DUA PULUH DUA

7K 395 12
                                    

Setelah dua hari bertahan, akhirnya hari ini badan gue tumbang juga. Gue bangun dengan wajah pucat dan dahi yang dipenuhi keringat. Badan gue rasanya menggigil dan kepala gue amat sangat pusing.

Gue berjalan dengan langkah tertatih-tatih menuju kamar mandi, mencari ponsel gue yang semalam gue tinggalkan begitu saja disana setelah mendengar cerita dari nyokap. Sialnya, gue menemukan ponsel gue dalam keadaan mengenaskan. Ponsel gue nyebur kedalam closet dan sudah tidak lagi bernyawa alias mati total. Kalau begini caranya, gue nggak bisa menghubungi siapa-siapa buat minta pertolongan. Yang bisa gue lakukan cuma berdoa dan berharap, semoga ada yang menemukan gue disini sebelum gue bernasib sama seperti ponsel gue. Meskipun gue dokter, gue juga butuh orang lain buat ngobatin gue.

Berita pertengkaran gue sama Bila akhirnya sampai juga ditelinga nyokap. Semalam beliau neleponin gue, minta supaya gue pulang kerumah dan ngedengerin semua penjelasan Bila. Bukannya malah kabur dan terus-terusan menghindari dia. Sebenernya, gue memang berniat ngajak dia ketemu dan membicarakan masalah ini berdua. Gue menghindari dia karena gue butuh waktu buat menerima semua, gue butuh waktu buat nenangin diri gue kalau ternyata apa yang dikatakan Bila nanti adalah memang hal terburuk yang sebenarnya nggak ingin gue denger.

Sayangnya, gue terlalu berprasangka buruk sama Bila. Gue terlalu gegabah mengambil suatu kesimpulan yang sebenernya gue sendiri nggak tahu gimana kebenarannya. Gue ngaku gue udah bersalah banget sama Bila karena udah bikin dia nangis dan terluka. Gue mengingkari janji gue sendiri untuk nggak nyakitin dia. Gue emang brengsek banget jadi laki-laki. Dan Bila pantes buat ngebenci gue setelah semua kesalapahaman ini terjadi.

"Lo tuh bego apa gimana sih, Ram. Sumpah ya. Gue pengen banget nonjok muka lo sekarang juga, biar sadar. Biar otak lo beres. Laki-laki yang lo liat dikosan Bila itu sepupunya. Namanya Jefri."

"Kamu seharusnya lebih bisa meredam ego kamu sedikit, Ram. Dengarkan dulu penjelasan Acha. Mama paham sama ketakutan kamu dikejadian dimasa lalu. Tapi, Acha dan Catherine adalah dua orang yang berbeda. Kamu tidak bisa menyamakan mereka. Acha bukan perempuan seperti itu. Seharusnya kamu paham itu."

Gue mengerang frustasi. Ucapan Dhisti dan nyokap semalam telak menghantam gue. Gue pikir, gue udah mengenal Bila dengan baik. Nyatanya, masih banyak yang nggak gue tahu tentang dia. Gue nggak lebih dari seorang lelaki pengecut yang dengan mudahnya menyakiti hati pasangannya.

Ting Tong.

Suara bel apartemen gue berbunyi, memecah lamunan gue. Gue berusaha keras bangun dari tempat tidur meski harus menahan rasa sakit dikepala. Akhirnya gue bisa sedikit bernapas lega, setidaknya seseorang yang ada dibalik pintu bisa menyelamatkan gue. Dengan tenaga yang tersisa, gue berjalan menuju pintu. Begitu pintu gue buka, dan sebelum gue melihat dengan jelas siapa yang datang, tubuh gue mendadak ambruk tiba-tiba.

***

Gue baru sadar saat merasakan dahi gue dingin. Begitu gue membuka mata, gue bisa melihat sosok perempuan yang akhir-akhir ini ada dikepala gue kini duduk dihadapan gue. Meski samar-samar karena kepala gue pusing, gue berusaha meyakinkan diri bahwa saat ini yang sedang mengompres dahi gue adalah benar-benar Bila. Bukan bentuk khayalan atau imajinasi gue.

"Mas, masih sakit?" Tanya Bila sambil mengulurkan tangannya, mengusap-usap rambut gue lembut.

Gue yang masih terkejut dengan kedatangan Bila yang tiba-tiba nggak langsung menjawab. Gue perhatiin dia lekat-lekat. Seragam kebanggan yang masih melekat ditubuhnya menandakan dia baru aja pulang dinas. Wajahnya kelihatan lelah, bahkan kedua matanya terlihat bengkak. Mendadak, gue diserang rasa bersalah. Bila pasti terus bersedih dan menangis sejak kejadian itu.

Gue raih jemarinya yang bermain-main di rambut gue, gue kecup punggung tangannya dalam, menyalurkan perasaan bersalah dan juga kerinduan yang selama beberapa hari ini gue pendam.

"Maaf, Bi." Ucap gue lirih. Gue nggak tahu lagi harus bilang apa. Gue bener-bener ngerasa bersalah banget sama dia. Karena keegoisan gue, perempuan yang amat sangat gue cintai ini terluka.

Bila tersenyum tipis, setetes cairan bening lolos dari matanya. Hati gue rasanya ikutan sakit ngeliat dia nangis. Tanpa pikir panjang, gue menarik lengannya dan membawa tubuh kurus itu ke pelukan gue. Tangis Bila semakin menjadi saat ucapan kata maaf terus terucap dari bibir gue.

"Jangan pergi lagi." Ucap Bila disela isak tangisnya. Gue menggeleng dan semakin menguatkan pelukan gue.

"Saya janji. Saya nggak akan pernah bertindak bodoh lagi."

Bila melepaskan pelukan gue, masih dengan posisi saling berhadapan dia menatap gue lembut. Sisa-sisa air mata membekas dipipinya. Lalu, entah apa yang ada dipikirannya, Bila tiba-tiba memejamkan matanya. Sebelum akhirnya bibir tipis perempuan itu menempel di bibir gue.

Gue agak terkejut karena tiba-tiba Bila mencium gue, meski hanya bibir yang saling menempel tapi cukup membuat adrenalin gue meningkat. Suara degup jantung gue berpacu dengan degup jantungnya, mengisi keheningan dan kesunyian yang tercipta. Kurang dari dua detik, seolah tersadar dengan tindakannya, Bila menyudahi ciuman singkat itu. Wajahnya menunduk malu. Rona merah menjalar dikedua pipinya.

Sejak dulu gue memang penasaran sama rasa bibir tipis Bila. Gue pernah ingin mencoba tapi  gagal hingga gue berusaha mati-matian menahan diri. Tapi barusan, rasa manis yang tertinggal dari bibirnya, membuat gue ingin merasakannya sekali lagi.

Hingga akhirnya, tanpa pikir panjang gue meraih belakang kepala Bila dengan sebelah tangan lalu mendekatkan wajahnya lagi. Deru nafasnya yang hangat menyapu wajah gue. Bila memejamkan matanya, seolah mendapat kode, gue pun ikut memejamkan mata. Sampai pada akhirnya bibir tipis perempuan itu kembali menempel di bibir gue.

Semua kesalahpahaman melebur bersamaan dengan ciuman gue yang semakin lama semakin dalam dan penuh perasaan. Bila tidak berontak, tapi juga tidak membalas ciuman gue. Gue baru melepas ciuman itu saat Bila hampir kehabisan napas. Gue usap sekitar bibirnya yang basah. Bila tersenyum dengan rona merah yang kembali menjalar di wajahnya.

"I love you." Ucap Bila sebelum akhirnya membenamkan wajahnya lagi di dada gue.

Gue cukup terkejut dengan pengakuan Bila. Meski gue akhirnya merasa lega sekaligus bahagia. Untuk pertama kalinya, sejak kami menjalin hubungan, Bila menyatakan perasaannya. Gue tersenyum, membalas pelukannya.

"I love you too."

***




Yeay. Gw udah baca semua jawaban kalian. Semuanya bener. Tapi cuma satu yang menurut gw paling pas. Selamat buat @user06051998

Kamu berhak mendapat reward berupa pulsa dari gw sebesar 20k. Sengaja gw tambahin rewardnya. 😏 langsung message nomer kamu ke gw secara pribadi ya. Gw tunggu.

Terima kasih juga buat yg udah ikutan menjawab. Kapan-kapan gw adain lagi tebak-tebakan kayak gini. Tenang aja. Yang belum beruntung, coba lagi dilain waktu.

See you 😘

RAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang