27. Harus Bagaimana

1.7K 136 21
                                    

Aisyah berjalan masuk ke rumah dengan langkah gontai setelah mobil Jovan pergi beberapa saat lalu. Gadis yang kini tampak memasang raut masam itu lantas duduk sejenak di bangku teras untuk mencopot sepatu sebelum kemudian membuka pintu. Gerakan tangannya terhenti ketika Maryam tiba-tiba keluar.

"Kok tumben jam segini baru pulang, Ais? Kamu pulang sama siapa? Tadi Nenek dengar ada suara mobil berhenti," tanya Maryam bertubi-tubi. Tatapan menyelidik dia arahkan pada Aisyah.

"Iya, Nek. Aisyah lupa tadi nggak bilang mau ada kepentingan bareng semua sahabat Ais. Tadi itu Kak Jovan. Dia titip salam buat Kakek sama Nenek. Katanya maaf nggak bisa mampir karena dia buru-buru. Sekaligus maaf karena dia ajakin Ais lupa nggak izin Nenek." Setelah mengatakan itu Aisyah mendekat dan mencium punggung tangan neneknya. Maryam mengangguk mengerti dengan jawaban cucunya.

"Ais masuk kamar dulu ya, Nek," sambungnya lesu.

"Assalmualaikum!" Serunya kemudian begitu memasuki rumah.

Mendengar suara Aisyah, Abdullah yang tengah menonton acara berita mengalihkan perhatiannya pada gadis remaja itu sembari menjawab salamnya. Tak lupa pula Aisyah mencium tangan kakeknya sebelum berjalan ke arah kamar.

"Aisyah kenapa? Nggak biasanya dia seperti itu?" tanya Abdullah pada Maryam yang kini telah duduk di sampingnya.

"Biasa, mungkin permasalahan remaja," Abdullah mengangguk paham.

Aisyah menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur begitu ia memasuki kamar. Sementara tasnya ia letakkan di sembarang tempat. Matanya menerawang jauh pada kejadian tadi sore ketika Jovan mengantarkannya pulang.

Sudah sekitar setengah perjalanan semenjak mobil Jovan berhenti di depan mall. Dua remaja dalam mobil itu hanya diam. Mereka terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing atau lebih tepatnya bingung mencari kata-kata apa untuk memulai obrolan.

Aisyah dengan rasa penasarannya, sedang Jovan dengan kebingungannya harus menjelaskan dengan cara apa prihal kepergiannya, sedang gadis di sampingnya belum bersedia membuka suara sedari tadi. Masa iya gue tiba-tiba jelasin ke dia. Kan nggak lucu. Batin Jovan.

"Kak Jo,"

"Ai," ucap dua remaja itu bersamaan.

Jovan dan Aisyah saling melempar pandangan sebelum senyum mereka sama-sama merekah. Merasa lucu dengan kebetulan itu.

Aisyah dan Jovan sama-sama gugup.

"Kakak dulu aja."

"Nggak, dimana-mana ladys first."

Aisyah menatap Jovan sejenak yang kini kembali fokus pada jalanan di depannya. Ada keheningan beberapa saat karena Aisyah kini tengah mencari kata kata yang pas untuk bertanya. Jovan masih setia menunggu gadis di sampingnya membuka suara. Meski yang kini terlihat olehnya justru Aisyah yang tengah menunduk sembari meremas tangan di pangkuan. Jovan tersenyum samar melihat hal itu. Kini ia tahu bahwa dirinya lah yang harus lebih dulu memulai percakapan.

"Aku berangkat ke Jerman sebulan setelah Ujian Nasional. Maaf karena nggak ngasih tahu kamu sebelumnya," ucap Jovan lembut sebelum tatapannya kembali ia alihkan pada jalanan.

Aisyah menatap Jovan setelah cowok itu bicara.

"Aku bingung harus bagaimana sekarang. Hanya saja ... rasanya sedih kalau bayangin aku nggak bisa lihat Kak Jovan lagi." Aisyah kembali menundukan kepalanya setelah mengatakan itu. Raut sedih gadis itu tak bisa disembunyikan, bahkan Jovan pun tak perlu belajar ilmu meramal untuk tahu apa yang Aisyah rasakan saat ini. Sebab jauh di dasar hatinya pun perasaannya sama dengan gadis itu. Ada keheningan kembali karena Jovan pun memilih tak bersuara.

Tasbih Ketulusan Aisyah: Repost (Complet)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang