XII

18 4 3
                                    

"Padahal kan perjalanan kita masih jauh." Valerie jatuh terduduk. "Masa kita harus jalan kaki selama empat jam?" Allistor duduk di sampingnya. "Tadi aku sudah tanya-tanya. Tetapi tidak ada yang melihat pencurinya." Ares menambahi. "Stok kuda di sini juga habis. Sudah pada dipesan. Soalnya hari ini libur musim panas."

"Tapi, barang-barang kita?" tanya Allard. Allistor menggeleng.

"Sial."

"Tapi," Ares memegang cerutunya, "kami sudah membeli persedian yang cukup untuk lima hari ke depan. Jadi . . ."

"Syukurlah!" Nick melesat dan memeluk Ares. "Oy. Lepas, lepas. Jangan seperti anak kecil." Ares menepuk-nepuk kepala Nick dan cowok itu melepaskan pelukannya.

"Untuk transportasi katanya 300 meter dari sini ada desa lagi. Mungkin di sana kita bisa mendapatkan transportasi." Kata Allistor mantap.

"Kalau begitu baguslah. Nanti kita berangkat jam berapa?" tanya Valerie. "Dan kalau begitu kita jalan kaki?" tambah Tori. Allistor mengangkat bahunya. "Yeah. kita jalan kaki." Allard berjengit. "Tapi kasian kakiku yang indah ini, Listor." Allistor cemberut dan berkata dengan ogah-ogahan. "Yah, kalau kau ingin meluangkan waktumu dengan sapi-sapi itu, ya silakan saja."

"Listor, kenapa kau jahat sekali kepadaku?"

Semuanya pun tertawa melihat tingkah laku mereka berdua.

Pukul sebelas siang. Matahari kala itu bersinar cerah. Dan udaranya panas. Valerie dan krunya mulai melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Jujur saja, Valerie pun merasa capek. Allistor dan Ares akhirnya merubah rute mereka, mereka akhirnya berjalan lewat hutan.

"Uwaah, panas sekali." Allard melepas jasnya dan menyampirkannya di pundak. "Yeah, suhu di Hearts memang agak lebih panas dibandingkan Spades. Jadi, terbisalah dengan itu." kata Nick sambil mengipas-ipasi wajahnya menggunakan daun besar. "Apa kita masih punya minum?" Tanya Allard. Valerie mengambil botol air dari dalam kantong milik Allistor. "Ini." Langsung saja, Allard menyambarnya dan meneguknya. "Oy jangan serakah dong." Tori memukul punggung Allard, menyebabkan pemuda itu tersedak. "Tentu. Tentu. Ini. Makasih."

Entah, mungkin hanya perasaan Valerie saja, namun hutan yang mereka lewati semakin gelap saja. Valerie berlari kecil untuk menjajari Ares. "Um . . . apa hutan ini memang begini?" Ares menoleh dan mengernyit. "Seharusnya tidak begini."

"Semua berhenti!" teriak Allistor tiba-tiba. "Ada apa, Al?" Allard mengenakan jasnya kembali. "Aku merasa ada yang tidak beres." Ucap Allistor waspada. Tori dan Nick saling memunggungi. "Seharusnya hutan ini tidak begini. Hutan ini selalu cerah."

"Itu benar." Tambah Nick. "Apa mungkin ini yang dimaksud dengan bayangan mengikuti kita?" Angin berhembus kencang. Tiba-tiba saja langit menjadi mendung. "Ini tidak beres." Gumam Valerie. Di kejauhan Valerie mendengar ada sebuah tepuk tangan yang dilakukan perlahan. Semakin lama semakian dekat. Para cowok segera beringsut mengelilingi Tori dan Valerie.

"Sungguh menyenangkan." Suara dalam seorang pria mengikuti suara tepuk tangan itu. "Akhirnya aku bisa balas dendam kepada kalian." Valerie tersadar bahwa ia pernah mendengar suara itu sebelumnya. Dan ia ingat persis. "Listor."

"Aku tahu." Imbuh sang Jack Spade.

"Dia berhasil kabur lagi rupanya." "Cih, aku benci dia." Timpal Allard.

"Halo lagi kawan-kawan." Seorang pria besar dengan wajah penuh luka muncul dari balik pepohonan. "Bersiaplah untuk mati."

-O-

Valerie sudah terbiasa dengan ancaman mati. Pria besar jelek bertampang mirip gargoyle itu kembali bersama krunya yang bodoh. Kali ini lawan mereka dua kali lipat lebih banyak. Ares mendesah dan menyikut Allistor.

"Lawan kita ini terlalu banyak." Bisiknya. Allistor mengangguk dengan muram. Selebihnya para cowok kemudian berbisik-bisik, tidak peduli dengan apa yang dikatakan pria gargoyle yang sedang ceramah mengenai betapa menyakitkannya kami akan mati. Tori berbisik di telinga Valerie. "Cowok-cowok itu, sedang merencanakan apa sih?"

"Mana kutahu."

"Psst, Vale." Kali ini Nick memberi isyarat kepadanya. Cowok itu menegakkan jari telunjuk dan tengahnya dan memperagakannnya seperti orang berlari. Valerie berjengit dan tertawa masam di dalam hati. Giliran Valerie berbisik kepada Tori. "Kita bakal kabur. Nanti ada isyaratnya."

"Kita kabur? Payah benar."

"Setuju."

"Psst, Tori." Allard berbisik. Tori merengut. "Katanya nanti kita harus pakai sihir untuk mengelabui mereka."

Valerie terkekeh. "Baik. Baik. Mari kita lakukan."

"Nah apa kalian paham?" Tanya pria gargoyle. Allistor menyeringai sangar dan tertawa sinis. "Semua omongan kalian itu nggak penting sama sekali." Ares menambahi dengan bosan. "Aku bahkan nggak mendengarkannya sepatah kata pun."

"Kau jelek sekali."

"Sinting benar dia."

Allard dan Nick menambahinya dengan senang hati. Tampaknya sang pria gargoyle naik pitam. Kehening yang canggung marambati. Kemudian, tiba-tiba saja, Nick dan Allard bersin. Memecah kehening. Setelah itu, mereka berdua mengedipkan matanya kepada Tori dan Valerie. Sebuah guntur fantasi lagi-lagi muncul di dalam kepala Valerie dan Tori. Isyarat macam itu?! Nick dan Allard akan bersin lagi, ketika Tori dan Valerie mengeluarkan tongkat mereka.

"Tangkap kedua penyihir itu!" raung si pria gargoyle. Oke, si pria gargoyle tidak bodoh-bodoh amat. Langsung saja, Valerie dan Tori berteriak, "Accendo!" "Lucidus!" mereka bertukar pandang sebelum sinar putih yang panas dan membutakan serta merta muncul dari masing-masing tongkat. Valerie ditarik Allard dan Allistor, sementara Tori ditarik Ares dan Nick. Semua bandit kelas kakap itu semua mengerang dan menjerit. Dan yang terakhir mereka dengar adalah raungan si pria gargoyle yang marah.

Tidak jauh dari tempat kejadian, seorang pemuda menggunakan pakaian berburu berbicara pelan dengan sebuah cermin kecil di tangannya. "Mereka semua sudah berhasil kabur. Tinggal tunggu mereka memasuki portal."

"Bagus kalau begitu. Intai mereka terus. Semuanya akan menjadi lebih menarik nantinya." Jawab suara dari dalam cermin.

"Tentu saja." Jawab pemuda itu sambil mengelus kuda putih dengan pelana berlambang spade. "Aku tetap akan mengintai mereka. Persoalan mengenai kuda-kuda ini bagaimana?"

"Biar kami yang urus. Kau terus saja ikuti mereka, paham?"

"Paham."

The Cards Chronicles-The Lost SwordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang