Hari itu adalah hari pertama gue kerja. Sebagai penanggung jawab gue harus tampil sewibawa mungkin dihadapan anak buah gue. Bukannya gue gila hormat atau gimana, gue cuma ingin menunjukkan ke profesionalitasan gue. Gue nggak mau dipandang sebelah mata karena status gue yang notabene anak dari Direktur Rumah Sakit. Gue ya gue, bokap ya bokap.
Pagi itu gue dengan semangat mempersiapkan diri. Rambut? Klimis. Baju? Rapi. Wajah? Jelas, ganteng. Senyum? Hmm, perfect. Oke, gue siap berangkat. Gue mengendarai audi putih gue dengan kecepatan sedang. Beberapa tahun di luar negeri gue nggak melihat ada perubahan signifikan dari kota Jakarta ini. Tetep panas dan macet. Menurut gue, kemacetan selalu jadi masalah yang utama di Kota ini.
Sejak kuliah gue punya kebiasaan ngopi setiap pagi sebelum beraktiftas. Seolah tubuh gue ini tersugesti bahwa kopi bikin gue rileks menjalani hari-hari. Meskipun gue tahu terlalu banyak kafein itu nggak bagus buat tubuh. Dan akhirnya gue memutuskan untuk mampir dulu di kedai kopi dekat rumah sakit. Karena jam di pergelangan tangan gue hampir menunjukkan pukul tujuh, dan gue nggak mau terlambat dihari pertama gue, gue pun memutuskan membawa kopi gue yang belum habis itu.
Gue memandang sekeliling bangunan bertingkat didepan gue. Untuk beberapa tahun kedepan, rumah sakit ini akan menjadi tempat gue mengumpulkan pundi-pundi uang. Gue menghela napas panjang sebelum akhirnya melangkahkan kaki memasuki lobby utama. Gue menebar senyum pada setiap orang yang gue temui meskipun gue nggak kenal sama mereka. Gue cuma ingin menimbulkan kesan yang baik di hari pertama gue kerja.
Sampai pada akhirnya, ketika fokus gue teralihkan pada satu notifikasi di ponsel, saat itu juga sesuatu menabrak gue kencang. Kopi yang gue pegang tumpah mengenai seorang perempuan yang kini jatuh terduduk dilantai. Selama beberapa detik, perempuan itu masih menunduk, menatap baju putihnya yang kini penuh dengan noda hitam.
Gue ngulurin tangan mencoba membantu dia berdiri. Tapi perempuan di depan gue malah berdiri sendiri dan nyuekin uluran tangan gue. Gue sempet kesel juga sih, udah ditolongin malah nggak tahu diri.
"Kamu tidak apa-apa? Sorry, saya tidak sengaja." Ucap gue berbasa-basi. Lagian menurut gue dia juga salah. Gue yakin banget tadi dia jalannya buru-buru. Soalnya gue ngerasa tabrakan tadi cukup keras.
"Nggak sengaja gundulmu. Heh, gara-gara lo baju gue jadi kotor begini."
Perempuan itu menatap gue marah. Dan saat mata gue menangkap keseluruhan wajahnya, saat itulah gue terpesona. Matanya bulat, alisnya tebal dan asli bukan alis lukisan, bulu matanya lentik, hidungnya tirus dan mancung, pipinya chubby, bibirnya merah dan penuh. Satu kata untuk perempuan didepan gue ini. Dia...cantik. Sangat cantik. Apalagi kulitnya, putih banget. Mulus lagi. Ya ampun ini bidadari dari mana sih? Pengen banget gue bungkus gue bawa pulang.
Perhatian gue lalu teralihkan sama baju yang dia pakai. Bentar, kenapa dia pake cap dikepalanya? Terus dia juga pakai baju putih-putih? Jangan-jangan dia ini salah satu perawat disini?
Mendadak gue jadi merasa bersalah. Kalau bener dia ini salah satu pegawai disini, kasihan banget bajunya jadi kotor begitu. Gue pun mengambil saputangan yang selalu gue bawa disaku celana gue. Gue berikan sapu tangan warna biru itu ke dia. Tapi perempuan didepan gue ini lagi-lagi nyuekin gue, dia masih aja natap gue dengan tatapan penuh dendam.
Akhirnya gue pun memutuskan membantu dia membersihkan bajunya yang terkena noda. Tapi sayangnya, niat baik gue disalah artikan sama perempuan ini. Dia melotot saat sapu tangan gue menyentuh bajunya. Lalu dengan sangat kencang, dia nampar pipi kanan gue. Luar biasa. Seketika pipi gue rasanya panas. Belum lagi rasa malu gue diliatin sama seluruh orang-orang yang kebetulan ada disekitar gue.
"Dasar mesum!" Teriaknya kencang sambil berlalu pergi ninggalin gue yang masih mencerna kejadian barusan. Bisik-bisik orang sekitar akhirnya menyadarkan gue. Gue mendadak jadi kesal. Sumpah demi apapun gue nggak berniat buruk sama dia. Gue nggak pernah punya pikiran mesum apalagi ke perempuan yang baru gue kenal.
"Hei! Tunggu!" Gue berteriak berusaha manggil dia lagi. Gue ingin menjelaskan, gue nggak mau dicap sebagai lelaki kurang ajar. Tapi sayang, perempuan itu udah hilang dari pandangan gue. Meninggalkan gue yang masih terpaku ditempat gue berdiri.
Sial! Mood gue berubah hancur dalam sekejap. Dan sepanjang hari ini akhirnya gue lewatkan dengan wajah datar ala gue. Senyum yang sejak tadi gue tebar mendadak sirna. Bahkan saat Bu Merlin memperkenalkan gue dihadapan para pegawai yang lain, gue tetep nggak bisa fokus. Pikiran gue terus tertuju ke perempuan tadi, yang bahkan sampai sekarang namanya pun gue nggak tahu.
Sampai tiba-tiba, sosok perempuan yang sejak tadi ada dikepala gue mendadak muncul dihadapan gue. Berdiri diantara para pegawai yang lain. Perempuan itu tampak menunduk, entah apa yang dia lihat. Kayaknya ubin dibawah lebih menarik perhatian dia ketimbang wajah ganteng gue. Gue menajamkan pengelihatan gue, meyakinkan diri bahwa gue nggak salah orang. Dan saat dia mendongakkan wajahnya, saat itulah gue yakin itu memang perempuan yang tadi. Baju yang dipakainya terlihat sudah diganti. Sesaat pandangan kami bertemu. Gue tersenyum miring, sedang dia tampak terkejut melihat gue.
Wow... Ternyata dia salah satu bidan di disini toh. Bakalan menarik nih. Oke, saatnya bermain-main sama gue nona cantik. Tamparanmu cukup membekas nih dihati gue. Dan dalam sekejap mood gue pun kembali baik.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
RAMA
RomanceSide story of Hey, Bi! ps : disarankan untuk membaca cerita Hey, Bi lebih dulu.