22. Sensi

8 2 0
                                    


"Alhamdullilah lo udah sadar."

Ah, persetan dengan itu. Aku hanya ingin melihat Galang. Tapi dia tidak ada. Malah ada Defia dan Satya.

Satya lagi, Satya lagi.

Aku langsung bangkit dari brankar. "Mana Galang?"

"Lo baru juga sadar, udah nyariin dia aja. Kenapa, sih? Kalo lo masih merasa gak enak lebih baik lo istirahat dulu."

Aku menatap Satya tak suka. "Suka-suka gue dong mau ngapain. Lo siapa gue emangnya?"

Defia menahan bahuku, mengisyaratkanku agar menahannya. "Bener kali yang dibilang Satya. Udahlah, Galang juga ada di kelas."

Aku mengembuskan napas kesal. "Gue mau bilang makasih aja. Tadi dia kan yang bawa gue ke sini, kan?"

Galang dan Defia saling bertukar tatap. Aku tidak mengerti maksud mereka apa.

Jangan-jangan, yang tadi menggendongku memang bukan Galang?

"Kok Galang, sih? Gue yang bawa lo ke sini." Satya bersidekap.

Oh, jadi dia ....

"Bohong lo. Tadi gue liat—"

"Liat apa? Galang gak nolong lo. Dia gak ada di sana. Bahkan dia gak tau lo pingsan."

Aku mengernyitkan dahi.

Jadi tadi bukan Galang juga yang bilang dia yang akan membawaku ke UKS?

"Tapi kayaknya ada suara Galang sebelum lo bilang lo aja yang bawa gue ke sini." Aku berusaha meyakinkan.

"Kok lo gak percayaan banget, sih? Hey gue kasih tau ya, dia bahkan gak bakal peduli kalo lo mau pingsan juga. Ngapain lo sampe nanyain Galang terus? Ada apa sama lo?" Satya tersenyum miring. "Oh, jangan-jangan lo suka sama dia, ya?"

Oke, aku rasa Satya mulai membangkitkan rasa kesalku.

"Yang ada apanya itu lo! Kenapa sih lo kesel banget setiap gue bahas soal dia? Lo tuh aneh, Satya." Kulihat dia diam saja, sama seperti Defia. "Dan harus berapa kali sih gue bilang kalo gue gak suka sama dia?!"

"Karena gue kesal liat lo terlalu over sama Galang."

Aku semakin bingung. Aku bukannya pura-pura tidak mengerti, hanya saja Satya aneh sekali sekarang.

"Over apaan, sih? Gue mau bilang makasih karena tadinya gue kira dia yang bela-belain gendong gue dari lapangan ke sini. Tapi ternyata itu lo."

"Oh, oke kalo ini balasan lo dari apa yang udah gue lakuin tadi."

Satya pergi meninggalkanku. Defia juga pergi dengan alasan aku harus menenangkan pikiranku dulu.

Dan aku sendirian di simi.

*

Aku terlalu bodoh, sampai tidak sadar dengan ini semua.

Yang aku tahu, aku hanya berusaha mati-matian agar tak terlihat bahwa aku menyukaimu diam-diam.

Aku itu bodoh. Karena aku tak tahu jika aku telah mematahkan dua hati sekaligus.

101 Ways To Say I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang