Sehari setelah gue balik ke Jakarta, kabar buruk itu gue terima. Om Guntur meninggal dunia. Kondisinya menadadak drop dan nyawanya tidak bisa lagi diselamatkan. Gue buru-buru pesen tiket pesawat ke Surabaya setelah Budhe Ratna mengabari gue. Bagas dan Kinar pun memutuskan ikut sama gue meski harus ijin dadakan sama bu Merlin. Untungnya bu Merlin mau mengerti.
Selama diperjalanan gue nggak bisa tenang. Kepala gue dipenuhi sama Bila dan percakapan terakhir gue sama Om Guntur malam itu. Untuk kedua kalinya Bila kehilangan seseorang yang sangat berarti dihidupnya. Apalagi hubungan Bila dan juga papanya baru saja membaik setelah sekian lama hidup dalam dendam, kebencian, dan juga kesalahpahaman. Gue nggak bisa bayangin gimana kondisi Bila sekarang ini. Dia pasti merasa hancur dan sedih bersamaan.
Sesampainya di bandara Juanda, gue, Bagas, dan juga Kinar langsung naik taksi menuju rumah Bila. Kami bertiga disambut oleh budhe Ratna dan juga suaminya yang tengah sibuk menggelar acara pengajian. Para tetangga dan sanak saudara sudah memenuhi bagian depan rumah Bila. Tapi gue nggak lihat keberadaan sosok Bila diantara mereka.
"Bila ada dikamar, Ram." Kata Budhe Ratna seolah bisa membaca pikiran gue. "Dia sepertinya masih syok berat. Sejak papanya dimakamkan, dia seperti orang linglung. Pandangannya kosong dan dia nggak mau bicara sama sekali."
"Saya boleh ke kamarnya Budhe?"
Budhe Ratna mengangguk. "Tolong bujuk dia ya, Ram. Budhe khawatir kalau dia terus seperti itu."
Tanpa pikir panjang, gue langsung berjalan menuju kamar yang udah gue hapal letaknya. Gue ketuk pelan daun pintunya, tapi tidak ada sahutan. Gue buka pintu itu pelan, dan mendapati punggung ringkih perempuan itu lagi duduk diujung tempat tidur sambil membawa sebuah bingkai foto. Gue berjalan mendekat dan duduk dibelakangnya tanpa suara. Ternyata Bila sedang memandangi potret keluarganya. Di foto itu ada sosok Bila kecil yang diapit oleh Papa dan mamanya sedang berlibur disuatu pantai.
Sepetinya Bila menyadari kehadiran gue. Dia pun menoleh dan menatap gue dengan pandangan kosong. Bila kelihatan kacau. Wajahnya pucat, kantung matanya terlihat jelas, rambutnya berantakan, dan badannya terlihat semakin kurus.
Gue mengambil sisir lalu membantu dia merapikan rambut panjangnya. Gue tangkup wajahnya dengan tangan gue, gue usap pelan lembut pipinya. Bila masih menatap gue dengan pandang kosong. Dia bener-bener seperti patung hidup, pasrah menerima segala perlakuan gue. Tanpa pikir panjang gue rengkuh tubuh kurusnya kedalam pelukan. Gue peluk dia dengan segenap perasaan.
Gue nggak tega ngelihat keadaannya yang kayak gini. Gue tahu ini pasti berat banget buat Bila. Dia kelihatan sangat terpukul, kesedihannya teramat dalam sampai menangis saja mungkin rasanya dia nggak mampu. Gue usap lembut punggungnya sampai akhirnya Bila tertidur dipelukan gue.
Gue angkat badannya lalu gue pindahkan dia ke atas tempat tidur. Gue pandangi wajah lelahnya. Gue kecup lembut keningnya. Selama beberapa menit gue masih Setia menunggu disini. Sampai tiba-tiba tidurnya berubah gelisah. Dia terus-terusan menggumam dan mengingau. Gue ikut berbaring disebelahnya, gue peluk tubuhnya sambil berusaha menenangkan.
Sebenernya gue pengen nemenin dia disini, tapi gue nggak enak sama keluarga Bila yang lain. Akhirnya gue pun menyuruh Kinar yang tidur sini, nemenin Bila. Sementara gue tidur dikursi ruang tamu sama Bagas dan juga beberapa keluarga yang masih berjaga disini.
Gue nggak tau berapa lama gue tidur, sampai gue denger suara teriakan dan raungan seseorang yang begitu menyayat hati. Gue terbangun bersamaan dengan Bagas dan juga beberapa orang yang mendengarnya. Gue langsung berlarian ke arah sumber suara. Hati gue pun mencelos seketika saat ngelihat Bila duduk dilantai kamar papanya. Dia menangis kencang, meraung-raung sambil memukuli tubuhnya sendiri. Gue berjalan cepat ke arahnya. Gue tahan tangannya yang terus-terusan memukul-mukul dadanya. Seolah memaksa keluar rasa sesak, sesal, sedih, dan sakit yang selama ini dirasakannya.
"BILA! Hei hei, stop! Jangan pukuli diri kamu seperti ini. Bila. Stop! Stop!"
Gue peluk paksa dia sambil menahan kedua tangannya. Bila terus-terusan berontak sampai akhirnya dia merasa lelah sendiri. Dia menggumamkan kata maaf berkali-kali dengan nada pilu yang begitu menyakitkan. Beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu didepan pintu kamar ikut menangis. Termasuk gue yang tanpa sadar ikut meneteskan air mata.
***
Keesokan harinya, setelah Bila menangis hebat malam itu, keadaannya membaik. Dia sudah mulai bisa menerima kepergian papanya. Dia sudah mulai mau berbicara meski hanya sepatah dua patah kata. Gue bersyukur Kinar dan juga Bagas ikut kesini. Setidaknya dua sahabat Bila itu menjadi penghibur setia saat Bila merasakan kesedihan itu datang lagi.
Semalam saat Bila pingsan karena kelelahan, gue menemukan sebuah surat dari Om Guntur tergeletak di lantai. Gue baca surat itu dan gue pun akhirnya tahu penyebab Bila menangis sampai seperti itu. Semua penyesalan dan juga kesalahpahaman yang menghantui Bila akhirnya terjawab disurat itu. Mungkin Bila memang butuh melampiaskan semua perasaan yang selama ini dirasakannya, dan gue justru bersyukur dia bisa menangis sehebat itu semalam.
"Nak Rama, bisa Pak dhe bicara sama kamu sebentar?"
Gue yang lagi duduk diteras belakang rumah Bila mendadak dikejutkan oleh suara Pak dhe yang tiba-tiba saja udah duduk dikursi samping gue. Gue mengangguk mempersilahkan Pak dhe berbicara. Mendadak gue jadi gugup. Setelah om Guntur meninggal, keluarga yang paling dekat sama Bila hanya Pak dhe dan Budhenya. Dan kenapa gue nggak kepikiran buat minta restu juga sama Pak dhe yang sekarang jadi wali Bila. Meskipun beliau merespon positif kehadiran gue disamping Bila, tetep aja gue harus minta restu secara resmi sama Pak dhe.
"Maaf kalau Pak dhe kesannya ikut campur urusan kalian. Sebelumnya Pak dhe pengen tanya satu hal sama Nak Rama."
"Ada apa Pak dhe?" Tanya gue mulai penasaran sama apa yang dibicarakan oleh Pak dhe.
"Apa Nak Rama serius sama keponakan Om?"
"Saya serius pak dhe. Sejak awal mendekati Bila saya tidak pernah main-main." Jawab gue tegas dan lugas.
Pak dhe menangguk-ngangguk. Senyumnya tersungging dibibir. "Apa Nak Rama sudah sempat membicarakan keseriusannya sama Guntur sebelum dia pergi?"
"Sudah, Pak dhe. Malam sebelum Saya kembali ke Jakarta saya sudah menyampaikan maksud saya untuk segera mungkin melamar Bila. Alhamdulillah, almarhum om Guntur memberikan restunya pada saya."
"Alhamdulillah. Pak dhe ikut senang mendengarnya. Setidaknya Pak dhe ini sedikit bisa lebih tenang kalau nanti Bila kembali ke Jakarta. Pak dhe titip tolong Bila dijaga baik-baik ya. Pak dhe percaya sama Nak Rama."
"Jadi, apa Pak dhe juga merestui Saya?"
"Lha kenapa nggak? Kamu lelaki baik dan bertanggung jawab. Pak dhe lihat Nak Rama juga sangat menyayangi Bila. Buat Pak dhe yang penting keponakan Om bahagia. Karena selama ini dia sudah banyak mengalami hal-hal menyedihkan dalam hidupnya. Pak dhe juga seneng banget dapet mantu dokter." Katanya sambil tertawa.
"Terima kasih, pak dhe. Rencananya setelah wisuda nanti saya akan melamar Bila secara langsung. Dan setelah itu Saya akan membawa keluarga Saya untuk melamar Bila secara resmi."
"Alhamdulillah. Semoga semuanya dipermudah ya Nak Rama. Saya tunggu keluarga Nak Rama datang ke Surabaya."
"Terima kasih Pak dhe."
Alhamdulillah. Restu dari Pak dhe udah gue kantongi. Rasanya gue lega banget. Perjuangan gue ngedapetin Bila bener-bener luar biasa. Dan entah kenapa gue menikmati semua perjuangan itu. Sejak awal ketemu Bila, gue tahu emang nggak mudah buat menaklukan hatinya. Tapi gue percaya, semuanya memang butuh proses. Dan sekarang tinggal ngeyakinin Bila sekali lagi. Karena gue tahu, sebenernya hal paling sulit yang gue hadapi adalah perasaan Bila sendiri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
RAMA
RomanceSide story of Hey, Bi! ps : disarankan untuk membaca cerita Hey, Bi lebih dulu.