DELAPAN BELAS

3.3K 278 4
                                    

Setelah acara lamaran gue beberapa hari yang lalu, akhirnya hari ini keluarga gue berangkat ke Surabaya buat ngelamar Bila secara resmi dan nentuin tanggal pernikahan. Gue nggak mau lagi nunggu lama-lama. Kalau bisa secepatnya gue bawa dia ke KUA, ijab qabul disana. Urusan resepsi belakangan juga nggak masalah. Yang paling penting gue sama Bila udah sah dan udah bisa ena-ena.

Sumpah demi apapun godaannya berat banget, Man. Gue harus mati-matian menahan diri buat nggak melakukan hal yang berlebihan ke Bila kalau kita lagi berduaan aja. Kayak dulu gue hampir aja kelepasan nyium dia, gara-gara gue terpesona waktu lihat dia masak didapur rumah gue. Entah kenapa saat itu Bila terlihat seksi banget dimata gue. Untung aja waktu itu Arsy datang tepat disaat bibir gue hampir aja mendarat dibibirnya.

Meski buka pertama kalinya gue ketemu Pak dhe dan Budhe, entah kenapa gue tetep aja merasa gugup. Tangan gue rasanya udah basah akibat keringat dingin. Berkali-kali gue menghela napas panjang untuk menenangkan jantung gue yang berdegup kencang.

"Gugup Ram?" Tanya Papa saat kami semua sudah duduk manis diruang tamu kediaman Pak dhe Gatot.

Gue mengangguk, Papa dan mama kompak tertawa membuat gue jadi keki sendiri.

"Tenang aja kali, Ram. Ini juga bukan pertama kalinya kamu ketemu mereka kan?"

"Iya sih, mah. Tapi ini ketemunya dalam konteks yang beda mah."

"Halah sama aja. Udah kamu tenang aja, serahkan semua sama mama dan papa." Ucap mama sambil menepuk bahu gue menenangkan.

Nggak berapa lama, Pak dhe datang menemui keluarga gue. Budhe bergabung bersama kami sambil membawa nampan berisi minuman dan juga beberapa cemilan. Dari tempat gue duduk, gue bisa lihat calon istri gue, Bila sedang sibuk sama Hanin menyiapkan sesuatu diruang makan. Suara-suara mereka samar-samar terdengar ditelinga gue.

"Aduh, nggak perlu repot-repot Pak, Bu." Kata mama sungkan karena sepertinya Pak dhe dan juga Budhe sudah menyiapkan semuanya begitu tahu kalau orang tua gue akan datang ke Surabaya.

"Nggak apa-apa Bu. Maaf seadanya ini." Jawab Budhe.

Kami semua duduk di sofa ruang tamu. Papa memulai pembicaraan dengan mengenalkan diri pada keluarga Pak dhe.

"Sebelumnya Saya berterima kasih sekali sama Bapak dan Ibu karena sudah berkenan menerima kehadiran saya dan keluarga bersilahturahmi kesini. Jadi begini Pak, Saya ini papanya Rama. Nama saya Atmawidjaja, dan ini istri saya. Maksud kedatangan kami ini ingin melamar keponakan Bapak, Acha untuk menjadi istri Rama."

"Saya sudah lama mengenal Acha dan dia sudah kami anggap seperti anak sendiri. Hubungan mereka berdua mungkin belum begitu lama, tapi sepertinya anak saya ini sudah ngebet sekali kepingin menikah. Maklum tahun ini usianya sudah kepala tiga, Pak."

Semua orang tertawa mendengar ucapan Papa. Gue tersenyum malu. Emang sih gue udah nggak mau lagi lama-lama pacaran. Buat apa lama pacaran tapi nggak berujung ke pelaminan. Buang-buang waktu aja ngejagain jodoh orang.

"Iya, Pak. Kemarin Nak Rama sudah meminta restu sama saya. Bahkan sebelum almarhum papanya Bila meninggal, Nak Rama juga sempat menyampaikan keinginannya. Kami semua pun sudah mengenal Nak Rama dengan baik. Jadi tidak ada alasan bagi Saya untuk menolak niat baik Nak Rama meminang keponakan saya."

"Alhamdulillah. Semoga semuanya bisa dilancarkan dan dimudahkan." Jawab Papa membuat mama dan gue kompak menghela napas lega.

"Aamiin. Saya hanya pesan satu hal saja pada Nak Rama. Tentang kedua orang tuanya, Nak Rama sendiri sudah tahu betul bagaimana ceritanya. Saya berharap Nak Rama bisa membahagiakan Bila. Kami semua menyayanginya dan tanggung jawab kami sekarang berada ditangan Nak Rama. Tolong, Nak Rama jaga Bila dengan baik ya, selalu bimbing dia dan jangan pernah menyakiti hatinya."

Gue mengangguk mantap menjawab semua permintaan Pak dhe. "Saya janji Pak dhe. Saya sangat mencintai Bila. Insha Allah saya akan selalu menjaga dan melindungi dia."

Pak dhe tersenyum lega, sedang Budhe kelihatan sibuk mengusap kedua matanya yang basah. Papa dan mama sendiri tampak tersenyum bangga ke gue.

"Ya sudah, bagaimana kalau kita segera tentukan saja tanggalnya Pak, Bu. Anak saya ini katanya udah nggak sabar pengen cepet sah." Kata mama memecah suasana haru yang sempat tercipta. Gelak tawa terdengar. Memang ya mama ini tahu aja keinginan gue.

"Sebentar, saya panggil dulu Bilanya." Budhe langsung berdiri memanggil Bila. Ah, gue kangen banget sama calon istri gue itu. Akhirnya bisa ketemu juga setelah dua hari kemarin cuma chatting lewat whatsapp.

Nggak berapa lama kemudian, Bila muncul mengenakan dress selutut berwarna putih dengan senyum malu-malu yang bikin gue makin klepek-klepek. Masya Allah, cantik banget calon istri gue ini. Bila menyalami Papa dan Mama lalu tersenyum manis ke arah gue. Mama langsung berdiri memeluk dan menciumi Bila layaknya anak sendiri. Boleh nggak sih gue cium Bila juga? Yasaalam, rasanya pengen gue bawa ke KUA sekarang juga, nggak usah lagi nunggu besok.

Bila memilih duduk disamping kiri mama, terpisah jauh sama gue yang duduk dipojok samping papa. Padahal gue kangen banget sama dia. Duh, sabar Ram. Sabar.

Setelah diskusi panjang tentang tanggal pernikahan gue dan Bila, akhirnya semua pun sepakat bahwa acara akan dilangsungkan dua bulan lagi. Tepat sehari sebelum usia gue menginjak tiga puluh tahun. Rencana awal gue mintanya bulan depan aja, tapi ada beberapa pertimbangan dari Papa dan juga mama bahwa persiapannya nggak cukup kalau cuma sebulan. Belum lagi melibatkan keluarga besar kedua orang tua gue yang pasti turut andil dalam mempersiapkan acara ini.

Bila sendiri menyerahkan semua keputusan ke Papa dan mama gue, begitu juga pak dhe dan budhe. Baiklah. Gue akhirnya hanya bisa mengangguk pasrah. Gue berharap waktu berjalan cepat. Gue udah nggak sabar menjadikan perempuan cantik ini istri gue.

***

RAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang