"Dasar teroris! Mati aja lo teroris!" seru Tania disusul teriakkan beberapa temannya yang ikut mengelilingi seorang gadis berhijab."Teroris pantasnya diperlakukan kayak begini, ya nggak teman-teman!?" sambung gadis berambut hitam itu, sambil mengguyur gadis berhijab yang kini terduduk di lantai dengan baju basah kuyup.
"Ya betul, siram-siram!" sahut yang lainnya ikut menyemangati.
Tindakan mereka membuat Gadis berambut sebahu dan dua sahabatnya semakin semangat mengguyur si gadis berhijab. Tak ada yang berusaha melerai atau menghentikan aksi Tania dan gengnya. Jika berani, maka orang tersebut akan bernasib sama dengan gadis berhijab itu, dan berakhir dijuluki sebagai 'teroris'
Aisyah hanya bisa tertunduk dan menangis tanpa bisa melakukan apa-apa. Untuk melawan perlakuan semua temannya dia jelas tak mampu. Tubuh kecilnya tak akan kuat melawan mereka yang menyerangnya bertubi-tubi.
Bukan sekali dua kali ia mengalami bullying, sudah beberapa bulan semenjak ayah dan ibunya meninggal dia diperlakukan seperti ini. Dianggap sebagai teroris hanya karena kesalahan kedua orang tuanya. Didiskriminasi, dijauhi, bahkan dianggap seperti hama.
Aisyah ingin sekali melawan, dia ingin mereka mendengar rintihan di dasar hatinya, jika dia pun sama menderitanya dengan keluarga korban-korban meninggal karena ulah orang tuanya. Dia pun sama seperti mereka, hanya Aisyah tak pernah punya kesempatan berbicara atau mengeluh.
"Dasar enggak tahu malu, Teroris!"
"Huuu huu!"
uara teman-temannya bersahutan. Umpatan-umpatan yang mereka tunjukkan padanya hanya bisa Aisyah dengarkan. Sementara mulutnya tak henti mengucapkan zikir untuk Sang Pencipta, agar suatu hari nanti ketulusannya bisa mereka lihat.
"Cabut, guys! Puas gue menyiksa dia di sini," ucap Tania pada dua sahabatnya, Anya dan Dita. Cewek itu lantas mengalihkan tatapan pada semua orang yang ada di sana.
"Dan kalian ... Jangan ada yang berani lapor guru kalau enggak mau bernasib sama dengan si teroris ini!" ancam Tania.
Setelah Tania dan dua sahabatnya pergi yang lain satu persatu ikut meninggalkan Aisyah.
Gadis berhijab itu dengan perlahan mengangkat tubuhnya. Aisyah mencoba mengabaikan rasa dingin yang mulai menyerang tubuhnya. Tapi ketika ia hendak melangkah, Husna dan Marsya terlihat berdiri di depannya. Aisyah terdiam, begitu pun dua cewek itu.
Aisyah berusaha menyunggingkan senyum ke arah Marsya dan Husna. Dia merasa memiliki secercah harapan saat ini meski temannya yang lain menganggapnya teroris. Dengan langkah yakin Aisyah mendekat. Tapi, Marsya menarik tangan Husna yang berniat mendekatinya.
"Ayo, kita pergi," ucap Marsya sambil menarik tangan Husna. Husna hanya bisa menatap iba pada Aisyah, yang dibalas senyum kecut cewek itu.
Setelah dua cewek itu pergi, Aisyah mengembuskan napas berat. Inilah hal yang paling menyakitkan untuk diterima, karena dua sahabatnya pun ikut menjauh setelah mereka tahu semuanya. Membiarkan Aisyah sendirian menanggung beban itu.
Aisyah tak pernah menyalahkan Husna dan Marsya jika mereka memilih menjauh. dia tahu, mereka hanya tak ingin berurusan dengan Tania dan semua gengnya. Hal itu lebih baik, dari pada Aiayah harus melihat nasib dua sahabatnya berakhir di-bully.
"Astagfirullah hal adzim, kuatkan aku ya Allah ... kuatkan aku. Aku menyimpan sakitku di sini, dan hanya Kau yang tahu cara mengobatinya," gumam Aisyah sambil menengadahkan kepala ke atas. Sementara satu tangannya meraba dadanya yang terasa sesak. Diusapnya air mata yang jatuh di pipi secara kasar, lalu Aisyah berjalan dengan langkah pelan meninggalkan toilet yang terletak di ujung kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasbih Ketulusan Aisyah: Repost (Complet)
EspiritualSeri ke 3 Journey Of Love. Jovan&Aisyarah. Fersi teen. Bisa dibaca terpisah. Aisyah tidak pernah membayangkan jika perbuatan mendiang orang tuanya akan membawa kemalangan bagi dirinya. Berbulan - bulan menjadi objek bullying di sekolah, sampai kedu...