit dipahami. Galang.