24. Iri Hati.

2.3K 180 30
                                    

Dua gadis berseragam SMP tampak tengah asyik duduk di ayunan yang terdapat di sebuah taman. Sudah menjadi rutinitas mereka beberapa hari belakangan seusai pulang ujian akhir sekolah, dua remaja itu selalu menyempatkan diri datang ke tempat itu. Sekedar menghilangkan kejenuhan setelah dijejali soal-soal yang menguras otak.

"Sa," sapa gadis berrambut sebahu pada sahabatnya sejak SD.

Gadis berhijab yang dipanggil menoleh dengan senyum terkembang. Sambari menarik permen lolipop di mulutnya.

"Ya," jawab Aisyah pada gadis di sampingnya yang tak kunjung membuka suara.

Tania menatap Aisyah sejenak dengan raut tak dapat ditebak. Dia seakan ragu untuk mengatakan sesuatu.

"Saat kita masuk SMA Taruna nanti, berpura-pura lah kita nggak saling kenal sebelumnya."

Senyum Aisyah menghilang begitu ia mendengar perkataan tak terduga itu keluar dari mulut sahabatnya. Gadis berhijab dengan mata bulat tersebut tak mampu berkata-kata karena terlalu syok. Ia tak mengerti kenapa bisa Tania mengatakan hal sekejam itu setelah hari-hari berat yang mereka lalui bersama. Terlintas dalam pikirannya untuk bertanya apa alasannya, kenapa tiba-tiba sahabat satu-satunya yang ia miliki memilih menjauhi ia juga. Namun, belum sempat Aisyah menyuarakan isi pikiran, Tania sudah lebih dulu bangkit.

"Jangan tanyakan kenapa aku bicara kayak gini. Aku hanya nggak mau nasib kita sama seperti saat SMP. Aku harap kamu ngerti," sambung Tania, lalu berlalu meninggalkan Aisyah dalam kebisuan.

"Ada apa lo nyuruh gue ke sini?" tanya Tania dengan nada malas. mengagetkan lamunan Aisyah tentang masa lalunya dan Tania saat SMP.

Gadis berhijab itu lantas balik menatap Tania.

"Kamu nggak pa-pa?" Aisyah balik bertanya. Pertanyaan yang ia lontarkan murni rasa peduli. Tapi, di depannya Tania justru memutar mata bosan karena pertanyaan itu.

"Nggak perlu gue jawab 'kan, pertanyaan lo? Kalau lo mau tertawa, tertawa aja sepuasnya. Nggak perlu pura-pura baik di depan gue. Muak gue lihatnya," Tania menjawab sinis.

Aisyah tetap tenang meski di depannya Tania  memasah wajah penuh permusuhan. Ditatapnya lekat-lekat wajah gadis berrambut sebahu itu. Terdengar helaan napas Aisyah beberapa saat kemudian.

"Mau sampai kapan kamu kayak gini, Tan? Cukup. Jangan nyakitin diri kamu sendiri. Aku sedih lihat kamu kayak gini."

Tania memutar mata bosan mendengar perkataan Aisyah.

"Lo mau tahu kenapa gue kayak gini? Gue bosen terus-terusan jadi yang ke dua. Lo harus tahu, gue muak sama kebaikan lo. Gue muak setiap kali denger orang-orang terus aja bandingin gue sama lo. Dari sejak kita SD lo selalu dapatin apa yang lo mau. Lo selalu lebih unggul dari gue. Lo bisa bayangin 'kan, sebenci apa gue sama lo? Awalnya gue pikir kita bisa tetap bersahabat. Asal gue sabar menunggu hingga kita lulus dan kita akan beda sekolah. Tapi harapan itu pupus saat gue tahu ternyata lo dapat beasiswa juga di sekolah ini. Itu makannya gue nggak pernah mau kita saling kenal di sini. Kenyataan lo masih tetap baik setelah apa yang gue lakuin itu lebih bikin gue muak," Ada jeda sejenak sebelum Tania melanjutkan ucapannya.

"karena apa? Sekeras apa pun gue berusaha jadi baik, sekeras apa pun gue berusaha jadi kayak lo, tetap aja orang-orang akan terus memuji lo. Sementara gue ... hanya akan dilupakan," sambung Tania.

Aisyah terdiam mendengar kejujuran Tani. Ada rasa sedih yang membuat hatinya sakit. Apa sebegitu bencinya Tania bersahabat dengannya dulu? Apa sebegitu menyebalkan dirinya dulu? Hingga Tania tega berpikir demikian. Aisyah menatap Tania sedih sebelum membuka suaranya.

"Kenapa? Kenapa kamu nggak bilang semua ini dari dulu? Andai kamu bilang ini sejak awal, aku nggak perlu menerima beasiswa masuk sekolah ini dan kita tetap jadi sahabat."

Tania tersenyum sinis mendengar ucapan tulus Aisyah.

"Gue nggak akan pernah sanggup jika kita terus bersahabat. Tidak setelah lo mencuri kak Jovan dari gue."

"Nggak ada yang mencuri gue dari lo. Kenyataannya emang lo sendiri yang nggak pantes mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang-orang. Harusnya lo introspeksi diri. Bukannya bersikap seolah lo nggak salah seperti ini. Lo mau tahu bedanya lo sama Aisyah apa?"

Jovan tiba-tiba saja muncul dan mengagetkan dua gadis itu. Niat awal Jovan mencari Aisyah hanya untuk menyampaikan sesuatu justru berujung harus melihat kejadian ini.  Cowok itu berhenti tepat di samping Aisyah, memasang badan untuk melindungi gadis itu.

"Karena Aisyah nggak akan pernah mengingkari ketulusan hatinya," sambung Jovan sembari menatatap Aisyah. Perhatiannya kembali beralih pada Tania.

Tania tersenyum kecut sebelum memilih pergi dari hadapan Jovan dan Aisyah.

Aisyah menatap sedih punggung Tania yang menjauh. "Aku menyesal karena membiarkan Tania terus larut dalam perasaan irinya. Harusnya kalau aku memang menganggap dia sahabat, aku terus berusaha mendekat meski dia ingin aku menjauh," gumam Aisyah sedih.

Jovan menghela napas mendengar perkataan itu.

"Dalam hidup ada hal yang selalu tak sesuai harapan. Meski kamu berusaha sekuat tenaga, jika ini yang Tania mau, akan tetap percuma. Tania nggak tahu jika sifat iri yang ia miliki justru akan membuatnya hancur secara perlahan. Yang aku sesalkan kenapa Tania harus menyakiti dirinya terus menerus seperti ini? Andai dia bersedia membuang egonya, mungkin nggak akan terlihat menyedihkan ," Jovan menjawab bijak.

Aisyah mengangguk setuju dengan ucapn Jovan.

"Kakak kenapa bisa ada di sini?" tanya Aisyah begitu ia sadar akan kehadiran Jovan yang mendadak itu.

"Aku hanya mau kasih kamu ini." Jovan mengulurkan sebuah kertas.

Aisyah membaca seksama deretan huruf di kertas. Gadis itu tampak kebingungan saat ia membaca tulisan Dua puluh Besar Saimbara Novel.

"Ini maksudnya apa, Kak?"

"Novel kamu masuk dua puluh besar saimbara novel."

Aisyah masih tak paham apa yang dimaksud Jovan. Pasalnya gadis itu sama sekali tak pernah merasa mengirimkan salah satu naskahnya.

Jovan seakan tahu apa yang tengah gadis di depannya pikirkan.

"Maaf sebelumnya kalau aku lancang. Karena tanpa sepengetahuan kamu aku kirim naskah novel kamu ke lomba itu."

"Tapi gimana Kakak bisa tahu kalau aku-"

"Itu nggak penting. Hanya ini yang bisa aku lakukan buat kamu. Kamu dulu pernah bilang 'kan, suatu hari akan balas semua kebaikan aku?" tanya Jovan memotong ucapan Aisyah.

Gadis itu pun mengangguk pada cowok di depannya.

"Kamu cukup balas semuanya dengan cara ini. Terus kejar impian kamu jadi penulis. Maka aku akan bahagia kalau bisa lihat kamu bahagia."

Aisyah menatap Jovan dengan mata berkaca-kaca. Bagaimana mungkin ada laki-laki sebaik ini hadir dalam hidupnya bak malaikat pelindung. Ia tak akan pernah bosan mengucap banyak rasa syukur karena kebaikan Allah telah mempertemukannya dengan Jovan.

"Terima kasih untuk semua kebaikan Kakak."

Jovan tersenyum tulus sebagai jawaban ucapan terima kasih Aisyah. Ia menatap Aisyah lekat-lekat. Ada banyak hal yang ingin Jovan katakan. Tapi hanya mampu tertahan di tenggorokan.

"Kelak kalau aku nggak ada, jangan pernah berubah. Tetaplah jadi gadis yang kuat dengan caramu. Tetaplah jadi Aisyah yang penuh ketulusan, meski dengan orang yang benci sama kamu sekalipun. Karena itulah hal yang membuat kamu terlihat istimewa."

Aisyah mengangguk mantap mendengar ucapan Jovan. Dengan rasa haru yang membuncah ia berjanji akan terus berusaha kuat. Seperti yang Jovan katakan.

****

Assalamualaikuuum selamat siang. Apa ada yang menunggu Jovan Aiayah? Maafkan typo yang bertebaran. No edit karena yang penting updet wakaaka. Lop u kaliaaaan

Tasbih Ketulusan Aisyah: Repost (Complet)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang