Epilog

46 10 0
                                    


***

"Betterness of the past".

***

Sudah 20 menit berlalu, di meja nomer 8 tepat kedua orang yang masih saling membisu. Sang gadis memilih memperhatikan jalan raya dari jendela kaca di sampingnya, sedangkan sang lelaki memilih mengetuk-ngetuk jari di meja.

Hingga bunyi lonceng di pintu masuk membuat keduanya saling melirik. Sang gadis menyelipkan sebelah bagian rambutnya ke telinga sambil membasahi bibirnya.

"Hai". Sapa sang gadis sambil menatap cangkir kopi milik lelaki di depannya.

"Kemana aja Ly? ". Bukan balasan sapa, melainkan pertanyaan yang sangat ingin gadis itu hindari.

Virly menelan ludah susah payah, menatap manik mata lawan bicaranya yang menatapnya dalam. "Vande".

"5 tahun Ly, kalau yang lu fikir untuk mengalihkan pembicaraan ini. Gak akan pernah bisa".

Kali ini Virly menahan nafas, mendengar perkataan Vande seolah Vande sudah tau apa yang akan Virly lakukan. Virly menatap lagi jalan raya. "Ada hal yang gak harus semua orang tau, Van".

Helaan nafas gusar dari Vande sangat jelas terdengar. Tiba-tiba terkekeh yang membuat Virly menoleh.

"Enak ya jadi lu, tinggal pergi aja. Gua disini, mati-matian cari kabar lu ke semua orang yang kenal sama lu". Ucap Vande dengan datar.

"Van, seharusnya kita gak memulai lagi. Mestinya dari perpisahan itu, kita udah benar-benar berpisah".

Vande menatap jenaka Virly, seolah kata-kata Virly adalah lelucon baginya. " Kenapa lu gak bilang saat gua ajak untuk memulai lagi? Sekarang udah 5 tahun berlalu, dan lu dengan gampang bilang kaya gini".

Virly hampir aja pertahanannya runtuh. Air matanya hampir saja keluar. Virly menarik nafas dalam, mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi Vande.

"Vande, please".

Vande menggeleng kuat. "Kalau lu maksud untuk kita gak bisa bersama lagi artinya kita menjadi asing, gua gak akan pernah setuju. Lu gak bisa maksa gua. Lu tau kan perasaan gak bisa di paksa? ". Virly mengangguk mendengar ucapan Vande.

"Kalau lu mau ini benar-benar berakhir, biar gua yang akhiri. Bagaimanapun gua yang meminta untuk memulai lagi, berarti harus gua juga yang mengakhiri".

Vande membuang muka ke jendela, tak ingin menatap wajah orang yang dia rindukan hampir 5 tahun. Orang yang berhasil membuatnya gila karna menunggu kabar yang tak pernah diberikan.

"Gua akhiri ini untuk kedua kalinya. Semoga lu dan gua bahagia dengan jalan sendiri". Vande meraih tas ranselnya dan mamakainya di sebelah kanan.

"Tapi inget! jangan pernah memaksa gua untuk membenci lu, karna gua gak bisa". Dan setelah itu Vande meninggalkan Virly di cafetaria seorang diri.

Virly terus memperhatikan punggung Vande hingga menghilang. Tak lama kursi yang tadi di isi Vande berdecit, menandakan seseorang telah menempati tempat tersebut. Virly menoleh, tersenyum kepada orang di hadapannya.

"Udah selesai?". Tanya orang tersebut sambil menggulung jaket denim.

Virly mengangguk. Meraih slim bag dan memakainya. "Pergi dari sini yuk". Ajak Virly.

Orang tersebut meraih tangan Virly dan meninggalkan cafetaria. Virly melirik kearah orang yang berada sampingnya. Memperhatikan wajah orang di sampingnya yang terus menuntunnya.

Orang tersebut menlirik Virly sesaat. "Kenapa Ana?".

Virly menggeleng. "Gapapa Fattah".

Ya, harus bagaimana mana lagi selain mengikhlaskan dan melepaskan apa yang sudah terjadi. Virly sudah banyak belajar dari apa yang terjadi selama beberapa tahun ini. Bahwa tidak semua yang memiliki rasa akan berakhir bersama. Seperti yang pepatah yang pernah di dengarnya, bahwa cinta tidak harus memiliki. Dan seperti kebanyakan orang bilang, bahwa jatuh cinta itu bisa datang tanpa alasan. Berarti jika meninggalkan tanpa alasan, bukannya tidak apa-apa?

***

Tinggal menunggu extra part ya, aku berjanji di chapter itu aku akan kasih kehidupan Vande. Karna selama ini, cerita ini seolah mihak ke Virly bukan ke Vande.

Karna disini Virly memiliki happy ending versi nya, jadi aku juga akan membuat Vande memiliki happy ending versi nya juga.

Terimakasih sudah membaca❤

Vi N De | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang