Akhirnya gue bisa bernapas lega sekarang. Nggak sia-sia semua perjuangan gue selama ini buat ngedapetin hati Bila. Meskipun gue tahu sebenernya dia masih butuh waktu buat bisa percaya sepenuhnya sama gue. Bagi gue itu nggak masalah, yang penting sekarang Bila tahu perasaan gue dan ngasih gue kesempatan buat ngeyakinin dia lagi.
Selama dua hari ini gue selalu nemenin Bila di masa-masa sulitnya. Keluarga Bila yang ada di Surabaya pun menerima kehadiran gue dengan tangan terbuka. Apalagi Budhe Ratna, yang begitu mempercayakan Bila sama gue. Gue bersyukur orang-orang terdekat dia mendukung gue sepenuhnya. Dan gue berencana minta ijin dan restu langsung sama papanya buat melamar Bila secara resmi. Gue nggak mau menunda-nunda lagi, mumpung gue juga lagi ada disini.
Sebelumnya gue sempet denger obrolan Bila sama budhe Ratna soal Papanya. Ternyata semua itu bahkan lebih rumit dari yang selama ini gue tahu. Papa Bila selingkuh sama sekretarisnya sendiri yang selama ini dianggap orang kepercayaan oleh mamanya. Sikapnya berubah dan nggak lagi peduli sama Bila dan mamanya. Sampai akhirnya mama Bila depresi, jatuh sakit, dan akhirnya meninggal dunia. Bila jatuh terpuruk setelah kepergian mamanya. Apalagi setelah mengetahui fakta bahwa papanya ternyata menikahi sekretarisnya itu. Bila membenci papanya sendiri, keluarga mereka hancur berantakan dan akhirnya dia pun memutuskan merantau ke Jakarta. Lalu sekarang, Bila kembali ke sini dengan segala penyesalan yang dia punya. Papanya jatuh sakit setelah perusahaannya bangkrut karena perbuatan istrinya.
Gue bener-bener nggak nyangka ternyata masalah yang dihadapi Bila seberat itu. Dibalik tubuhnya yang ringkih itu, dia menyimpan banyak masa lalu yang menyakitkan. Gue nggak bisa bayangin hal-hal buruk apa yang menimpa dia selama ini. Gue nggak bisa bayangin gimana dia ngelewati semua itu sendiri. Dan gue nggak bisa bayangin gimana dia bisa bertahan sampai sekarang.
Gue semakin ngerasa kagum sama Bila. Cerita-cerita nyokap tentang Bila kembali teringat di kepala gue. Selama ini dia kelihatan tegar dan begitu kuat hidup sendirian dikerasnya ibukota. Tapi di sisi lain gue juga merasa kasihan. Gue nggak tega dan nggak sanggup lagi ngelihat dia berjuang sendirian. Gue mau Bila membagi semua bebannya sama gue. Gue mau nemenin Bila disetiap detik kehidupannya. Bahkan kalau bisa gue rela menukar semua apa yang gue punya buat kebahagiaan dia.
Malam ini gue dan Bila kembali tidur di rumah sakit. Sebenernya gue udah nyuruh dia buat pulang aja, dan biar gue yang jagain papanya disini. Tapi Bilanya nolak. Dia keukeuh pengen tetep ada disamping papanya. Dia bilang nggak mau kehilangan kesempatan yang udah dia lewatkan selama ini. Bila cerita sama gue, katanya dia nyesel banget udah mentingin egonya dan menyimpan dendam serta kebencian sama papanya selama ini. Gue sendiri nggak bisa nyalahin dia sepenuhnya. Menurut gue apa yang terjadi sama papanya ini mungkin juga adalah balasan dari Tuhan karena perbuatannya di masa lalu. Tapi gue percaya, apapun yang terjadi pada keluarga mereka, gue berdoa yang terbaik untuk semua, termasuk buat kebahagiaan Bila.
Bila ketiduran di kursi dengan kepala bersandar di bed samping papanya. Kalau nggak di pindahin, besok pas dia bangun pasti lehernya sakit. Karena gue nggak tega buat bangunin dia, akhirnya gue angkat aja badannya dan gue pindahin ke sofa yang lebih empuk. Gue benerin posisi tidur dia supaya lebih nyaman. Gue selimuti badannya yang kurus dengan jaket punya gue biar lebih hangat. Gue kecup pelan kening dia, menyalurkan rasa sayang gue yang teramat dalam buat perempuan didepan gue ini.
Bila kelihatan capek banget, berkali-kali dia sempet ngigau nyebut-nyebut mama sama papanya. Gue nggak tega, bener-bener nggak tega ngelihat dia menanggung semua bebannya selama ini sendiri. Besok sore gue udah balik lagi ke Jakarta, dan gue harus segera mengutarakan niat gue buat ngelamar Bila secepatnya. Biar semuanya lebih mudah, dan gue berharap Bila mau menerima niat baik gue.
Sementara pikiran gue melayang kemana-mana, suara erangan keras yang berasal dari arah bed papa Bila menyentak lamunan gue. Gue buru-buru berlari mendekat, dan ngelihat Om Guntur membuka matanya sambil menatap gue dengan sorot matanya yang lemah. Dengan gerakan tanpa suara, beliau menyuruh gue agar menunduk lebih dekat.
"To...long j-ja...ga p-putri s-sa...ya."
Satu kalimat itu membuat jantung gue berdegup lebih kencang. Suaranya terdengar lemah dan patah-patah. Ada harapan yang terpancar di sorot matanya. Bila memang sudah memperkenalkan gue sama beliau sejak awal sebagai atasan dan juga temannya. Gue juga sempet ngobrol sebentar sama beliau dan mungkin sekarang lah waktunya gue meminta ijin.
Gue mengambil tempat duduk dikursi yang tadi diduduki Bila. Gue menarik napas panjang, menatap dalam ke arah lelaki paruh baya yang terbaring lemah dengan sederet alat bantu kehidupan. Gue sempet lihat foto papa dan mama Bila waktu masih muda, tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya tampan. Bahkan meski kondisinya sedang sakit, sisa-sisa ketampanan itu masih tergurat jelas diwajahnya. Bentuk hidung dan juga matanya mirip banget sama Bila. Sedangkan mamanya bertubuh lebih mungil dan cantik dengan bola mata yang besar persis seperti Bila.
Gue nggak tahu sosok seperti apa papa Bila ini di masa lalunya. Yang jelas gue hanya ingin meminta restu beliau. Gue ingin mengambil alih tanggungjawabnya sebagai seseorang yang menjaga dan melindungi putrinya.
"Ehm... Maaf Om, Saya tahu mungkin ini bukan waktu yang tepat. Apalagi ini pertemuan pertama saya dengan Om." Gue menghela napas sejenak. Nggak tahu kenapa tiba-tiba gue jadi gugup.
"Mengenai permintaan Om barusan, sebenarnya Saya berniat mengatakannya sejak awal. Saya sudah menceritakan diri saya dan keluarga saya pada Om kemarin. Dan sekarang saya ingin jujur bahwa saya mencintai Putri Om. Saya ingin meminta ijin dari Om untuk melamar Bila. Saya ingin menikahi Bila dan mengambil alih tanggung jawab Om yang selama ini sudah menjaga, melindungi, dan membahagiakannya. Apakah Om mau memberikan restu pada Saya Om?"
Gue menghela napas panjang. Lega! Sumpah rasanya lega luar biasa. Kalimat-kalimat yang udah gue susun sejak semalam akhirnya bisa terungkapkan juga. Ternyata begini rasanya melamar seorang perempuan di depan ayahnya, lelaki yang akan selalu jadi Cinta pertama bagi putrinya.
Gue deg-deg an menunggu respon dan juga jawaban dari Om Guntur. Gue lihat setetes cairan bening jatuh dari matanya. Senyum tipis tersungging dibibirnya. Beliau meminta gue mendekat lalu dengan gerakan yang lemah om Guntur memeluk gue.
"S-saya...m-merestui k-kamu. S-saya p-percayakan B-bila... s-sama k-kamu. Ja-jangan s-sakiti... di-dia."
Rasanya gue pengen nangis sekarang juga. Gue balas memeluk tubuh kurus om Guntur sambil mengucapkan rasa terima kasih gue berkali-kali. Gue janji, gue nggak akan pernah menyakiti Bila, gue nggak akan pernah membuat dia menangis, dan gue janji gue akan selalu membuat dia bahagia.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
RAMA
RomanceSide story of Hey, Bi! ps : disarankan untuk membaca cerita Hey, Bi lebih dulu.