11. Angin Hujan

1.1K 127 10
                                        

"Sudah makan?" Tanya lelaki itu.

"Belum." Jawab si lawan bicara.

Sehun yang sebelumnya duduk bersila, kini berdiri. Ia memimpin jalan di kuil yang warna hijaunya dimana-mana itu. Lelaki tersebut berjalan menuju depan bangunan utama. Kuil memiliki dua bangunan kecil di masing-masing samping bangunan utama. Sehun berjalan menuju bangunan kecil di arah timur.

Lain dengan bangunan utama yang kebanyakan bersuara lonceng yang sengaja dibunyikan, kini tempat tersebut benar-benar sepi. Hanya sesekali terdengar suara sendok yang bergesek dengan mangkuk. Walaupun ada sekitar sepuluh orang yang duduk di tempat itu, suara dari mulut sama sekali tak terdengar.

Sehun melangkah ke bagian pojok kiri untuk mengambil mangkuk serta sendok. Diambilnya secentong nasi dengan sayur-sayuran bermacam jenis yang tersedia disana. Di lain pihak, Joohyun juga mengikuti hal yang sama dengan pria di depannya.

Bangunan kecil di timur itu adalah bangunan tempat makan. Makanan yang disediakan disana sepenuhnya gratis. Mangkuk, sendok bahkan gelas pun semuanya tercipta dari kayu agar tidak mengeluarkan suara yang keras layaknya makan di piring kaca atau sendok stainless. Semua makanan berbau tumbuhan, tidak ada satupun makanan yang terbut dari daging hewan. Namun, rasanya tak kalah enak dengan perut babi yang biasanya banyak dimakan kebanyakan orang.

Sehun mengambil meja dan duduk secara bersila. Tak ada satupun kursi disana. Joohyun mengambil tempat di sebelahnya. Mereka makan dengan tenang, lagi nyaman. Makan sambil berbicara memang bukan budaya orang di kuil.

Sehun mengambil satu sendok sawi putih yang bercampur dengan nasi. Disantapnya makanan itu. Ia mengambil suapan-suapan lagi agar lambungnya terisi.

Wanita itu sekarang menegak air putih. Gochujang yang bercampur dengan nasi membuat kerongkongannya serat. Joohyun juga mengambil suap untuk memasukkan kecambah yang telah dibumbui dengan minyak zaitun, lada, serta garam.

.

Usai mengenyangkan perut, keduanya kini mulai keluar dari paviliun kuil. Joohyun yang sudah tau track yang melelahkan sebelumnya, tak memakai wedges. Kakinya terasa panas setengah mati. Maklum, matahari bersinar terik di siang hari.

"Kata Pelajar Kim kau mengunjungi makam orang tuamu. Apa itu sudah kau lakukan?" Tanya Joohyun, memulai percakapan. Tak biasanya ia berbicara dulu seperti ini. Selalu lelaki itu yang memulai duluan.

"Ohh. Sudah. Saat hari kedua disini."

"Hmm. Mengapa keluarga kalian suka ke kuil ini? Letaknya jauh. Kan bisa ke tempat sembahyang biasa."

"Udaranya segar. Pemandangannya asri, dan tempat ini aku sekeluarga berkumpul terakhir kali."

Joohyun  melipat bibirnya. Sepertinya ia salah omong membahas percakapaan ini.

"Jangan khawatir. Aku sudah tidak sedih lagi." Sehun menjawab dengan senyum di bibir.

Angin sepoi-sepoi berterbangan di udara. Banyak daun-daun yang bergerak. Mata lelaki tersebut tiba-tiba ke arah bawah untuk mengambil dedaunan yang jatuh. Ketika ia hendak mengambil daun itu, ia tak sengaja melirik ke arah kaki Joohyun.

"Profesor berjalan tanpa alas kaki?"

"Eung—"
Wanita itu meringis canggunh. Sementara itu, Sehun kini mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

"Ckckck. Pakai."

"Mengapa aku sering memakai pakaianmu? Jaket, kaus tangan, sampai sandal."

Joohyun memakai sandal itu, sambil sesekali menyungging melihat sandal yang bermotif Doraemon di tengah-tengahnya.

29+ | hunreneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang