Pukul 16.20, Langit yang sedang tidur terlihat menggeliat karena terganggu sinar matahari sore yang masuk lewat celah jendela. Ia membuka mata pelan, melihat Lintang sedang duduk di sofa memangku laptop, memakai headphone sambil menguyah permen karet.
"Heh, anak kecil!"
Lintang bergeming. Ia masih manggut-manggut mengikuti alunan musik melalui headphone. Jari-jarinya juga masih sibuk dengan keyboard laptop putihnya.
Sekali lagi Langit memanggil lintang tapi hasilnya sama. Ia mulai kesal, matanya melihat ke kanan kiri mencari sesuatu sampai akhirnya melihat sepiring kacang kulit di atas meja dekat ranjang.
Langit mengambil satu biji, ia lempar kearah Lintang. Lemparan pertama meleset. Lemparan kedua tepat mengenai kepala gadis itu.
"Aawwh!"
Lintang yang kaget karena merasakan sesuatu mengenai kepalanya, segera menurunkan headphone ke leher. Sambil memegang kepalanya, Lintang menoleh ke arah Langit yang menatapnya tanpa ekspresi.
"Kenapa aku ditimpuk?" Lintang memanyunkan bibirnya kesal, masih mengusap kepalanya.
"Tuh. Tutup gordyn jendela, mata aku silau." perintah Langit, kembali menutup mata dengan lengannya.
'Ini orang nggak sehat nggak sakit tetep aja nyebelin! Huh!'
Lintang beranjak dari sofa, berjalan menuju jendela. Ia menatap kearah luar, melihat matahari yang mulai turun pertanda senja sebentar lagi datang.
Lintang pun teringat janjinya. Ia keluar kamar, tak lama kembali dengan membawa kursi roda.
"Kak Langit buka matanya, ayo ikut aku." Lintang menggoyang pelan lengan kanan Langit sampai mata cowok itu terbuka.
"Kau mau menghinaku. Jalan aja nggak bisa, gimana mau ikut?" Lintang tersenyum, menarik kursi roda lebih dekat.
"Tenang, kita pakai ini." ucap Lintang semangat. Langit menatap kursi roda itu berganti menatap Lintang lalu memalingkan wajahnya.
"Aku benci benda itu."
Deg.
Lintang terdiam mendengar ucapan Langit, ucapan yang menyiratkan kekesalan akan kondisinya saat ini. Rasa bersalah Lintang kembali muncul, tenggorokannya tercekat untuk beberapa saat.
Lintang berusaha tenang, bersikap sesantai mungkin. Ia kembali duduk di tepi ranjang.
"Emang nggak bosen dua minggu di kamar terus? Aku mau ngajak kak Langit keluar biar lebih fresh. Mau ya?" Langit terdiam.
"Aku juga udah ijin dokter kok, katanya boleh. Malahan bagus buat kesehatan Kakak." Pria itu belum mau menoleh.
"Apa perlu aku minta tolong satpam buat ngangkat kak Langit ke kursi roda?" Langit masih bergeming.
"Ok. Kalau gitu aku panggil sat -"
"Kamu ini suka banget maksa."
"Jadi?"
"Ya udah buruan!"
Lintang tersenyum penuh kemenangan lalu memanggil suster. Setelah selang infus dimatikan sementara, Lintang membantu Langit menuju kursi roda.
"Hati-hati Kak. Awas kakinya."
"Jangan pegang bahu kiriku, masih sakit."
"Iya enggak."
"Itu tangan kamu."
"Cuma jaga-jaga."
"Nggak usah. Nggak akan jatuh ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
LINTANG & LANGIT
RomanceLintang Narova Emeraldi, anak baru di kampus yang belum genap 17 tahun Lintang cerdas pernah lompat kelas, sangat pemikir, berani, konsisten dan berprinsip kuat Karena sifat-sifatnya itu, dia tidak mau mengikuti ospek dan harus berhadapan dengan san...