Berulah lagi

92 24 1
                                    

Sudah 20 menit berlalu, namun tampaknya cwo berperawakan tinggi 175 cm itu tak juga berhenti bermain basket di lapangan. Peluh di sekujur tubuhnya hingga seragam yg di lepas menyisakan t-shirt berwana putih banjir dengan keringatnya.

Lagi-lagi Vande men-shoot bola ke arah ring hingga masuk ke sekian kalinya. Matanya menatap ring beberapa saat sebelum akhirnya mengeram. Vande mengejar bola yang memantul menjauhinya hingga ke tepi lapangan sebelah. Lapangan khusus praktek bola voli.

Di lapangan voli, Pak Kalim sedang menerangkan kepada para murid tentang tata cara bermain voli. Vande mengambil bola basket dengan santai, Vande berbalik badan untuk melanjutkan aksinya lagi. Tapi beberapa detik kemudian memutar tubuh lagi sambil memicingkan mata. Great, Virly di sana. Sedang mendengarkan Pak Kalim.

Vande lagi-lagi mengeram melihat Virly disana yang duduk bersebelahan dengan teman cwo.

"Murahan". Cicit Vande dan langsung berbalik badan menuju lapangan basket. Persetanan.

Vande mendrible bola basket dari ujung lapangan dan melompat ketika jarak dirinya dengan ring 2 meter dengan gaya melompat dan bola pun masuk dengan mulus. Vande berlari mengejar bola setelah masuk untuk kesekian kalinya.

"Balik ke kelas, Bu Atin cariin lu tuh". Finley muncul dari arah kanan. Vande menoleh setelah itu membuang muka. Mengambil bola yang berhenti di bawah tiang bendera.

"Vande".

"Bawel bangsat". Vande mengumpat.

Finley menggaruk tengkuk tidak gatal. "Marahan dia sih jadinya". Gumam Finley.

Finley melangkah mendekatkan Vande yang tengah di posisi three point. Melirik Vande yang tengah memicingkan mata untuk menimang-nimang kemungkinan masuk tidaknya bola kedalam ring saat dirinya men-shoot bola.

"Ayo Nde masuk. Kalau lu gak masuk nanti gua jadi perkedel sama Bu Atin".

Vande melompat untuk mencetak skor, dan masuk lagi. Menoleh kearah Finley dengan nafas terengah. "Bacot banget anjing".

Vande mengambil bola di bawah ring sambil merampas seragam kemejanya di tiang bawah ring dan menaruhnya di bahu kiri sambil mengusap rambut yang basah oleh keringat yang jatuh ke keningnya.

Vande menoleh sebentar kearah lapangan voli yang ramai oleh murid kelas XII Ips 2 yang sudah mulai belajar passing dalam materi bola voli. Vande berjalan kearah pinggir lapangan basket. Berhenti tepat di perbatasan antara lapangan basket dengan bola voli, melempar bola basket di lapangan Voli hingga mengenai targernya.

Dan, tepat kena kening Virly. Sontak membuat teman sekelasnya panik dan langsung menghampiri Virly yang sedang tergeletak di lapangan dengan mata terpejam.

"Vande sini kamu". Suara keras Pak Kamil saat Vande sudah berbalik menuju luar lapangan. Tak menggubris ucapan Pak Kamil, Vande berjalan santai menjauhi TKP.

"Ayo ke kelas". Ajak Vande dan langsung berjalan meninggalkan lapangan. Finley masih diam disana yang sedang mencerna kejadian tadi dengan teliti.

"Njir, temen gua udah naik level psikopat nya. Siaga benar-benar nih". Finley menggekeng kepala.

Finley menajamkan pandangannya saat melihat Virly yang sudah di gendong oleh Yoga dengan Franda dah Pak Akmil di samping Yoga. Yoga, sang ketua osis kebanggaan guru SMA Martajaya.

Finley menepuk jidat, teringat akan tujuannya ke lapangan. Finley berbalik badan dan mengejar Vande yang sudah jauh dari pandangannya.

***

Setelah 10 menit, Virly pun bangung dari pingsannya dengan dahi yang mengerut meringis sakit yang menyerangnya.

"Akhirnya sadar juga". Yoga langsung bangkit dari duduknya dan membantu Virly untuk bersandar di kepala ranjang.

Virly memijat keningnya membuat Yoga bergerak mengambil minyak angin di meja dan mengoleskannya di kedua kening Virly sebanyak dua kali.

"Makasih". Yoga mengangguk. Virly melirik ke sepenjuru UKS yang sepi hanya diriya dan Yoga disini.

"Franda kemana?".

"Lagi disuruh Pak Kamil panggil Vande".

Virly diam dengan tatapan bertanya kepada Yoga. "Vande yang mantulin bola basket ke elu".

Virly memejamkan mata dengan nafas yang berat. Pikirannya lagi-lagi terpental pada kejadian masa lalu. Tidak ada satu kejadian pun yang menyebabkan Vande seperti sekarang ini. Bagaimana mungkin Vande bisa sekejam ini padanya?

Lagi-lagi berulah kembali setelah hampir satu bulan yang lalu dirinya di buat begitu malu sebagai seorang wanita. Di bully, tapi ada yang mengganjal. Sehari setelah kejadian di belakang sekolah, semua para murid di sekolah seperti sedia kala. Seolah tak ada kejadian apapun yang terjadi. Bahkan sindiran-sindiran yang biasanya terdengar di telinganya kini tak bersuara lagi hingga detik ini.

Alhamdulillah Virly. Bukan malah heran, Virly membatin.

Virly menggeleng, jika terus-terusan berfikir yang tidak-tidak dirinya bisa menyebabkan dirinya membenci Vande. Dan itu tak ingin sekali Virly lakukan. Bersyukur karena teman di kelasnya semua baik kepadanya.

"Virly lu kenapa? Sakit lagi kepalanya?". Yoga menggunjang pelan bahu Virly.

Virly membuka mata, ah iya. Ada Yoga di hadapannya. Buat apa memikirkan Vande saat ini. Membuang semua tenaga di otaknya saja. Virly tersenyum dan menggeleng kepala.

"Gak papa kok". Virly tersenyum.

Virly mengambil minyak angin di genggaman Yoga dan mengoleskan kembali di keningnya. "Makasih ya Ga udah nemenin". Yoga mengangguk sambil mengelus puncak kepala Virly.

Ah, Yoga mulai lagi.

Vi N De | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang