Setelah 120 menit kami berada di ruang ujian, akhirnya semua teman sekelasku yang seruangan denganku pun keluar.Aku sedikit lega karena tadi saat akan dimulainya ujian, aku sempat mencoba berbasa-basi dengannya. Dan dia menjawabnya dengan ramah seperti dulu.
Artinya dia memang tidak marah padaku. Mungkin kalau dia tahu itu jus pemberianku, dia tidak akan membuangnya.
Aku sengaja berjalan di belakangnya saat akan pulang. Aku hanya ingin dekat dengannya. Itu saja.
Tapi saat kami berjalan di koridor, Galang sempat melihat ke arahku. Lalu dia berhenti dan berbicara padaku.
"Erm ... Nath, gue bisa ngomong sebentar sama lo?"
Aku mengerjap beberapa kali. Spontan, aku jadi gerogi lagi. Apa dia ... ingin menembakku?!
Gila, ini serius?! Tumben sekali dia mengajakku berbicara. Pasti ada suatu hal yang penting.
Tuhkan, sifat geerku muncul lagi. Aku tersenyum dalam hati, lalu mulai menatap matanya.
"Sebenarnya gue mau ngomong sesuatu juga sama lo. Gue rasa ini timing yang tepat untuk gue jelasin ke lo," ucapku gugup.
"Lo mau ngomong apa emangnya, Nath?" Galang memulai pembicaraan. Aku jadi takut untuk mengatakannya. Ini kesempatan terakhirku untuk mengatakan yang sejujurnya.
Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Rasa takut ini muncul lagi setiap aku melihatnya yang juga menatapku.
"Gue—gue suka sama lo, Galang. Gue suka sama lo udah lama. Gue suka sama lo karena lo baik sama gue. Gue harap, orang yang lo suka itu gue."
Sumpah, tadi itu bukan mimpi, kan? Aku bisa mengatakannya! Aku tak percaya ini.
Galang bergeming dan hanya menatapku lama. Ayolah, aku menunggu jawabanmu. Aku yakin, dia tidak akan menjawab dengan jawaban yang mengecewakan.
"Dan sebenarnya, yang sering ngasih lo jus itu gue." Aku menunjuk jus yang Galang pegang itu, lalu tersenyum tipis.
Galang masih menatapku tanpa menjawabnya. Tapi beberapa menit kemudian dia mengangguk pelan.
"Gue tahu."
Aku membelalakkan mata.
"Apa? Jadi ... lo udah tau?"
Dia mengangguk. Kurasa dia tidak akan menolakku, karena sikapnya selama ini kepadaku sangatlah baik padahal dia sudah tahu yang sebenarnya.
"Dan, lo mau ngomong apa?" Aku menahan senyuman. Aku pun sudah menduga apa yang akan dia katakan padaku.
"Kebetulan lo udah jujur sekarang." Dia malah menyodorkan jus dariku itu kepadaku. "Gue balikin ini."
Aku hanya melihat jus yang masih tergenggam di udara itu dengan kernyitan di dahi. "Maksudnya?"
"Gue gak tertarik sama lo. Jadi lebih baik lo jauhin gue dan gak usah kasih gue jus beserta tulisan-tulisan lo itu lagi."
Kurasa Galang sedang bercanda.
"Kok ... jadi gini?"
"Jadi gini gimana? Lo berpikir bahwa gue akan nembak lo barusan? Lo salah. Kalau tadi lo jujur dengan perasaan lo yang selama ini suka sama gue, gue justru sebaliknya. Gue gak suka sama lo, Renatha."
"Tapi ... selama ini lo—lo baik sama gue."
Galang tersenyum. Senyuman yang berbeda makna dari biasanya. "Ternyata lo salah perspektif terhadap gue ya. Gue baik ke semua orang. Bukan ke lo doang, dan bukan karena gue suka sama lo."
Dia memegang tanganku yang masih belum tergerak untuk mengambil jusnya, lalu ia mengembalikkan jus itu ke tanganku. "Thanks. Seharusnya lo gak perlu ngasih ini. Percuma. Cara lo terlalu kuno. Lo gak punya nyali. Lo terlalu gengsi sama harga diri lo itu. Dan ini semua gak berarti apa-apa buat gue."
Apa? Jadi ....
Tiba-tiba saja air mata menetes dari mataku. Untuk pertama kalinya aku menangis karena laki-laki. Apalagi karena seseorang yang sangat aku sukai.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Mulutku terlalu kelu untuk berucap.
Dan aku ingat, kata-katanya barusan adalah kata-kata yang sempat aku ucapkan pada Satya di depannya.
Sekarang aku jadi tahu perasaan Satya saat itu. Pasti ia juga merasa malu karena aku mengatakannya tidak secara empat mata.
Dia berbalik, lalu berjalan meninggalkanku.
Jadi, begini akhirnya?
Aku berlari ke kelas sambil menunduk. Aku tak mau orang-orang memperhatikanku, padahal mereka memang sudah melihat bahwa ku sedang nenangis.
Aku tidak bisa pulang dengan keadaan seperti ini.
Dan di kelas aku langsung duduk di bangku Galang, lalu menangis di sana.
"I know, it hurts." Tiba-tiba Defia datang dan memelukku.
"Def ... Galang jahat, Def. Galang jahat sama gue." Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku.
"Iya, gue liat tadi. Udah ya, Ren. Akhirnya sekarang kita tau gimana dia sebenarnya. Sebentar lagi kita juga lulus, lo nggak akan pernah ketemu dia lagi." Defia mengusap lenganku. "Sok ganteng banget sih tuh orang."
*
Iya, awalnya kukira dia sejahat itu.
Tapi tunggu hingga akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
101 Ways To Say I Love You
Cerita Pendek"Harga diri; Itu lebih dari sekedar menyatakan rasa." Ya itu menurutku, sampai akhirnya statement itu dihancurkan oleh seseorang laki-laki yang paling sulit dipahami. Galang.