XXII

14 4 4
                                    

"Valerie!" Allard dan Austin berlari menuju gubuk mereka. "Kapal sudah siap. Mungkin kau, kalian bisa mengubahnya sedikit."

"Maksudmu mengubahnya sedikit?"

"Baiklah, akan kulakukan." Valerie berdiri di depan kapal mereka. "Commutatus navis!" Kapal itu berubah menjadi kapal bajak laut Spades tua, tapi masih tetap keren. Allard bertepuk tangan kesenangan, "Bagus sekali." Azura tampak bingung, "Di mana Denolin?"

"Mereka pergi cari senjata," ucap Austin blak-blakan. Nochtis yang daritadi diam mengernyitkan dahinya. "Bukankah itu Nick?" tidak jauh dari tempat mereka sebuah benteng abu-abu tua menjulang. Di atas temboknya Nick berteriak dan melambaikan tangannya.

Allard menggaruk belakang kepalanya, "Bagaimana kalau kita naik kapal dan menghampiri mereka?" Azura mengangguk, "Ada dermaga khusus di pinggir sana, akan memudahkan mereka untuk memasukkan senjatanya lewat situ."

"Ahoy, kawan-kawan, karena kapten kalian belum datang, saya, Allard Creighton, akan menggantikannya." Dengan percaya diri, dia memutar roda kemudi dan membawa mereka menuju pelabuhan benteng tua itu.

"Angin di sini cukup kencang eh?" ujar Allard sambil membantu menaikkan pedang dan perisai. "Biasanya tidak begitu. Tapi semenjak musim panas ini memang agak berangin," Denolin memeriksa kembali barang-barang. "Yap, sudah semuanya."

Valerie memicingkan matanya, "Ke mana Jack-Jack itu. waktu kita mepet sekali." Dari kejauhan, keempat Jack dengan penampilan aneh berlari menuju arah mereka. "Langsung naik saja, ayo!" teriak Ares. Tanpa perintah, mereka segera mengikuti. "Apa yang terjadi?" tanya Valerie. Allistor melepas mantelnya dan memberikannya kepadanya, "Penggerebekan, penyelundupan senjata, Blackjack bangkit, banyak sekali informasi yang berguna. Allard! Ambil alih kemudi!" "Aye kapten!"

"Vale, lebih baik kamu istirahat, hari besarmu besok, kau butuh banyak tenaga." Allistor menepuk pundaknya dan mengantarnya turun ke kamarnya. "Kau tahu? Aku akhir-akhir ini banyak bermimpi tentang seorang pria menggunakan penutup mata mirip bajak laut." Allistor mengangguk mendengarkan. "Dia bernama . . . Marco? Perwira Blackjack. Dia sekuat kau, mungkin lebih."

Lampu minyak menerangi lorong kamar. Debur ombak menghantam lambung kapal, membuatnya sedikit goyah. "Yeah, dan aku harus melawannya, memperlambat mereka. Valerie Cathwright, kau tidak perlu khawatir, kamu pasti bisa. Toh itu pedangmukan?" Valerie tersenyum. "Makasih, dan ini," ia mengambil kartu yang ditemukannya di Devon. "Aku menemukan ini." Allistor mengambil kartu itu dengan antusias dan memasukkannya ke sakunya. "Baiklah. Beristirahatlah, masih ada kapal yang perlu dikemudikan." Mereka berdua terkekeh, Allistor kembali ke geladak sementara Valerie memasuki kamarnya yang sederhana.

Terdapat sebuah kasur dengan seprei putih berbordir Spade, meja kecil dengan gelas berisi air di atasnya, sepasang lampu minyak di dinding dengan cahaya oranye menenangkan. Sebuah lemari kayu bergagang emas berdiri di pojok kamar beserta meja rias. Valerie duduk dan melihat dirinya sendiri di cermin. Wanita berumur 16 tahun berambut pirang dengan mata abu-abu menatap balik dirinya.

Seandainya dia tidak menjadi Ace, dia pasti akan duduk-duduk di rumah, bermain dengan teman-temannya di Avion atau bercengkerama dengan orang tuanya sambil minum teh di kedai teh milik Bibi Allistor. Dia akan jarang bertemu dengan Allard dan Allistor yang pasti dekat dengan Ace yang baru, dia tidak akan bisa merasakan sensasi Pesta Dansa Pertama, dan tidak akan pernah bertemu Tori dan lainnya.

Air mata Valerie jatuh membasahi pipinya. Ia terisak. Kejadian beberapa hari ini seperti sebuah tembakan beruntun untuknya. Ia tidak bisa berpikir jernih. Semua terjadi begitu cepat membuatnya capek sekali. Valerie beranjak dan mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur yang sudah ada di lemari. Valerie bahkan sudah tidak nyaman menggunakan pakaiannya sendiri. Ia meminum air di gelas, merebahkan dirinya dan segera tidur.


Valerie terbangun dengan suara ketukan pintu. "Vale?"

"Tori? Buka saja!" Tori masuk dengan pakaian tidur warna putih, celana pendek dengan kaos putih pendek, khas sekali dirinya. "Wah ternyata ada yang tidak nyaman juga menggunakan pakaian kerjanya." Tori duduk di pinggir ranjang dan merebahkan dirinya. Sementara Valerie mengulet, "Jam berapa?"

"Jam 7 pagi. Sarapan ada di geladak. Apa kau berpikir kalau kau ingin mengakhiri misi panjang dan bodoh ini dengan pakaian putih cantik ini dari Joker? Nyaman sekali untuk menendang monster sekalipun." Mereka tertawa renyah. "Aku pun berpikir begitu. Yah semakin cepat misi ini selesai semakin cepat kita pulang."

Kali ini Ares yang mengemudi. Tidak terasa mereka sudah melewati beberapa bagian Hearts. Valerie memakan makanannnya dengan tenang. Ia mencoba mengingat beberapa mantra yang berguna nanti dan juga petuah kedua Joker. Nochtis terlihat sedikit pucat. Valerie khawatir, bocah itu masih berumur 12 tahun. Pagi itu cerah sekali. Para Jack dan Wakilnya berbincang-bincang serius sementara para Ace di ujung kapal menghabiskan sarapan dan mencoba menenangkan satu sama lain.

"Kalian semua dengar," ujar Valerie. "Apa pun yang terjadi kita mencoba sekuat tenaga, ingat apa kata Joker kemarin. Alihkan perhatian mereka."

"Tapi, Hellia itu ada tiga, sementara kita berempat," balas Azura. Tori mengangguk, "Salah satu dari kita harus berdua."

"Biar aku bersama Nochtis," Valerie merangkul pundak bocah itu. Yang lain mengangguk. Allistor sudah menggunakan jas Jacknya, Ares mengasah pedangnya bersama Ashley, Bevario mengecek pistolnya. Mereka berempat berjalan menuju para Ace.

"Jadi kita punya rencana. Nanti paling belakang para Wakil kami berjaga. Kami akan mengantar kalian sampai perbatasan hutan dengan pegunungan. Di sana kalian akan berjuang sendiri, oke?" jelas Allistor panjang lebar. Semua mengangguk. Sekarang semua tinggal menunggu. Semakin mereka ke utara, kabut semakin turun. Ombak menjadi sedikit liar. Allard menyipitkan mata.

"Daratan! Apakah itu-"

"Ya, itu dia, Pulau Caligo," Ares berdiri di ujung geladak. "Allard putar kapal ke bagian yang paling berkabut di sana, di balik tebing. Nick, Denolin! Turunkan jangkar!"

Mereka menurunkan kapal kecil dan para Wakil mendayung menuju pantai. Jantung Valerie berdegup kencang. Walau pun ini kedua kalinya ia melawan monster magis, yang satu ini berada beberapa level di atas yang pertama. Nochtis menggenggam tangan gadis itu tanpa bicara. Ketika mereka semua sudah turun dari kapal, mereka di sambut hutan berkabut nan gelap. Austin dan Allard segera menyalakan lentera dan menyiagakan senjata mereka. Semua Jack di depan memegang lentera.

"Semua siap?" Bevario memastikan untuk terakhir kalinya. Mereka mengangguk dan mulai memasuki hutan.


Hutan itu lebih mengerikan dibanding yang ia kira. Valerie segera menyiagakan tongkat Acenya. Sesekali ada makhluk menyerang di depan dan belakang. Sejauh ini mereka masih baik-baik saja. Ketika mereka sudah sampai tengah hutan, Ares menuyuruh para wakil berjaga. Mereka kembali berjalan memasuki hutan.

"Hei, Nochtis, kenapa akhir-akhir kau murung?" tanya Valerie. Nochtis mendongak. "Apa . . . apa aku akan berhasil melakukannya, Vale? Aku entahlah kenapa Joker membuat mereka memilihku, aku bahkan tidak mendaftar. Keluargaku menjadi semakin renggang, tinggal aku dan kakakku tapi-"

"Hei, tenanglah. Kau hanya gugup. Kalau kamu percaya kamu bisa, pasti bisa. Joker membuat mereka memilihmu karena mungkin mereka melihat sebuah potensi dalam dirimu, Nochtis. Mereka . . . tahu apa yang mereka lakukan."

Nochtis tersenyum sebelum Valerie menabrak punggung Allistor. "Ini dia. Pembatasnya," ujar laki-laki itu. Valerie bisa melihatnya, lapisan tipis berdenyar mulai dari gerbang yang terdiri dari dua buah pohon besar dengan ukiran dua topeng sedih dan senang di batangnya. Para Jack beringsut ke belakang Ace.

"Semoga beruntung kalian semua." Bevario memeluk adiknya, Ashley mencoba memotivasi Azura, Ares menepuk pundak Tori memberi semangat, Allistor memeluknya dan memegang pundaknya. "Jaga nyawamu baik-baik untukku, oke? Mulai dari sini ikuti insting Ace mu, coba ingat-ingat mimpimu di istana. Hati-hati, kamu juga harus melindungi Nochtis." Mendengar petuah suci Allistor membuatnya tenang, sedikit. "Tentu, aku akan berusaha. Kau juga harus hati-hati. Kita nggak tahu sekarang Blackjack sekuat apa." Allistor mengangguk. "Siap, tuan putri."

Sementara para Jack mulai berpencar, mereka berempat berdiri di depan gerbang pohon dengan tongkat disiagakan. Batu mulia dari setiap tongkat berpendar terang di kegelapan.

Valerie menghadap ketiga Ace dan berkata, "Siap?" yang lain mengangguk. Mereka pun berjalan menuju hutan.

The Cards Chronicles-The Lost SwordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang