Aisyah baru saja melangkahkan kakinya memasuki halaman sekolah. Di bagian belakang dekat kelasnya berada. Gadis itu berangkat lebih pagi seperti kemarin. Selain ada jadwal piket, Aisyah juga berniat mengerjakan PR-nya karena semalam ia ketiduran.
Gadis itu berjalan dengan santai tanpa curiga sama sekali. Sementara di belakangnya terlihat Cika dan Dita membawa satu ember air.
Mereka berjalan mengendap-endap di belakang punggung Aisyah.Sementara Tania memberi aba-aba pada dua sahabatnya agar berjalan dengan langkah cepat dan segera menyiram gadis berhijab itu.
"Sya!" Seruan Dita membuat Aisyah memutar tubuhnya. Dan byur. Air itu mengguyur Aisyah tanpa bisa dicegah.
Aisyah yang masih syok dengan hal yang terjadi, hanya diam di tempatnya. Satu persatu semua murid yang datang melewati tempat itu mengerubungi. Tania dengan sigap menarik Aisyah yang berniat pergi dari sana.
"Eeeh lo mau ke mana!? Gue belum selesai," ucap Tania sambil menarik baju belakang gadis itu, dan mendorongnya hingga tersungkur ke tanah.
"Kasih tepung itu sama gue!" sambung Tania dengan nada memerintah pada sahabatnya. Dita memberikan benda yang diminta Tania. Lalu gadis itu mulai melempari Aisyah dengan tepung disusul Dita dan Cika yang mulai melakukan hal sama. Sementara teman-temannya yang lain hanya bisa menyaksikan kejadian itu. Beberapa bahkan ada yang ikut melempari Aisyah.
"Mampus lo, teroris!" seru Tania sambil tertawa lepas diikuti tawa dua sahabatnya.
"Dia udah mirip adonan kue sekarang, Tan." Ucapan Cika disambut gelak tawa semua murid yang menyaksikan.
Aisyah memejamkan matanya, sementara dua tangannya berusaha melindungi wajah guna mencegah tepung yang di lempar mereka tak masuk ke dalam mata. Ingin rasanya gadis itu berteriak agar mereka semua berhenti tapi ia terlalu takut.
Tak ada dari mereka yang menghentikan aksi Tania melempari Aisyah. Di tengah rasa putus asa sebuah suara familier terdengar.
"Berhenti!" kontan semua yang berkerumun terdiam, dan menghentikan aksi mereka termasuk Tania dan dua sahabatnya.
"Kak, Jo," gumam Tania syok karena aksinya tertangkap basah sang gebetan. Hancurlah sudah citra dirinya di mata Jovan. Pikir Tania.
Jovan melirik sekilas pada Tania dengan raut datar, lalu berjalan mendekati Aisyah yang masih terduduk di tanah. Gadis itu hanya diam menatap Jovan dengan wajah penuh tepung.Dengan gerakan pelan, Jovan mengulurkan tangannya pada Aisyah agar gadis itu bangkit. Dengan ragu Aisyah menerima uluran tangan Jovan. Selanjutnya yang terjadi benar-benar membuat rahang Tania terkatup rapat. Karena Jovan mencopot jaket yang ia kenakan untuk membersihkan semua tepung ditubuh Aisyah.
Aisyah memejamkan matanya saat Jovan mengusap pelan kepala gadis itu yang penuh tepung. Lalu tatapan Jovan beralih pada semua yang ada di sana..
"Apa hak kalian menghakimi Aisyah? Hanya karena ke dua orang tuanya mantan teroris bukan berarti kalian berhak menuduh Aisyah juga teroris. Kalau begitu apa bedanya kalian dengan orang tua Aisyah yang seenaknya menghakimi orang lain kafir hanya tak sependapat dengan mereka?!" seru Jovan. Raut wajahnya begitu tenang, bahkan terkesan tanpa emosi. Tapi seperti biasa, ucapannya selalu membuat orang lain bungkam.
Semua yang ada di sana hanya diam dan menundukkan kepala termasuk Tania dan dua sahabatnya. Lalu terdengar suara Jovan kembali bicara.
"Seharusnya kalian sadar Aisyah juga korban di sini. Apa kalian pikir dia menginginkan hal ini terjadi dalam hidupnya, begitu?" Mendengar perkataan Jovan, mereka semakin dalam menundukkan kepala.
"Dan lo!" Jovan mengalihkan tatapan tajamnya pada Tania, "Lo harusnya iba dengan kondisi Aisyah, bukan malah mem-profokasi semua orang untuk bully dia. Kali ini gue nggak bisa tinggal diam dengan kesewenangan kalian. Jadi mulai hari ini siapa aja yang berani bully Aisyah, nggak akan segan-segan gue laporkan ke BP. Mengerti kalian!" seru Jovan dengan nada tegas.
Lalu cowok itu membawa Aisyah pergi dari hadapan semua orang untuk membersihkan diri.
"Ganti seragam lo," ucap Jovan dengan nada memerintah ketika Aisyah telah mencuci wajah. Sementara tangan kanan cowok itu mengulurkan seragam pada gadis di depannya.
"Tapi, Kak. Ini seragam punya siapa?" tanya Aisyah penasaran.
"Sudah, nggak penting gue dapat dari mana. Yang penting sekarang lo ganti baju seragam lo yang nggak jelas ini. Lo bisa sakit karena kedinginan." Mendengar perkataan Jovan, Aisyah menegadahkan kepalanya menatap cowok itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tak Ayal Jovan langsung memalingkan wajah. Ia khawatir akan terhipnotis jika terlalu lama menatap mata sayu gadis itu.
"Te-terima kasih sekali lagi untuk semua kebaikan, Kakak. Saya nggak tahu harus dengan cara apa membalas semuanya. Sa-saya nggak tahu jika Kakak ...." Aisyah menggantung kalimatnya. Gadis itu kembali menundukkan kepala sambil meremas tangannya yang mulai terasa dingin. Ia tak bisa melanjutkan ucapan itu. Tanpa bisa dicegah air matanya kini membasahi pipi. Jovan yang melihat hal itu akhirnya berdecap kesal. Antara iba dan tak suka melihat Aisyah kembali menangis.
"Ck! Bisa nggak jangan cengeng! Gue nggak suka cewek cengeng. Berusahalah lebih kuat mulai sekarang. Jangan hanya diam kalau diperlakukan begitu. Lo juga manusia, bukan hewan." Mendengar ucapan tegas Jovan, Aisyah mendongkak lagi. Menatap cowok itu yang kini tengah menatapnya dengan raut tak bisa ditebak.
Beberapa saat mereka hanya diam dan tanpa sadar saling menatap. Hingga Jovan memilih memalingkan wajah. Sementara wajah Aisyah kini tampak memerah.
"Ya su-sudah, gue duluan. Kalau besok mau balikkin itu seragam ke koperasi aja," ucap Jovan gugup. Ia berusaha terlihat datar di depan gadis itu meski kenyataan jantungnya terus berdetak sangat kencang. Aisyah hanya menjawab perkataan Jovan dengan anggukan kecil. Lalu cowok itu melangkah pergi meninggalkan gadis itu.
Aisyah menatap punggung Jovan yang menjauh, lalu seulas senyum tersungging di bibirnya.
"Terima kasih ya Allah. Kau mengirim malaikat sebaik dia," gumam Aisyah dengan penuh syukur.
*****
Tiga orang gadis tampak duduk di ruang BP. Kepala mereka tertunduk lesu. Sementara seorang guru laki-laki tampak tengah berbicara pada tiga gadis itu dengan nada geram.
"Sudah berkali-kali saya peringatkan pada kalian, terutama kamu, Tania! Jangan bully Aisyah! Karena dia tak ada hubungannya dengan kasus yang melibatkan orang tua gadis itu! Harusnya sebagai teman kalian mendukungnya, bukan justru mem-profokasi semua orang untuk melakukan tindakan mem-bully!" seru Pak Arman marah. Tania, Dita dan Cika hanya diam menundukkan kepala takut-takut. Lagi-lagi ucapan itu yang harus gue dengar. Tadi Kak Jovan sekarang Pak Arman. Ogah banget gue disuruh baikkin tu teroris. Gerutu Tania dalam hati
"Maaf, Pak. Kami hanya iseng," ucap Tania membela diri.
"Benar, Pak. Kami hanya bermaksud bercanda," timpal Dita membenarkan ucapan Tania.
"Iya betul," tambah Cika menyetujui ucapan dua sahabatnya.
Mendengar pembelaan tiga gadis di depannya, Pak Arman selaku guru BP justru terlihat geram. Tiga gadis itu memang susah sekali diberi arahan. Arman pun tahu bukan sekali dua kali mereka mem-bully murid lain. Pihak sekolah bahkan sering memberi mereka hukuman. Tapi, sepertinya itu sama sekali tak merubah perangai mereka.
"Baik kalau kalian tetap keras kepala seperti itu. Kalian bersihkan toilet sekolah selama satu minggu full!" Mendengar ucapan Pak Arman tiga gadis itu membulatkan matanya.
"Tapi, Pak!" ucap mereka serentak dengan raut syok.
"Nggak ada tapi-tapi, bersihkan toilet sekolah mulai hari ini setelah usai sekolah! Kalian paham?!" terang Pak Arman lagi menekankan perkataannya yang tak main-main. Ucapan final pak Arman membuat Tania dan dua sahabatnya mendesah pasrah. Lalu guru BP itu menyuruh tiga muridnya keluar.
"Semuanya gara-gara si teroris itu," gerutu Tania kesal ketika sudah berada di depan ruang BP.
*****
Assalamualaikuum, aku Updet Aisyah lagi akhirnya. Nggak tahu deh bagus apa nggak, asal nulis aja udah. Wakaka
Jangan lupa tinggalkan jejak biar semangat lanjut akunya.
![](https://img.wattpad.com/cover/148561484-288-k607686.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasbih Ketulusan Aisyah: Repost (Complet)
SpiritualSeri ke 3 Journey Of Love. Jovan&Aisyarah. Fersi teen. Bisa dibaca terpisah. Aisyah tidak pernah membayangkan jika perbuatan mendiang orang tuanya akan membawa kemalangan bagi dirinya. Berbulan - bulan menjadi objek bullying di sekolah, sampai kedu...