ENAM BELAS

3.2K 236 1
                                    

"Assalamualaikum." Salam gue waktu masuk rumah yang tumben banget kedengeran rame dari luar.

"Waalaikumussalam, baru pulang Ram?" Jawab papa, bikin gue kaget karena keberadaannya yang muncul tiba-tiba dari kolong meja.

"Astaghfirullah. Papa ngapain disitu?"

"Om Yamaaaa....."

Arsy mendadak berlarian ke arah gue, minta gendong. Pantes aja rame, ternyata dua keponakan gue pada ngumpul disini. Si Adif noleh sebentar ke arah gue, terus dia sibuk lagi sama mainan legonya. Emang keponakan gue yang satu itu mirip banget sama bapaknya, bang Fabian. Pendiem cenderung cuek. Kalo si Arsy lebih mirip ke mamanya, Mbak Dhisti yang bawelnya minta ampun.

"Nyariin mainannya Arsy, bantu papa bentar Ram. Daritadi nggak ketemu." Ucap papa masih sibuk sendiri.

"Arsy duduk sini dulu ya, Om Rama bantuin Opa dulu." Gue nurunin Arsy dari gendongan dan naruh dia disebelah kakaknya. "Mainan apaan sih Pa?" Tanya gue ikut-ikutan jongkok dibawah kolong meja.

"Boneka barbie bentuknya Putri duyung. Kecilnya segini." Jawab papa sambil nunjukkin ukuran kelingkingnya.

Gue manggut-manggut, familiar sama ciri-ciri yang disebutin papa. Kalau nggak salah itu emang mainan kesayangan Arsy.

"Kamu darimana Ram? Kok baru pulang. Papa nungguin daritadi." Tanya papa tiba-tiba.

"Habis makan-makan Pa. Syukuran kelulusan Bila. Terus nganter dia pulang dulu." Jawab gue masih sibuk nyari mainan barbie punya Arsy.

"Bila? Siapa dia?"

"Calon menantu Papa."

Mendadak papa menghentikan kegiatannya lalu perhatiannya beralih ke gue. "Bukannya kamu lagi deket sama Acha?"

"Acha sama Bila itu satu orang yang sama Pa. Bila itu panggilan kesayangan Rama buat dia."

Papa ketawa pelan. "Buruan dilamar aja Ram. Papa setuju kalau kamu sama Acha. Dia anaknya baik, sopan, dan pintar."

"Rencananya gitu Pa. Bantuin Rama dong."

"Pada ngapain merangkak-merangkak di bawah meja?" Suara mama datang tiba-tiba, menghentikan kegiatan gue sama Papa.

"Nyari mainanannya Arsy."

"Mainan apaan?" Tanya Dhisti yang baru aja datang dari arah dapur.

"Barbie duyung, Dhis. Anak kamu nangis daritadi mainannya ilang. Papa sampe pening nyarinya."

"Maksud papa ini?" Kata kakak gue sambil nunjukin mainan yang bikin gue sama Papa pusing nyarinya.

"Lho kok ada di kamu?" Tanya papa heran.

"Lah, orang mainan ini daritadi ada didapur kok Pa." Jawab Dhisti enteng.

Papa mendecak kesal gara-gara nyariin mainan kesayangan cucunya, pinggang Papa kumat. "Kamu tuh, bilang kek daritadi."

"Kualat lo ngerjain orang tua." Sahut gue yang dibalas lemparan bantal sama medusa.

"Apaan sih! Mana gue tahu kalo pada nyariin."

"Udah-udah, jangan pada ribut. Ayo makan malam udah siap." Kata nyokap menengahi keributan kami. "Ram, kamu mandi dulu sana. Abis itu kebawah, makan sama-sama. Ada yang mau Papa sama Mama bicarakan."

"Iya mah." Ucap gue langsung ngacir ke kamar mandi setelah balas ngelempar bantal ke wajah kakak gue.

"Adik durhakaaa lo!"

***

Semenjak Dhisti menikah dan pindah tinggal sama suaminya, rumah ini jadi sepi. Gue juga lebih sering menghabiskan waktu dirumah sakit dan pulang kadang hanya numpang tidur. Nggak jarang juga gue lebih milih nginep di apartemen mengingat jaraknya lebih deket sama rumah sakit. Jadi kalau ada panggilan darurat gue lebih cepet buat menempuh perjalanannya.

Kedatangan Dhisti sama dua keponakan gue sore ini membuat suasana rumah jadi rame. Ngelihat wajah bahagia papa sama mama menghabiskan waktu sama cucunya ngebuat gue jadi pengen kasih cucu juga buat mereka.

Kemarin, gue udah menyempatkan diri beli cincin buat ngelamar Bila. Rencana pun udah gue susun matang. Tadinya gue mau ajak dia makan malam romantis berdua, terus gue mau ngelamar dia saat itu juga. Sayangnya, entah kenapa semesta seolah nggak berpihak sama gue. Bila malah pengen ngerayain kelulusannya bareng sama teman-teman yang lain. Gue pun nggak bisa nolak. Dan gue nggak mungkin juga ngelamar dia didepan teman-teman yang lain. Alhasil rencana yang udah gue susun semalaman pun berantakan.

"Gimana Ram? Jadi kapan Papa sama Mama bisa ke Surabaya?" Tanya Papa tiba-tiba membuyarkan lamunan gue.

Gue menghela napas panjang. Rencananya gue emang mau ngajak Papa sama Mama buat ketemu Pakdhe sama Budhe nya Bila di Surabaya. Itu pun kalau Bila mau menerima lamaran gue. Tapi masalahnya sampe sekarang gue belum bilang sama Bila.

"Rama belum bilang sama Bila Pa."

"Lho kenapa? Kamu nggak berani?"

"Bukan gitu, Pa. Kesempatannya yang belum ada."

"Ram, kesempatan itu diciptakan, bukan ditunggu. Jangan kelamaan kamu. Kadang seorang perempuan itu juga butuh kepastian." Ucap Papa bijak yang diangguki Mama.

"Bener kata Papa. Lo kok jadi cemen gini sih?" Kata Dhisti ikut-ikutan.

"Sialan! Gue bukan cemen woi. Gue cuma...ehm cuma..." Gue menggaruk pelipis bingung juga mau jawab apa.

"Cuma apa? Takut? Nggak berani? Nggak punya nyali? Apa tuh namanya kalau nggak cemen."

"Damn you!" Umpat gue kesel. Kakak gue ini emang resek banget daridulu. Bukannya kasih semangat malah ngeledekin gue.

"Rama! Jaga bicaramu! Ada keponakan kamu nanti ditiru sama mereka." Mama melotot.

"Sorry, mah. Kelepasan."

"Sudah-sudah. Yang jelas Papa nggak mau tahu. Besok kamu harus lamar Acha langsung dihadapan kami semua." Ucap Papa tegas.

"Apa?" Tanya gue masih bingung. Besok? Kami semua? Maksutnya gimana.

"Jadi gini Ram, mama sama Dhisti mau ngadain acara sederhana buat ngerayain kelulusannya Acha. Gimana pun juga Acha tuh udah mama anggap kayak anak mama sendiri. Anggap aja ini hadiah dari mama buat dia. Terus nanti kita undang keluarga-keluarga dekat sama teman-teman dia juga. Gimana menurut kamu?"

"Emang acaranya dimana mah?"

"Dihalaman belakang rumah kita. Dhisti udah atur semuanya kok. Kamu setuju kan?"

"Rama sih setuju aja mah. Terus maksud papa tadi Rama harus ngelamar Bila di acara itu?"

"Kenapa? Lo takut?" Sahut Dhisti lagi bikin gue kesel.

"Siapa yang takut sih?!"

"Ya udah buktiin dong! Masak adek gue yang katanya cassanova ini jadi pengecut."

"Oke! Besok Rama bakal ngelamar Acha dihadapan semua orang." Kata gue mantap. Gue emang nggak bisa nunda-nunda lagi. Apapun jawaban Bila nanti gue siap menerima.

"Nah! Gitu dong, itu baru anak Papa."

***

RAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang