No edit!
Jovan memasuki kediaman Arsyad tak lama setelah ia mengantar Aisyah. Begitu masuk terlihat Hana tengah menyiapkan makanan untuk berbuka. Sudah menjadi kebiasaan keluarga Arsyad jika acara berbuka akan dilaksanakan setelah shalat magrib berjamaah.
"Assalamualaikum, Oma,” seru Jovan dari ambang pintu.
"Waalaikumsalam," jawab Hana tanpa mengalihkan perhatiannya dari piring-piring yang sedang ia tata ke atas meja.
"Kamu dari mana baru sampai jam segini?" tanya Hana pada Jovan.
"Ah, macet banget tadi di jalan, Oma." Jovan berbohong karena malu jika harus jujur pada Hana. Ia pikir ini terlalu berlebihan.
"Kak Jo bohong, Oma!" Seruan Shanum dari Arah tangga membuat Jovan dan Hana mengalihkan perhatiannya pada gadis itu.
"Kak Jo tadi mengantar Ai-" Kata-kata Shanum terhenti karena Jovan reflek berlari dan langsung membekap mulut sang adik. Hana mengernyitkan dahi menatap tingkah dua cucunya.
"Nggak, Oma. Maksud Shanum Jo harus mengantar Alan dulu. Ya ‘kan, Dek?" ucap Jovan panik. Ia menatap Shanum seolah menyuruh Adiknya untuk menjawab ya. Sementara tangannya masih membekap mulut sang adik hingga gadis itu kehabisan napas.
“Mmm.” Shanum mencoba memberi tahu Jovan bahwa ia sesak napas. Jovan melepas bekapan tangannya secara otomatis.
"Aissh, Kak Jo! Aku kehabisan napas nih!" sungut Shanum pada sang Kakak dengan raut kesal.
"Hehe, sorry, Dek," ucap Jovan memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
"Ada apa ini? Kalian ramai sekali?” tanya Arsyad tiba-tiba yang baru saja keluar dari arah tempat shalat keluarga.
"Nggak pa-pa, Opa. Biasa anak muda," jawab Jovan pura-pura. Cowok itu menyalami Arsyad dan mencium punggung tangan sang kakek.
"Ayo, kita buka bersama dulu. Baru setelah itu siap-siap shalat isya dan terawih," ajak Hana pada mereka semua.
"Jo ke kamar dulu bersih-bersih. Kalian buka saja dulu," ucap Jovan.
"Ya sudah, kamu batalkan dulu puasanya dengan yang manis," jawab Hana sambil menyerahkan dua butir kurma dan air putih. Setelah itu Jovan melesat pergi ke kamarnya.
Begitu membuka pintu kamar cowok itu menaruh tas di meja belajar lalu menghempaskan tubuh ke ranjang. Jovan menghela napas dan meletakkan dua tangannya di belakang kepala untuk ia jadikan bantal. Ingatannya terputar pada kebersamaannya dengan Aisyah akhir-akhir ini. Dari mulai menolong gadis itu setengah hati, atau lebih tepatnya ia tak bisa lagi menghindar jika ia memang peduli pada gadis itu. Hingga kejadian tadi sore semakin menguatkan dugaan jika hatinya memang tengah dilanda hal tak biasa. Lalu seulas senyum tersungging di bibir cowok itu.
Jika dipikir-pikir takdir itu begitu tak terduga. Dari mulai tak saling mengenal, diam-diam memperhatikan, lalu tiba-tiba jadi begitu dekat. Seperti halnya ia dan Aisyah. Jovan dulu sering memperhatikan gadis itu dari jauh. Saat sebelum Aisyah mengalami nasib malang.
Ya ... Sama halnya dengan gadis itu, Jovan pun sering diam-diam memperhatikan Aisyah. Bahkan sejak awal gadis itu datang sebagai murid baru di SMA Tunas Bangsa. Awal pertemuan mereka bukanlah di SMA, tapi jauh sebelum itu. Ingatannya terputar pada peristiwa dua tahun lalu. Ketika ia masih duduk di kelas sepuluh.
Jovan dan Shanum tengah bersepeda di sekitar taman, dekat kompleks perumahan Arsyad. Ketika tengah asyik menikmati semilir angin pagi itu, ia tak sengaja melewati sekelompok anak perempuan yang seusia dengan Shanum. Ada satu peristiwa yang membuat Jovan menghentikan sepedanya.
Bukan beberapa gadis yang tengah bermainlah yang menarik rasa penasarannya untuk mendekat. Tapi gadis berhijab yang duduk di bawah pohonlah yang menjadi perhatiannya. Gadis itu berpenampilan jauh dengan gadis lainnya. Sementara dalam genggaman gadis itu terlihat sebuah alquran kecil dan di depannya seekor kucing liar kecil tengah di elus. Senyum gadis itu terus tersungging. Hingga Samar-samar ia mendengar lantunan salawat. Dengan penasaran Jovan mendekat lalu duduk tepat di balik pohon di mana gadis itu duduk. Ia menyunggingkan senyum kecil saat gadis di balik pohon bersuara.
"Sekarang kamu nggak usah takut sendirian. Karena aku akan jadi temanmu. Kita akan selalu bersama, okey. Aku beri nama kamu si Manis, ya. Karena kamu manis kayak aku."
Ucapan narsis itu membuat Jovan mendengkus geli. Lalu kembali terdengar suara gadis di balik pohon.
"Namaku Aisarah. Berhubung kita sama-sama nggak punya teman, gimana kalau kamu ikut aku pulang ke rumah."
Mendengar ucapan tersebut, Jovan buru-buru bangkit untuk berniat pergi. Agar gadis di belakangnya tak mengetahui ada dia di sana. Tapi gerakannya yang tergesa-gesa membuat ia jatuh tersungkur mencium tanah basah di sampingnya.
"Kakak nggak pa-pa?" tanya suara merdu di hadapannya. Jovan mendongkak menahan malu karena tubuhnya yang kotor. Mungkin saja gadis itu memergoki dirinya menguping. Beberapa saat kemudian terdengar tawa tertahan Aisyah yang membuat Jovan mendengus guna menutupi rasa malunya.
"Ck! Malah tertawa," ucap Jovan kesal kemudian bangkit dari posisi jatuh. Ia mencoba membersihkan bajunya yang kotor meski hasilnya nihil.
"Maaf," ujar gadis itu dengan tawa tertahan. Aisyah mencoba mencari sesuatu di dalam tas yang kira-kira bisa membantu cowok itu.
"Ini," sambungnya sambil mengulurkan sebuah saputangan berwarna pink yang selalu ia bawa ke mana-mana.
Jovan hanya menatap bingung benda itu. Ragu antara ingin menerima atau menolak.
"Ambil, Kak. Buat bersihin muka Kakak yang kotor. Meski sebenarnya ini saputangan kesayangan aku. Tapi nggak pa-pa deh buat, Kakak," sambung Aisyah karena Jovan tak kunjung menerima meski ia memberikannya dengan senyum lebar yang begitu tulus.
Jovan tertegun, dengan ragu akhirnya ia menerima saputangan itu.
"Kalau begitu aku pergi. Dah, Kak."
Gadis bernama Aisyarah itu pergi meninggalkan Jovan dalam diam. Meninggalkan begitu banyak rasa penasaran dalam benak cowok itu. Senyum tulusnya tak pernah bisa Jovan lupakan. Bahkan hingga hari itu mereka dipertemukan lagi.
Hari berikutnya setiap Jovan ke rumah Arsyad, ia berusaha mencari Aisyah di taman tempat mereka pertama kali bertemu. Tapi gadis itu tak pernah ia temukan. Hingga dua tahun setelah itu, Tepat saat penerimaan murid baru. Jovan melihat Aisyarah di SMA Tunas Bangsa. Gadis yang sama dengan yang ia temui di taman. Meski kali ini Aisyah terlihat lebih dewasa. Meski Jovan tak yakin Aisyah mengenalnya. Jovan tersenyum mengamati gadis itu yang terlihat menyeka peluh di dahi seusai mengikutu MOS.
"Kita bertemu lagi, Aisyarah," gumam Jovan pada diri sendiri. Meski begitu Jovan hanya memilih mengamati gadis itu dari jauh. Ia tak berkeinginan mendekat atau mengajak Aisyah berkenalan secara langsung.
Bukan karena Jovan tak ingin, ia hanya berusaha melindungi gadis itu. Tanpa menampakkan dirinya sekali pun dan membiarkan Aisyah tetap asyik dengan dunianya. Tak apa jika ia tak terlihat oleh Aisyah, karena baginya cukup hanya dengan menikmati senyum tulus gadis itu setiap hari. Senyum yang belakangan ini tak pernah lagi ia temui. Bagi Jovan, ketika ia memutuskan mendekat maka satu langkah pula masalah baru akan tercipta di hidup gadis itu karena dirinya. Jovan bukan sok popular karena ia ketua tim basket sekaligus cucu pemilik yayasan. Namun, begitulah adanya. Ia hanya tak ingin Aisyah bernasib sama dengan gadis di masa lalunya. Tapi, takdir Allah berkata lain karena kesempatan itu datang saat ia harus melibatkan diri dengan masalah gadis itu. Ia tak bisa lagi menghindar dan berpura-pura tak mengenal Aisyah.
Jovan mengakhiri lamunannya soal Aisyah, dan meraih ponsel yang ia letakkan di atas nakas. Cowok itu mengetik pesan singkat tanpa basa-basi.
Assalamualaikum
Besok aku jemput jam tujuh pagi.
JovanSetelah itu Jovan memilih bergegas membersihkan diri.
*****
Assalamualaikuuum pembaca. Maaf ya baru bisa up. Karena dah mulai sibuk bikin-bikin kue buat lebaran hihihi. Jangan lupa tinggalkan jejak. Semoga bisa up lagi sebelum lebaran.
Love you All :* :*
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasbih Ketulusan Aisyah: Repost (Complet)
SpiritualSeri ke 3 Journey Of Love. Jovan&Aisyarah. Fersi teen. Bisa dibaca terpisah. Aisyah tidak pernah membayangkan jika perbuatan mendiang orang tuanya akan membawa kemalangan bagi dirinya. Berbulan - bulan menjadi objek bullying di sekolah, sampai kedu...