13. Pergi Bersama.

2.6K 214 16
                                    

Jam tuju pagi, mobil Mersi putih milik Jovan sudah bertengger manis di depan rumah Aisyah. Sambil menunggu gadis itu bersiap-siap Jovan memilih berbincang dengan Abdullah di teras depan.

"Arsyad dan aku sahabat baik dari SMA. Bahkan sekarang pun terkadang kami sering memancing bersama. Meski kakekmu orang sibuk, dia tetap meluangkan waktu untuk hobinya yang satu itu." Abdullah bercerita panjang lebar sedari tadi tentang masa mudanya dengan Arsyad. Sementara Jovan hanya menimpali sesekali.

"Maaf, Kek. Saya ingin tanya. Emm ...." Jovan menggantung kalimatnya sejenak. Menatap Abdullah yang kini tengah menatapnya pula.

"Ingin bertanya soal apa? Tanyakan saja," ucap Abdullah meyakinkan keraguan Jovan.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan orang tua Aisyah, Kek?" Mendengar pertanyaan anak muda di depannya Abdullah mengembuskan napas berat. Menceritakan tentang keadaan Aisyah selalu membuat dadanya ikut sesak.

"Sejak umur Aisyah dua belas tahun ia sudah tinggal bersama kami. Anakku, ayahnya Aisyah, terdoktrin sebuah aliran radikal beberapa tahun silam. Ia tak mengizinkan semua anaknya bersekolah, bahkan membatasi pergaulan mereka. Hanya Aisyah yang tak bersedia menerima doktrin itu dari orang tuanya. Hingga aku memutuskan membawa ia bersama kami dan mendidiknya dengan benar. Sementara Kakaknya yang berusia lima tahun lebih tua dari Aisyah sekarang tak jelas keberadaannya."

"Aisyah memiliki Kakak?" Mendengar pertanyaan Jovan, Abdullah mengangguk kecil.

"Lalu dua adiknya apa benar telah meninggal saat tragedi itu?" Kembali, Abdullah hanya bisa mengangguk lemah. Jovan terdiam. Sudah lama sekali ia ingin bertanya hal ini pada Aisyah, tapi ia takut Aisyah akan sedih jika mendengar ia bertanya tentang keluarganya.

Jovan dan Abdullah tengah sibuk dengan pikiran masing-masing. Ketika tiba-tiba sebuah suara lembut menyapa mereka.

"Apa sudah siap untuk berangkat?" tanya Aisyah pada Jovan.

"Ah ya, ayo kita berangkat," ucap Jovan berdiri dari duduknya. Cowok itu mengamati Aisyah sejenak yang sekarang tengah mengenakan long dres berwarna pach dengan motif bunga. Sementara lengannya bermodel trompet. Dipercantik dengan hijab syar'i berwarna hitam.
Jovan buru-buru mengalihkan tatapan ketika ia sadar matanya telah lancang mengagumi kecantikan Aisyah. Cowok itu menggaruk tengkuknya gugup. Sementara Aisyah tersipu karena di tatap Jovan seperti itu. Abdullah yang menyaksikan pemandangan itu hanya tersenyum kecil.

"Kenapa masih berdiri di sini? Bukannya kalian bilang ingin berbelanja keperluan katring?" suara tua Abdullah membuat Jovan dan Aisyah mengalihkan perhatian padanya.

"Ah, i-iya, Kek. Kami pergi dulu," jawab Aisyah gugup. Dua remaja itu hendak melangkah pergi ketika suara Abdullah kembali terdengar, dan membuat mereka memutar tubuh.

"Kalian nggak melupakan sesuatu?" Mendengar pertanyaan Abdullah, Aisyah dan Jovan saling berpandangan karena bingung.

"Aisssh, iya kami lupa belum mencium tangan Kakek," ucap Aisyah menepuk jidatnya. Lalu dua remaja itu menyalami Abdullah.

"Bukan itu. Kamu lupa nggak menunggu nenek keluar. Bukannya Nenek juga ikut pergi?" Abdullah mengingatkan.

"Astaghfirullah, kenapa Aisyah bisa melupakan Menek," seru gadis itu menepuk jidatnya lagi. Abdullah menggeleng melihat tingkah cucunya, sementara Jovan hanya bisa menahan tawa. Setelah itu, Aisyah kembali melesat ke dalam rumah untuk menemui neneknya yang mungkin masih bersiap-siap di dalam kamar. Meski alasan sebenarnya ia malu karena telah bertingkah konyol di depan Jovan. Ia selalu merasa gugup jika ada cowok itu.

"Jantungku." Aisyah menyentuh dadanya yang berdegup kencang.
"Berhentilah berdetak terlalu kencang," gumam Aisyah ketika sampai di depan pintu kamar sang nenek.

******

Jovan, Aisyah dan Maryam terlihat asyik mengitari pasar modern di daerah Jakarta Timur. Mereka memutuskan akan memasak menu pecel ayam untuk katring. Ditambah beberapa menu sebagai pendamping pecel. Juga beberapa takjil untuk hidangan penutup. Buah-buahan pun tak lupa mereka beli.

Setelah puas mengitari pasar, mereka berniat langsung mengerjakan pesanan katring itu di rumah Aisyah. Ketika sampai di depan rumah Aisyah terlihat Shanum dan Arya telah menunggu di teras depan. Adik Jovan itu terlihat tengah asyik berbincang dengan Abdullah. Perhatian mereka beralih begitu terdengar mobil yang dikendarai Jovan berhenti di depan gerbang. Lalu Shanum, Arya dan Abdullah menghampiri mereka untuk membantu membawa barang belanjaan.

"Kalian lanjutkan bawa masuk ya, Anak-anak," seru Maryam pada empat remaja itu.

"Siap, Nek," jawab mereka serentak. Maryam tersenyum, lalu mengajak Abdullah turut serta dengan satu tenteng sayuran yang ia bawa.

"Lo kenapa ikut ke sini?" tanya Jovan pada Arya saat Abdullah dan Maryam telah beranjak pergi.

"Tentu aja gue mau bantuin Aisyah. Pake tanya." Arya menjawab santai.

"Kak Jo kenapa tinggalin Caca coba," Shanum berkata dengan nada merajuk.

"Kakak lupa." mendengar jawaban kakaknya yang tanpa merasa bersalah, gadis itu mengerucutkan bibir sebal.

"Bisa nggak ngobrolnya lanjut nanti." Ucapan Aisyah yang penuh sindiran membuat tiga remaja itu mengalihkan perhatian.

"Sini aku bantu," ucap Arya mencoba menarik barang yang di pegang Aisyah.

"Udah biar gue aja, sono gih lo bantuin Shanum aja tuh," Jovan berkata sambil menunjuk Shanum dengan dagunya. Sementara tangannya pun mencoba menarik barang belanjaan yang di pegang Aisyah.

"Nggak! biar gue yang bantu Aisyah," balas Arya tak mau kalah. Hingga terjadi aksi tarik menarik antara dua cowok itu. Aisyah yang kebingungan lebih memilih melepaskan tangannya dari barang yang ia bawa. Gadis itu justru mendekati Shanum dan membantunya membawa buah di kantong keresek. Ia membiarkan dua cowok di hadapannya saling tarik.

"Dasar kelakuan mereka benar-benar ya," gumam Shanum menggeleng tak habis pikir. Aisyah tersenyum mendengar gumaman Shanum.

"Udah biarin aja. Ayo kita masuk," ajak Aisyah pada Shanum yang dijawab anggukan setuju gadis itu.
Hingga beberapa saat kemudian Jovan tersadar Aisyah telah melenggang masuk bersama Shanum.

"Ya udah lo aja yang bawa," ucap Jovan melepaskan cekalan tangannya pada barang yang dijadikan rebutan itu. Otomatis Arya terhuyung ke belakang karena Jovan melepaskan tarikannya secara mendadak. Dan dengan santainya ia melenggang masuk meninggalkan Arya yang bersungut-sungut dibelakang.

"Woy! Dasar kampret lo, Jo! Bantuin gue kek itu barang masih ada! Woy, Jovan!" teriak Arya lantang. Tapi, Jovan tetap melenggang masuk.

"Kak Jo. Itu Kak Arya bantuin kek ih." Shanum memerintah kakaknya karena mendengar Arya terus berteriak.

"Biarin aja, tinggal dikit ini di bagasi."

"Itu Kak Arya kenapa?" tanya Aisyah tiba-tiba. Jovan mengangkat bahu cuek.

"Biar aku lihat, deh. Mungkin butuh bantuan." Mendengar Aisyah berkata seperti itu Jovan langsung bersuara dan menghentikan langkah gadis itu.

"Eeh, nggak usah kesana, Ai. Biar aku aja. Udah sana kalian bantu nenek Maryam." Otomatis Aisyah mengangguk bingung. Meski begitu ia tetap beranjak ke dapur. Sementara Shanum mengarahkan tatapan curiga pada kakaknya.

"Sejak kapan Kakak ber aku-kamu sama Aisyah? Bilangin Oma loh," ucap  Shanum penuh ancaman.

"Apa ‘sih, kami, Dek. Udah sana ke dapur," Jovan berkata sambil mendorong bahu adiknya. Sementara ia sendiri memilih kembali menghampiri Arya yang tengah kesulitan membawa kardus.

*****

Assalamualaikuuum, selamat sore menjelang malam semua. Akhirnya bisa updet Aisyah lagi. Meski ini telat karena bulan puasa dah lewat hihihi. Tp tetep seting akan kubuat bulan Ramadhan. Aku bahkan dah siapin squel mereka fersi dewasa. Hanya nggak tahu up kapan karena nunggu yang ini kelar dulu. Jangan lupa tinggalkan jejak ya.

Tasbih Ketulusan Aisyah: Repost (Complet)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang