DUA PULUH SATU

4.9K 278 0
                                    

Gue pun menuju kosan Bila dengan perasaan bahagia. Bila pasti seneng banget terima bunga dari gue ini. Mobil gue melaju dengan kecepatan lumayan cepet. Nggak sampai satu jam gue udah sampai ditempat tujuan.

Gue menyapa ibu kos Bila yang udah gue kenal dengan baik. Sikapnya udah nggak segalak waktu pertama kali gue ketemu. Soalnya setiap kali gue ngapelin Bila kesini, gue selalu bawa sesajen buat ibu Kos. Yaitu berupa seporsi martabak jumbo.

"Siang Bu..." Sapa gue dengan senyuman semanis es teh.

"Eh, Nak Rama. Mau ketemu Acha ya?"

"Iya Bu. Ada kan anaknya?"

"Ada kok. Tapi dikamarnya-"

"Iya Bu Saya tahu kok. Makasih ya Bu." Kata gue memotong ucapan Bu Kos. Tanpa menungu ucapan Bu Kos lagi gue buru-buru berjalan menuju kamar Bila.

Gue sembunyikan buket bunga yang gue bawa dibelakang tubuh gue. Gue siapkan senyuman terbaik gue buat Bila. Gue ketuk pintunya kamarnya pelan. Tapi nggak ada jawaban. Kemana dia? Apa masih tidur? Padahal sebelum berangkat kesini gue udah kabarin tadi lewat whatsapp.

Gue coba ketuk lagi pintunya, kali ini lebih keras. Sampai beberapa detik kemudian pintu itu terbuka lebar. Senyum gue mendadak hilang begitu melihat sosok yang kini berada didepan gue. Ingatan gue kembali melayang ke peristiwa lalu, dimana pengkhianatan itu terjadi didepan mata gue. Tubuh gue mendadak bergetar, bunga yang tadinya gue bawa terlepas dari tangan tanpa sengaja, hingga jatuh mengenaskan. Sama seperti hati dan perasaan gue yang saat ini gue rasakan.

"Cari siapa ya?" Tanya Lelaki asing didepan gue ini. Dia cuma pakai boxer berwarna kuning, dengan raut wajah acak-acakan khas bangun tidur. Gue cuma bisa mematung ditempat gue berdiri. Seolah nyawa gue dibawa terbang.

"Siapa Bang?" Suara Bila tiba-tiba menyentak kembali kesadaran gue. Sedetik kemudian sosoknya muncul dibalik tubuh lelaki bertelanjang dada ini. Yang bikin gue makin syok berat, Bila cuma pakai kimono dengan rambut basah seperti habis mandi.

Darah gue mendidih seketika. Tanpa pikir panjang gue pun melayangkan tonjokan gue ke arah lelaki itu. Kilasan ingatan itu kembali datang, membuat amarah semakin menguasai diri gue. Bila berteriak kencang, berusaha melepaskan badan gue yang menghajar lelaki itu bertubi-tubi.

"MAS! STOP! MAS RAMA APA-APAAN SIH?!" Bila mendorong badan gue, nggak tau kenapa rasanya hati gue sakit waktu lihat dia lebih milih nolongin laki-laki brengesek itu.

"KAMU YANG APA-APAAN?!" Teriak gue lebih kencang. Beberapa penghuni kosan lain mulai berdatangan, menyaksikan pertengkaran gue sama Bila.

"Kalau kamu mau batalin pernikahan kita, kamu bilang baik-baik sama saya. Jangan seperti ini caranya." Ucap gue dengan lirih. Rasanya menyakitkan ketika gue dikhianati untuk yang kedua kali oleh orang yang gue sayang.

"Maksud mas Rama apa sih? Siapa yang mau batalin pernikahan kita?"

"KAMU!" Teriak gue marah. Bila keliatan kaget mendengar nada bicara gue, matanya bahkan sudah memerah siap mengeluarkan air mata. "Dari awal mungkin Saya terlalu memaksa kamu. Seharusnya kamu bilang kalau ada lelaki lain yang kamu cintai, bukan selingkuh dibelakang saya seperti ini."

"Selingkuh? Siapa yang selingkuh? Mas Rama salah paham."

"Apa yang saya lihat sudah menjelaskan semuanya. Silahkan kamu urus sendiri semua pembatalan pernikahan kita." Ucap gue lalu pergi, mengabaikan teriakan Bila yang memanggil-manggil nama gue berkali-kali.

Bahkan Bu Kos yang datang tergopoh-gopoh dan berpapasan sama gue pun nggak lagi gue peduliin. Hati gue rasanya udah terlanjur hancur berantakan. Bila, perempuan yang gue pikir bisa gue percaya ternyata sama aja. Dia bahkan menyakiti gue lebih parah. Lebih sakit dari apa yang dulu dilakukan Katy. Dia menghancurkan gue hingga rasanya gue bener-bener mati rasa.

RAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang