***
***
Virly sampai di rumah dengan selamat, meskipun keadaan basah kuyup dan mata sembap. Untung saja kedua orang tuanya hari ini berada di luar kota, menjenguk tante termuda nya yang baru saja melahirkan, jadi tak ada siapapun yang menegurnya saat pulang dalam keadaan begitu menyedihkan.
Virly berjalan ke balkon kamarnya setelah selesai mandi, duduk di kursi santai sambil menatap tetesan hujan yang masih terus membasahi bumi.
Virly menghela nafas dengan mata terpejam, menikmati suara air hujan yang beradu dengan genting rumahnya. Menenangkan. Mencoba melarikan diri dari kejadian yang beberapa menit baru saja terjadi.
Masih memejamkan mata dengan ribuan jarum seolah menusuk dadanya, kilasan kejadian tadi seketika melintas di benaknya yang membuat Virly langsung membuka mata. Virly menatap kembali tetesan air hujan, tapi kali ini Virly tak menikmati suara air hujan yang beradu dengan genting.
Hingga bunyi pagar di buka pun membuatnya menoleh ke bawah, Virly memicing mata dengan mata minusnya, tapi matanya tetap tidak dapat melihat siapa orang tersebut.
Paling gofood yang di pesan papah, batinnya.
Suara motor yang memasuki halaman rumahnya sudah berhenti, tapi tidak ada suara ketukan pintu atau seruan dari bawah yang mengatakan bahwa dirinya adalah seorang driver online yang biasanya terdengar. Virly berjalan ke pagar pembatas. Memicing lagi matanya, terlihat samar ada seorang yang masih diam di atas motor dengan membiarkan hujan membasahi seluruh tubuhnya.
Virly mengernyit dahi penuh keheranan kepada orang tersebut. Virly lantas membalikkan badan masuk kedalam kamar dan turun ke lantai bawah untuk memastikan.
Setelah sampai di bawah, Virly langsung menuju pintu depan dan membukanya. "Mas anter makanan ya? ". Tanya Virly yang sudah di teras rumah.
Orang itu tak menjawab, Virly masih tak bisa melihat dengan jelas wajahnya karna jaraknya masih cukup jauh. Virly mulai berjalan mendekat ke ujung teras.
"Sini mas neduh dulu, nanti sakit kehujanan kaya gitu". Titahnya setelah sampai di ujung teras dan orang tersebut mendekat ke Virly.
Virly masih memicing mata hingga orang tersebut sudah tepat berada di depannya dan membuat Virly langsung membeku seketika.
"Virl--".
"Ngapain? ". Sela Virly dengan nada ketus.
Vande mengusap wajahnya saat pandangannya terhalang air hujan. "Mau jelasin".
Virly menghela nafas. Dengan mata mulai memanas tapi masih bisa dia tahan.
Vande menunduk sesaat sebelum mengangkat kepalanya lagi menatap sayu Virly. Karna Virly berdiri di ujung teras, membuatnya menjadi sejajar dengan Vande yang berada di depannya dengan hujan yang terus mengguyur tubuh Vande. "Maaf Ly, itu semua Ulah Virgo. Virgo yang buat kesepakatan itu".
"Terus? ".
Vande menghela nafas, masih terus menatap Virly yang terlihat tak tertarik mendengarkan ucapannya. "Ly maaf".
"Kenapa?".
"Virgo dan gua sayang sama Virly". Jawab pelan Vande seperti tak ikhlas.
Vande mencoba meraih tangan Virly tapi langsung di tepis sang empunya. "Gak ada yang bilang lu bahan taruhan Ly, gak ada. Hadiah motor itu karna dia nawarin setelah gua berhasil pacarin lu. Maap Ly. Waktu gua bilang lu bahan taruhan saat minta putus itu cuma buat akal-akalan biar lu setuju. Gua juga gak pacaran sama Rabel, Rabel itu sepupu dari keluarga Bunda".
Virly yang sedari tadi masih diam, menatap Vande yang terlihat sangat tertekan. Virly masih menahan air matanya agar tidak tumpah di hadapan Vande.
Virly tersenyum sinis. "Tapi perlakuan lu yang kasar kegua itu bukan suatu yang bisa dimaafkan".
"Ly, maaf. Itu cara gua biar lu jauh dari gua, cara gua buat diri gua sendiri untuk hilangin perasaan yang gak seharusnya ada Ly".
Dan kali ini Virly tak bisa lagi untuk tidak mengeluarkan air mata. Kalimat ini yang benar-benar terasa menyesakkan. "Jadi lu menyesal punya perasaan ke gua?".
"Iya".
Virly membuang muka, air matanya makin deras seiring dengan hujan yang terus mengguyur Vande.
"Gua menyesal karna ada permainan Virgo di dalamnya. Ly, kalau lu bilang sakit, gua juga sakit Ly gua juga gak mau kita put--".
"Pulang Van". Sela Virly masih membuang muka ke halaman rumah.
" Ly". Panggil Vande dengan nada lirih.
Virly menghapus air matanya, menatap lagi Vande. "Pulang".
Vande menggeleng, menarik pinggang Virly untuk mendekat dan membuatnya menjadi basah terkena hujan. Keduanya saling bertatapan, dengan kedua mata menyiratkan kesakitan bersama.
"Setelah ini lu bebas marah atau ngusir gua dari hidup lu, Ly". Vande langsung mengangkat dagu Virly dan menempelkan bibirnya dengan bibir Virly.
Virly tersentak, saraf di tubuhnya seolah membeku, pacuan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya mengepal dan mulai menutup mata saat Vande menarik pinggangnya untuk lebih memperdalam ciuman.
Tidak lama, Vande melepas ciuman nya dengan mata yang terus menatap dalam Virly yang masih memejamkan mata di depannya. "Maaf". Ucap Vande.
Virly justru menangis sambil meraung keras, Virly langsung memeluk Vande erat seolah takut Vande pergi. Vande mengeratkan dekapannya sambil terus berbisik mengucapkan kata maaf.
***
Setelah aksi hujan-hujanan, Vande dan Virly kini sudah berada di ruang tamu. Dengan Vande dan Virly yang sudah mandi dan berganti pakaian. Kepulan uap dari cangkir teh di atas meja yang menyelimuti keduanya yang masih diam saling membuang muka, canggung.
Virly memperhatikan Vande yang duduk di hadapannya memakai sweater oversize miliknya dan celana training milik papah yang sangat pas di tubuh Vande. Virly menunduk, menghela nafas sambil meremas sendiri kedua jarinya.
"Di minum Van teh nya, keburu dingin". Vande yang sedang menjelajahi ruang tamu dengan bola matanya, mencoba menyibukkan dirinya dengan menatap foto kelurga Virly, langsung menoleh ke Virly sepenuhnya sesaat sebelum beralih menatap cangkir teh yang berada di atas meja kaca, mulai mengangkatnya dan menyeruput nya perlahan.
"Vir". Panggil nya sambil meletakkan cangkir teh.
"Gak usah jelasin lagi". Virly menatap Vande dengan tatapan yang sulit di artikan. "Kemana Virgo?". Tanyanya lagi.
Vande memainkan cangkir teh dengan mengikuti lekukan bibir cangkir dengan ujung jari telunjuknya "Gak tau, lu pergi dari rumah gak lama Virgo juga pergi setelah kita berdua beradu mulut".
Dan tak ada sahutan dari Virly yang membuat keduanya di selimuti ke kecanggungan lagi.
"Vir".
"Hmm".
"Mau janji satu hal? ". Virly mengernyit penuh heran menatap Vande yang masih dengan wajah kakunya.
"Apa?". Jawab Virly.
"Harus selalu bahagia".
KAMU SEDANG MEMBACA
Vi N De | ✔
JugendliteraturMungkin benar kata pepatah "sakit hati itu kita yang buat sendiri" . Dan aku benci mengakuinya bahwa itu benar adanya. Ah mungkin, lebih tepatnya sakit perasaan. Karna hati itu salah satu organ tubuh, sedangkan perasaan itu suatu hal yang dirasa di...