"Sekarang, lo gak usah lakuin apa-apa dulu. Lo harus bisa tahan diri lo supaya nggak keliatan marah di chat atau pas ketemu sama dia," ucap Defia. Kini kami sedang berada di kamarku. Karena rencananya, Defia akan menginap sehari di sini alias sampai minggu."Gak—"
"Harus bisa!"
Belum juga ngomong!
"Oke." Aku membuang napas pelan. "Terus"
"Nih." Defia memberikan ponsel milikku sendiri padaku. Aku jadi bingung apa yang akan aku lakukan. "Chat dia."
Aku melotot. "Wait? What! Gak lah. Gengsi gue gila! Gue aja gak pernah chat dia."
"Serius lo? Gak pernah chat dia?!" Sepertinya Defia tidak percaya padaku.
"Pernah, sih. Ngajak mabar Free Fire doang. Gue aja download gamenya karena dia main game itu."
"Nah, lo mau dia suka sama lo nggak?" Defia mengancam. Dan aku mengangguk pasrah. "Kalau mau, yaudah. Ikutin gue."
"Gue harus chat apaan?" Aku agak canggung untuk melakukan ini. Aku tak terbiasa melakukan ini sebelumnya.
"Tanya dia lagi ngapain. Atau greet dia, lah."
"Heh gila, gue gak pernah gitu sama cowok apalagi sama dia."
"Aduh please deh, Ren. Lo kapan majunya kalo judes mulu sama cowok?! Kalo nggak, ya ajak mabar lagi deh."
Aku akhirnya membuka aplikasi WhatsApp dan mengetikkan namanya. Setelah itu barulah aku mulai mengetik pesan yang ingin dikirim.
"Udah nih." Aku menggerutu sebal.
"Good—eh geblek! Ngapa lo ngechat begini anying?! Wah parah bener-bener."
Aku heran. Kenapa aku salah lagi, sih? Perasaan aku udah ikutin sarannya.
"Apaan lagi sih, njir," omelku.
"Ini lo ngajak mabar apa ngajak ribut?!" Defia memarahi aku, lalu membaca pesan yang kukirim tadi. "'Lang, mabar, Lang. Mau gak? Kalo gak mau yaudah, gue juga bisa main sendiri.' Woy cuuuy! Dia baca pesannya juga udah males duluan kali!"
"Lah, daripada ntar dia bilang 'nggak dulu, deh', ya mending gue kasih dua pilihan aja langsung. Ntar gue yang malu kalo dia tolak." Aku menopang dagu.
"Aduh, gak ngerti lagi deh gue sama lo." Dia geleng-geleng. "Harusnya lo bilang gini, 'Galang, mabar yuk! Lo bisa gak? Wkwk'. Pake 'wkwk' dikit kek."
"Lucu aja kagak ngapain 'wkwk'." Aku mengedikkan bahu.
"Ya basa-basi dikit. Ah, gimana mau seru chatannya, lo aja WA dia kalo ada yang penting doang," kesal Defia. "Percaya sama gue, dia gak keganggu kok sama lo. Lo tau kan anak cabe-cabean kalo ngechat gimana? Nge-spam banget. Nah, si Berlian gitu kali."
Jadi, aku harus seperti itu?!
"Gue bales kayak gitu karena Galang balesnya juga jutek ke gue." Sebenarnya aku tidak tahu sih, apakah itu benar atau sugestiku saja.
"Ya karena lo gak asik, Ren."
Aku melihat ke arah kaca di lemariku. Lalu melihat pantulan wajahku sendiri. "Gue gak bisa ngerangkai kata kayak lo, Def. Gue ya begini. Gue juga gak cantik. Dia gak bakalan suka sama gue." Ya, aku sedikit pasrah, sih.
"Kata siapa lo gak cantik? Lo gak denger kemarin Satya ngomong apa?" Mungkin aku memang menyebalkan makanya Defia kesal terus padaku. "Serius dong, Ren! Ah gak asik lo."
"Gue serius."
"Yaudah, unsend aja chat yang tadi. Chat ulang lagi."
"Udah dibaca sama dia. Masa diunsend." Aku menunjukkan ponselku pada Defia. Lalu anak itu mengembuskan napas kasar.
"Dibaca doang lagi. Ngapa sih tuh orang?" Defia berucap pada ponselku seolah iu adalah Galang.
"See? Bahkan dia gak balas pesan gue. Berarti dia memang nggak tertarik sama gue."
Atau mungkin aku seorang yang mengganggu baginya.
*
Maaf Galang. Aku dulu memang terlalu childish.
Aku terlalu takut kehilangan kamu. Makanya aku selalu berpikiran seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
101 Ways To Say I Love You
Cerita Pendek"Harga diri; Itu lebih dari sekedar menyatakan rasa." Ya itu menurutku, sampai akhirnya statement itu dihancurkan oleh seseorang laki-laki yang paling sulit dipahami. Galang.