Hari sabtu biasanya Galuh akan dirumah. Menemani budenya masak atau belajar membuat kue tapi hari ini lain. Ia pergi bersama Sumi, bukan ngemall kayak biasanya tapi melaksanakan misi kusus. Mencari rumah gadis yang bernama suci."Ngopo malah numpah angkot sum (kenapa malah naik angkot sum? )". Sumpek, sesak, enakan naik taksi online eh malah mereka naik angkot.
"Ngirit luh, ben kowe ngrasake dadi wong biasa. Hurung tahu kan kowe numpak angkot (hemat luh, biar kamu merasakan jadi orang biasa, belum pernah kan kamu naik angkot)." Memang sih Galuh sudah beberapa kali naik angkot tapi yang keadaannya bisa di katakan padat ya baru ini. "Numpak angkot bareng bakul jangan (naik angkot sama pedagang sayur )."
Galuh melihat sekitarnya banyak ibu- ibu pedagang membawa bakul dan selendang, tapi untung Bakulnya rata-rata sudah kosong.
"Sum, awakdewe tekane kapan tow iki (sum, kita sampainya kapan? )". Duduk dengan kaki ditekuk itu pegel luar biasa apalagi harus dempet dempetan. Sumi sengaja nyiksa nih.
"Kosek (tunggu)". Tak berapa lama Sumi menepuk bahu si abang supir angkot.
"Depan sana deket tukang sate turun ya bang".
"Baik neng".
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
Galuh berjalan menyusuri sebuah perkampungan dekat sebuah apartemen di Jakarta. Pemandangan di depannya, gedung- gedung yang indah dan menjulang tinggi. Berbeda dengan tempat yang dipijak Galuh saat ini. Tempat ini begitu kumuh, rumah yang letaknya berdempetan nyaris tanpa celah.
"Sum, piye carane mepe klambi nang kene? (Sum, bagaimana cara menjemur pakaian disini? )". Bangunan di sini nyaris tanpa celah, dan jalanan lebarnya 1, 5meter yang hanya mampu dilalui motor. Mata Galuh menangkap pemandangan yang tak pantas, jemuran yang sedang membentang sepanjang jalan yang ia lalui.
"Takoko dewe mbi wonge, pumpung Hurung lungo (tanya sendiri sama orangnya, sebelum orangnya pergi)". Tunjuk Sumi pada seorang ibu paruh baya yang memeras jemuran.
"Sumi!!".
"Rak usah dipikir, Emang sih enek gon koyo ngene luh. Menurutmu mesti ngisin ngissini, kumuh, kotor tapi iki Jakarta. Uripmu nang jogja luwih turah turah tapi nek kowe ora merantau kowe rak bakal ngerti enek uwong uwong sing uripe ngenes koyo ngene (tidak usah di pikirin, emang sih ada orang kayak gini luh. Menurutmu mesti memalukan, kumuh, kotor tapi ini Jakarta. Hidupmu di Jogja lebih lebih tapi kalo kamu tak akan tahu ada orang orang yang hidupnya memprihatinkan seperti ini" ). "
Galuh meresapi ucapan Sumi, iya bahkan hidupnya lebih beruntung. Tapi Sumpah dia tak seperti gadis ningrat lainnya, ia tak pernah memandang rendah hidup orang lain hanya terkejut. Kadang attitude yang diajarkan leluhurnya tak bisa diterapkan di hidupnya sekarang. Semisal tak boleh menjemur pakaian dalam di depan rumah tapi kalau keadaan seperti ini, sesempit ini apa aturan itu tetap berlaku.
"Hey... Galuh omahe nomer piro? Ojo malah asik nonton katok kolor sing di pepe (hey,,, Galuh rumahnya nomer berapa? Jangan malah asik memandangi celana kolor yang sedang dijemur )".Galuh hanya tersenyum lalu memukul bahu Sumi.
"Ngawur... rumahnya nomer 59". Mereka mulai mengamati angka- angka yang tertulis di dinding-dinding depan rumah sampai mereka berhenti di rumah kecil bertingkat dua yang sudah dikeramik semua dindingnya, bertuliskan angka 59.
"Piye carane awakdewe mlebu sum, ora enek bel (bagaimana cara kita bisa masuk sum, tidak ada belnya)". Sumi memutar bolanya dengan malas, ini pikiran anak orang kaya. Dikira semua rumah ada belnya.
"Enek bel, kui penceten irungmu (ada bel, itu pencet saja hidungmu)". Galuh sebal apalagi kini Sumi mulai memencet hidung miliknya. Totet.... totet...
Sumi membuka engsel pagar yang tidak di kunci. Galuh berpikir kalau tindakan mereka jauh dari kata sopan tapi kata si Sumi gak apa-apa wong mereka bukan maling ataupun pengemis.
KAMU SEDANG MEMBACA
assistanku putri keraton
RomanceHidup Galuh nyaris sempurna, lulusan sarjana hukum dengan status cumlaude, keturunan ningrat dari keraton, dan anak kesayangan. Hanya satu saja kekurangannya, kebebasan. Keputusan romonya untuk menjodohkan Galuh membuat gadis itu harus mengubur impi...