[24] A Lesson

636 44 5
                                    

Sandra terbangun ketika suara bising samar-samar terdengar dari luar pintu kamar. Matanya yang masih belum sepenuhnya terbuka mencoba meneliti pada angka berapakah jarum panjang jam itu mengarah.

Dan sialnya, jam masih menunjukkan pukul 6 pagi. Jam dimana seharusnya Sandra masih dapat merajut mimpi indah karena hari imi adalah hari minggu yang memang semestinya dapat digunakan untuk bersantai.

Sandra menyibakkan selimutnya dan berjalan sempoyongan ke arah pintu. Semakin dekat Sandra dapat mendengar dengan jelas suara Kania yang sedang berbincang entah dengan siapa.

"Iya, ini gue lagi usaha."

"...."

"Sabar kali, emang lo pikir mudah. Dia itu kebo susah banguninnya."

Sandra membuka pintu kamarnya dan Kania yang sedang menelpon langsung terpaku. Namun, tak mau Sandra mencurigai dirinya, Kania berusaha tersenyum menunjukan giginya yang berbaris rapih.

"Eh, Sandra udah bangun."

Mata Sandra mengikuti gerak-gerik Kania dan terhenti di layar handphone yang menampilkan mode telpon.

Melihat Sandra yang sedang meneliti handphone-nya, Kania memasukkan handphone yang dia genggam ke dalam saku celana.

"Jalan-jalan keliling komplek, yuk. Kayaknya udara pagi ini sejuk, enak buat dibawa jalan santai."

Tak yakin akan ajakan Kania, Sandra pun hanya diam sambil memandang lekat-lekat kedua mata Kania.

"Udah cepet, nanti kesiangan." Tanpa aba-aba Kania menarik tangan Sandra dengan paksa dan tak memperdulikan penampilan Sandra yang masih menggunakan celana selutut dan baju kaos bergambar pisang.

Saat sampai di ambang pintu rumah, Sandra menghentakkan cengkraman tangan Kania.

"Lo mau ngajak gue jalan apa ngemis? Masa lo biarin gue gak pake sendal trus baju gue kayak gini," seru Sandra dengan kesal sambil meneliti penampilannya.

Kania menepuk dahinya sendiri karena lupa akan Sandra yang belum menggunakan sendal.

"Yaudah cepetan ambil, gue tunggu disini. Gak usah ganti baju, kelamaan."

Sandra akhirnya berjalan kembali ke kamarnya. Sementara itu, Kania terus memandangi jam di tangannya dan ntah karena gerangan apa Kania menjadi gelisah.

Kania berdecak kesal karena Sandra tak kunjung datang, padahal hanya lah mengambil sendal yang dalam sekejap mata dapat langsung di pakai.

"Woy, Sandra cepetan!!" teriak Kania tanpa perduli bahwa suaranya sangatlah menggelegar sampai membuat dunia menjadi badai yang mungkin akan membangunkan para tetangga yang masih terlelap.

"Ngajak duel emang orang ini," kata Sandra yang baru saja datang dan langsung berlalu melewati Kania.

"Kalo bukan karena dia, ogah gue kayak gini," batin Kania.

■■■

Sandra dan Kania berhenti di sebuah taman yang terletak di depan komplek rumah mereka. Kania berkata bahwa mereka sudah berjalan begitu jauh sehingga perlu beristirahat sejenak.

Namun, anehnya Kania malah menghilang begitu saja ketika Sandra sedang mencari tempat duduk.

"Yaudahlah ya, mau dia ilang kek, diculik kek. Bodo amat." Sandra duduk di sebuah bangku yang menghadap ke arah taman bermain tanpa menghiraukan Kania yang pergi ntah kemana.

Di hadapannya kini, banyak sekali anak-anak yang sedang tertawa ria bermain sebuah wahana. Lengkingan tawa bahagia menyeruak ke dalam telinga membuat Sandra ikut melukiskan senyum.

Di sekitarnya ada pula orang tua yang dengan setia memperhatikan buah hatinya. Tersenyum bahagia atau sesekali berteriak kepada anaknya untuk berhati-hati.

Senyum di bibir Sandra terus terukir namun, pikirannya melayang-layang ntah kemana. Pikiranya terus teringat masa kecilnya yang mungkin sama menyenangkan seperti anak-anak di depannya kini.

Namun, memori indah itu seakan tertutup oleh kenyataan pahit yang melanda. Seketika semua berubah ketika dulu Bunda pergi dan Ayah yang ikut pergi bersama perempuan lain.

Setetes air mata terjatuh dari pelupuk mata sayu Sandra. Saat tangisan Sandra tak dapat dibendung lagi, seorang anak kecil berumur sekitar 6 tahun berlari menghampiri Sandra dan tubuhnya mungilnya berusaha naik ke bangku.

"Kakak kenapa nangis?" Suara kecil nan imut terlontar dari mulut anak kecil itu, "karena kakak sendirian disini?"

Sandra tak berkata sepatah katapun. Dia hanya menatap anak itu dengan tatapan sendu.

"Aku sama temen-temen aku juga sendiri, kak. Tapi kita tetep seneng, karena disini kita dapet temen baru," katanya dengan senyum, "Ada Bunda Aisyah yang baik banget ngerawat kita. Ada Pak Andi yang selalu bawa kita jalan-jalan. Pokoknya masih banyak lagi deh."

Sandra menghapus sisa-sisa air mata di pipinya dengan punggung tangan, "Memang rumah kamu dimana?" tanya Sandra kepada anak itu.

"Itu." Tangan mungil itu bergerak menunjuk sebuah rumah sederhana dengan sebuah palang di depannya.

Panti Asuhan Kasih Ibu.

"Kakak jangan sedih, banyak banget orang di luar sana yang sayang sama kakak."

Sandra yang masih terpaku tidak bisa berkata apa-apa.

"Yaudah aku pulang dulu ya, dadah." Anak kecil itu turun dari bangku dan pergi menghampiri teman-temannya.

Sebuah pelajaran kembali Sandra dapatkan. Pelajaran hidup yang akan Sandra jadikan sebuah tumpuan untuk melalui hidupnya yang penuh rintangan.

■■■

kita semua berbeda dalam setiap hal
dan sama dalam banyak hal,
itulah yang membuat kita istimewa.
- Larry Kramer-

VeranderingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang