Seminggu berlalu setelah kepergian papanya, Bila kembali ke Jakarta. Gue jemput dia sambil sekalian pamit ke Pak dhe dan Budhe, satu-satunya keluarga yang dimiliki Bila saat ini. Amanat dari mereka untuk selalu menjaga dan melindungi Bila pun akan selalu gue inget dikepala gue.
Perlahan, Bila udah mulai melupakan kesedihannya. Dia udah terlihat banyak tertawa. Meski kadang juga beberapa kali dia tampak melamun, kehilangan fokus. Untung saja teman-temannya yang lain bisa memaklumi dan berusaha menghiburnya. Meski berat, gue yakin dan percaya Bila bisa ngelewati semua cobaan ini.
Lusa adalah hari wisuda Bila. Minggu lalu gue udah pesenin kebaya spesial buat Bila ke Tante Farida. Adik dari nyokap gue yang punya butik terkenal di Jakarta. Gue tau Bila pasti belum ada persiapan sama sekali. Dan untuk yang kesekian kali, gue minta tolong Kinar untuk jadi patokan ukurannya. Karena Bila dan Kinar punya badan yang hampir sama. Hanya saja Kinar tampak lebih berisi dibanding Bila. Mungkin nanti tinggal dikecilin dikit kalau memang agak kebesaran.
Sepulang dinas gue ajak dia ke butik Tante Farida. Sebelumnya sempet ada insiden kecil yang bikin gue hampir aja kehilangan kendali. Jadi ceritanya si Yudha, manusia kampret bermata empat itu lagi-lagi nekat nemuin Bila. Bila emang ijin sama gue buat ketemu Yudha, sementara gue harus melakukan operasi cito SC* pada pasien eklampsi yang baru aja datang. Gue harus profesional, mengesampingkan dulu urusan pribadi gue. Ini memang pekerjaan dan tanggung jawab gue yang menyangkut keselamatan dan juga nyawa pasien. Gagal fokus dikit aja bisa berakibat fatal.
Setelah pekerjaan gue selesai dengan baik, dimana nyawa ibu dan bayi akhirnya bisa terselamatkan, gue buru-buru nyusul Bila ke Cafe yang tadi alamatnya dikirim lewat pesan. Rasanya hati gue bener-bener panas saat lihat Bila tertawa lepas di depan Yudha. Kenapa rasanya gue nggak rela kalau Yudha adalah orang yang bisa bikin Bila ketawa sejak kepergian papanya? Kenapa bukan gue orangnya? Apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Mendadak gue jadi merasa takut kalau Yudha kembali merebut hati Bila.
Gue berjalan mendekati meja mereka. Sepertinya Bila nggak sadar sama kedatangan gue. Dia masih terus ketawa sampai akhirnya tawa renyah itu berhenti mendadak. Dia keliatan gugup ngeliat gue. Sampai akhirnya Yudha pun ikut menyadari kedatangan gue. Dia berdiri berhadapan menatap gue tajam. Kami sama-sama menilai. Ini memang bukan pertama kalinya gue dan Yudha saling tatap begini. Gue tahu apa yang ada dipikiran lelaki bermata empat ini. Gue bisa lihat sorot matanya yang menyiratkan kalau dia masih menyimpan perasaannya ke Bila. Dan gue tentu aja nggak akan biarin Yudha merebut hati Bila untuk kedua kalinya.
Bila yang sadar akan atmosfir penuh intimidasi dari gue dan Yudha, akhirnya mengajak gue pergi. Mungkin dia takut kalau terjadi baku hantam antara gue dan Yudha di Cafe ini. Bila menarik paksa tangan gue sebelum akhirnya berpamitan pada Yudha. Gue sengaja peluk pinggang ramping Acha, biar Yudha tahu kalau Acha sebentar lagi akan jadi milik gue. Gue sama Acha berlalu berlalu pergi meninggalkan Yudha yang gue tahu tatapannya masih mengarah ke kami. Untuk kali ini gue merasa menang. Dan gue akan melakukan apapun agar Bila tetap berada disamping gue.
***
Hari ini adalah hari wisuda Bila. Pagi-pagi banget gue udah jemput dia dikosan. Waktu pertama kali Bila ngebuka pintu kamarnya, gue terpaku ditempat gue berdiri. Gue sampe mengira perempuan didepan gue ini adalah jelmaan bidadari. Sumpah. Gue nggak gombal. Gue bilang ini jujur dan tulus dari lubuk hati gue yang paling dalam. Tiga kata untuk mewakilkan penampilan Bila hari ini, Luar-Biasa-Cantik.
Kebaya buatan Tante Farida melekat sempurna ditubuhnya yang ramping. Riasannya diwajahnya pas banget, nggak berlebihan dan terkesan natural menurut gue. Cantik banget deh pokonya pacar gue ini. Pengen rasanya gue buru-buru seret dia ke KUA.
"Mas! Kok bengong sih? Ayo buruan berangkat. Keburu siang macet."
Bila menarik paksa tangan gue. Sentuhan tangannya yang halus dan lembut membuat gue langsung tersadar dari imajinasi gue. Selama perjalanan gue nggak bisa fokus. Sesekali gue curi-curi pandang ke arah perempuan yang duduk tepat disamping gue. Aroma strawberry yang khas Bila banget bener-bener menggoda gue. Untung aja gue bisa menahan diri.
Bila hampir aja terlambat gara-gara kemacetan panjang di area masuk kampus. Gue suruh dia masuk lebih dulu sementara gue mencari tempat parkir. Kalau acara wisuda begini, tempat parkir seluas ini pun pasti penuh bahkan sampai membludak.
Gue berjalan terburu-buru setelah Bagas menelepon gue berkali-kali. Katanya acara segera dimulai. Mata gue mencari-cari dimana keberadaan Bagas dan Kinar. Sampai gue lihat sosok Kinar melambai-lambaikan tangan di tengah keramaian. Gue berjalan mendekati mereka lalu duduk disamping Bagas yang memang sengaja mencarikan tempat duduk strategis buat gue.
"Loh, dokter kok sendirian sih? Acha mana?" Tanya Kinar sambil celingak-celinguk mencari Bila.
"Saya suruh dia masuk duluan. Macet banget diluar."
"Iya parah dok. Saya sama Kinar sengaja dateng pagi an dikit menghindari macet, sampai sini ternyata sama aja." Sahut Bagas.
Memang sih momen wisuda seperti adalah sesuatu yang patut untuk dikenang dan dibanggakan. Seperti sebuah Puncak keberhasilan dari pencapaian seseorang. Gue tahu ini bukan wisuda yang pertama buat Bila. Karena dia dulu sempat mengambil program diploma tiga sebelum ambil kuliah alih jenjang sarjana. Kata Kinar dulu waktu wisuda diploma tiga, keluarga Bila nggak ada yang hadir. Bila sengaja nggak memberitahu Papanya karena memang hubungan mereka dulu kurang baik. Sedangkan dia juga tidak mau merepotkan Pak dhe dan Budhenya di Surabaya. Gue nggak bisa bayangin gimana perasaan Bila waktu itu. Dimana semua keluarga harusnya bisa datang menyaksikan kelulusannya.
Semalam gue udah minta Kakak gue buat datang kesini sekalian bawa Adif dan juga Arsy. Kalau nyokap tentu aja pasti hadir karena beliau memang dosen disini. Gue pengen wisuda kali ini menjadi momentum yang spesial buat Bila. Meski kedua orang tuanya sudah nggak ada, setidaknya Bila masih punya keluarga gue dan juga teman-teman yang peduli sama dia.
Gue ikut bahagia ngeliat tawa lepas Bila. Dia berjalan menghampiri kami bertiga setelah semua rangkaian proses acara selesai. Kinar dan Bagas secara bergantian memeluk dan mengucapkan ucapan selamat padanya. Raut wajahnya yang terlihat bahagia mendadak muram. Gue tahu dia pasti teringat sama kedua orang tuanya.
"Selamat wisuda ya, sayang." Ucap gue sambil menarik tubuhnya mendekat lalu mendaratkan kecupan singkat di Puncak kepalanya. Gue bangga banget sama pacar gue ini. Bukan cuma cantik, tapi dia juga pintar. Bila bahkan lulus dengan predikat cumlaude.
"Makasiiii dokter mesumku." Jawabnya sambil menerima sebuket Mawar merah yang sejak tadi gue bawa spesial untuk dia.
Gue tertawa mendengar sebutannya ke gue. Awal pertemuan gue sama Bila kayaknya emang berkesan banget buat dia. Kami semua mengobrol ringan sampai tiba-tiba kehadiran Yudha membuat sisi posesif gue kembali bangkit. Untung aja dia datang cuma mau ngucapin selamat ke Bila lalu pergi. Mungkin dia udah sadar diri kalau memang dia sudah kalah telak dari gue.
Bila semakin bahagia waktu rombongan keluarga gue dateng. Dia bahkan sampai nangis waktu memeluk nyokap. Mungkin dia inget sama mamanya di surga. Gue seneng lihat dia ketawa dihari wisudanya. Meskipun apa yang gue kasih ini belum seberapa, tapi gue berjanji akan selalu bikin dia nggak merasa sendirian. Gue berjanji akan selalu bikin dia merasa memiliki keluarga.
"Makasih ya, Mas." Bisiknya pelan waktu gue dipaksa foto berdua sama dia.
"Makasih buat apa sayang?"
"Buat semua yang udah Mas Rama kasih buat aku."
Gue tertawa pelan. "Anything for you." Ucap gue sambil mendaratkan kecupan di keningnya.
Cekrik.
Dan satu foto menangkap momen waktu gue mengecup keningnya.
Cekrik.
Satu foto lagi waktu gue sama Bila tertawa bahagia yang akhirnya gue upload di akun instagram gue.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
RAMA
RomanceSide story of Hey, Bi! ps : disarankan untuk membaca cerita Hey, Bi lebih dulu.