[14] It's Hurts

1K 77 9
                                    

"Jangan diem mulu dong, San." Rey yang sedang menyetir mobil melirik sekilas ke arah Sandra yang sedang melihat ke luar jendela.

Tidak ada jawaban dari Sandra. Sandra masih bungkam tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Walaupun sebenarnya Sandra sangat bosan dengan suasana seperti ini. Namun, rasa gengsinya yang cukup tinggi memaksa agar Sandra tetap diam.

"Tadi motor lo udah gua titipin sama satpam sekolah. Nanti gue minta tolong temen gue biar dia nganterin ke rumah lo." Rey melirik lagi, dan hasilnya tetap nihil. Sandra masih tetap bergeming.

Rey menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Dari dulu Sandra selalu begini, tak pernah berubah. Selalu memiliki gengsi di atas rata-rata. Tapi kita lihat saja, seberapa lama Sandra dapat bertahan di keadaan membosakan yang dia ciptakan sendiri.

"Njir bosen gue." Sandra berbicara dengan suara yang menurutnya sudah teramat sangat kecil. Tetapi telinga Rey cukup tajam untuk mendengar apa yang sudah Sandra bicarakan. Refleks Rey melukis senyum tipis di bibirnya.

"Lo masih menjadi Sandra yang dulu. Orang tergengsi yang pernah gue kenal, gengsi yang bikin lo masuk ke sumur yang lo buat sendiri." Sandra mengubah posisi duduknya menjadi mengahadap Rey yang masih fokus dengan jalanan.

"Dan lo juga, selalu bikin gue menciptakan sebuah keadaan yang gue sendiri kagak suka."

■■■

Setelah sampai di depan rumah, Sandra langsung turun dari mobil diikuti oleh Rey. Mereka berjalan bersisian menuju pintu rumah yang berdominan berwarna putih itu. Bisa terbilang cukup besar untuk keluarga kecil yang hanya beranggotakan ayah, ibu dan kedua anaknya.

Sebenarnya, tujuan Rey ikut masuk ke dalam rumah Sandra hanya ingin singgah sebentar untuk sekedar menyapa mama dan papa Sandra yang dia ketahui bahwa mereka adalah orang tua dari Kania juga. Tak ada niatan untuk menambah masalah Sandra, hanya ingin memastikan bahwa hubungan antara Kania dan Sandra baik-baik saja.

Tok...tok...tok...

Sandra mengetuk pintu rumah dan beberapa saat kemudian pintu tersebut terbuka yang menampakkan seorang wanita dengan perawakan sedang serta berambut hitam legam yang dibiarkan tergerai.

Wanita tersebut tersenyum sekilas ke arah Sandra yang dibalas dengan putaran mata jengah dari Sandra. Lalu, ia langsung mengalihkan pandangannya ke arah Rey dan tersenyum jauh lebih tulus dari pada saat tersenyum dengan sandra.

"Eh, kamu apa kabar? Kamu Rey pacarnya Kania kan?" Wanita tersebut menatap lekat-lekat Rey dari pangkal rambut hingga ujung sepatu.

"Baik kok. Kalo Tante gimana, baik juga kan?" Rey tersenyum kikuk sambil melirik sekilas ke arah Sandra yang memasang wajah tanpa ekspresi.

"Tapi saya sama Kania cuma temen biasa aja kok, tan," jawab Rey tentang pertanyaan yang Tante Dinda lontarkan tadi.

"Kania-nya kemana? Kok kamu malah sama Sandra." Dinda-Mama Sandra mengarahkan pandangannya ke arah belakang Rey seperti mencari keberadaan Kania.

"Memang kenapa sih kalo Rey bareng sama Sandra? Masalah buat Anda?" Sandra bertanya dengan nada sinis. Sandra memang begini bila sudah berhadapan dengan Dinda, tak ada kelembutan sama sekali. Bahkan untuk bertatap muka dengan Dinda saja sudah cukup memuakkan bagi Sandra.

"Oh, tidak masalah. Tapi bagi Kania, ini masalah."

"Cih, tapi Anda sendiri menjadi biang masalah di kehidupan orang lain." Sandra melipat kedua tangannya di depan dada. Tak ada rasa takut, tak ada rasa hormat. Semua sudah tertutup oleh sakit hati yang dia rasakan.

Tangan Dinda terangkat ke udara dan siap diayunkan ke arah pipi mulus Sandra. Namun, satu senti lagi tangan itu mendarat di pipi Sandra, ada sebuah tangan gagah yang menahan tangan Dinda.

"Apa yang kamu perbuat, Sandra?" ucap lelaki yang menahan tangan Dinda dengan suara berat. Lelaki itu merangkul bahu Dinda dan membawanya mundur selangkah.

Sandra tersenyum pilu. Luka di hatinya yang belum sepenuhnya mengering, kembali tersobek menimbulkan cucuran luka yang amat perih bagai diiris sembilu.

"Bahkan saat dia mau nampar aku, papa masih bela dia? Dia ngelakuin apa sih sampai papa selalu menganggap dia benar." Mata Sandra mulai berkaca-kaca saat papa-nya tetap membela Dinda yang jelas-jelas ingin menampar anaknya.

"Kenapa sih papa selalu bela dia? Padahal jelas-jelas dia yang salah. Dan harusnya dia yang pergi, bukan Bunda!" Suara Sandra naik satu oktaf. Emosiya meluap, air mata yang sedari tadi dia tahan sudah tidak bisa lagi terbendung.

Bertahun-tahun lamanya dan semuanya tidak pernah membaik malah makin memburuk. Sudah hampir tiga tahun semenjak kejadian itu, namun luka di hatinya belum juga mengering. Dan selama itu pula, wanita di depan Sandra ini menjadi salah satu orang yang mendapat predikat manusia yang paling di bencinya.

Sandra menghela nafas berat. Dengan air mata yang masih mengalir Sandra kembali berkata, "Sandra tanya sekali lagi, apa yang bikin dia lebih spesial daripada Bunda? Dia itu cuma orang yang datang ketika Bunda pergi. Gak berperikemanusiaan banget dia! Dateng seenaknya dan ngambil Papa dengan sesuka hati. Mikir dong!"

"Cukup Sandra!!" bentakan keras keluar cuma-cuma dari mulut Bima-Papa Sandra.

Deg

Sakit rasanya, ketika lelaki yang dulunya selalu menjadi hero bagi keluarganya kini berubah menjadi lelaki yang membela wanita tak punya hati.

"Ini Mama kamu. Cobalah berperilaku sopan. Mau sampai kapan kamu terperangkap dalam masa lalu?"

"Lebih baik terperangkap dalam masa lalu yang indah daripada terjebak dalam perangkap nenek sihir seperti dia!" Sandra menunjuk wajah Dinda menggunakan jari telunjuknya.

Rey yang melihatnya terlonjak kaget, sedalam apakah luka yang ada di dalam hati Sandra sampai-sampai ia berlaku seperti ini.

"Kalau begitu pergilah kamu ke tempat Bundamu. Mengadulah sepuasmu tentang apa yang saya perbuat sampai kamu semarah ini. Seburuk apakah Mama di matamu, Sandra?" Dinda yang sedari tadi membungkam akhirnya meluncurkan suaranya.

Rahang Sandra mengeras. Hatinya mulai terbakar oleh kobaran api.

"Tanpa Anda suruh, saya juga akan pergi. Dan kalo Anda tanya salah Anda apa, salah Anda banyak, gak bisa dihitung seberapa banyak, terutama sama Bunda! Kita lihat saja nanti, kamu akan merasakan sakit yang Bunda rasakan."

Sandra mengalihkan pandangannya kearah Bima.

"Buat Papa, Sandra cuma mau bilang, semoga kutukan nenek sihir ini bisa cepet-cepet hilang dari diri Papa."

Sandra berbalik dan berlari keluar gerbang dengan air mata yang makin menderas.

■■■

It's hurts when the person
that made you feel so special yesterday,
makes you feel so unwanted today.

VeranderingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang