DUA PULUH

3.7K 264 1
                                    

Waktu cepat berlalu, nggak kerasa pernikahan gue sama Bila tinggal tiga minggu lagi. Semua persiapan udah sembilan puluh persen jadi. Undangan juga udah disebar ke beberapa keluarga dan kolega. Sebenernya gue nggak seberapa ikut andil dalam pemilihan konsep pernikahan ini. Gue percayakan sepenuhnya sama pilihan Bila, mama, dan juga Dhisti.

Sempat terjadi perdebatan panjang tentang adat yang akan dipakai. Keluarga besar mama menginginkan kami pakai adat Sunda. Sedangkan keluarga Bila ingin agar kami pakai adat Jawa. Gue sendiri nggak begitu pusing, mau pakai adat Sunda oke, adat Jawa juga oke. Apapun itu gue terima yang penting Bila bahagia dihari pernikahan kami nanti.

Hari ini hari minggu, setelah beberapa hari sibuk sama pekerjaan masing-masing, akhirnya gue bisa libur juga. Rencananya, gue sama Bila mau ke tempat Tante Farida buat fitting baju akad kami yang di design khusus sama Tante Farida dan juga sepupu gue, Zizi. Katanya ini hadiah dari mereka buat gue sama Bila.

Sebelum jemput Bila dikosannya, gue mampir dulu ke toko bunga punya mama. Gue udah lama juga nggak pernah kesana. Dulu, waktu masih pacaran sama mantan-mantan, gue sering banget bawain mereka buket bunga. Dan sekarang gue mau bawain Bila buket bunga matahari, bunga favoritnya.

Disaat kebanyakkan perempuan lebih suka sama bunga Mawar, entah kenapa Bila sukanya sama bunga matahari. Waktu gue tanya alasannya, Bila cuma bilang kalau bunga matahari memiliki arti sebuah kesetiaan yang membuat Bila selalu mengingat almarhumah mamanya yang juga begitu setia pada suaminya. Selain itu warnanya yang kuning menggambarkan sebuah kehangatan dan kebahagiaan membuat Bila selalu teringat pesan papanya untuk selalu hidup bahagia. Gue baru tahu juga ternyata maknanya sedalam itu bagi Bila.

"Mbak, tolong buatkan sebuket bunga matahari ya. Yang ukurannya agak besar." Kata gue sama salah satu pegawai di florist yang masih sibuk merangkai bunga.

Mendengar suara gue, pegawai perempuan itu menoleh. Dia kelihatan kaget waktu lihat gue. Gue baca name tag yang bertengger di dada kirinya, Valeria. Hmm, nama yang bagus. Dari wajahnya yang imut-imut, kayaknya dia masih bocah.

"Mbak... halo?" Kata gue waktu dia masih bengong liatin gue. Mungkin terpesona sama kegantengan gue.

"Eh i-iya Om? Maaf, gimana tadi?"

What? Om? Gila! Wajah seganteng gue dipanggil Om. Emang gue setua itu apa?

Gue tersenyum sekeren mungkin, biar dia makin terpesona sama gue. "Saya minta buatkan buket bunga matahari yang ukurannya agak besar, segini lah." Kata gue sambil nunjukkin ukurannya pakai tangan.

"Oh iya, Om. Ditunggu sebentar ya." Katanya mempersilahkan gue duduk. Lalu sesosok perempuan yang gue kenal datang menghampiri.

"Siapa Val?" Tanyanya ke bocah bernama Valeria tadi. Lalu matanya menangkap keberadaan gue. "Lho, mas Rama? Aduh udah lama banget nggak kesini."

Gue tersenyum menyalami Lala, salah satu pegawai senior disini, yang juga merupakan orang kepercayaan mama. "Hai La, apa kabar?"

"Baik mas. Mas Rama udah lama balik ke Jakarta? Duh, mau nikah kenapa makin ganteng aja sih Mas?"

Gue tertawa. Lala ini orangnya ramah banget dan gue udah kenal dia sejak mama mendirikan florist ini untuk pertama kalinya.

"Kamu bisa aja, La. Terus kamu sama Deo kapan dong nyusul saya?"

Deo ini pacar Lala, yang juga pegawai disini. Seingat gue mereka ini pacaran udah lama banget dan masih awet sampai sekarang.

"Doain aja deh, mas. Ini juga masih ngumpulin modal buat nikah."

"Jangan kelamaan La. Ngejagain jodoh orang tuh capek lho La."

"Ih kok mas Rama ngomongnya gitu. Jangan dong, Lala cintanya mentok cuma sama Deo aja kok."

RAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang