Menjelang tengah malam, Langit membuka mata saat nahkoda kapal menyentuh bahunya. Langit buru-buru meletakkan telunjuknya di bibir sendiri saat pria itu ingin berucap. Kemudian melirik Lintang yang masih tertidur pulas di pelukannya.
Nahkoda itu mengangguk mengerti lalu berbisik ke Langit, mengingatkan mereka harus segera kembali. Langit hanya mengangguk mengerti.
Tak lama, kapal menepi di dermaga. Langit menatap wajah Lintang, tidak tega rasanya ingin membangunkan. Ia menyibakkan anak rambut di wajah gadisnya. Matanya menyipit, merasakan kulit wajah Lintang.
"Kok anget gini?" Akhirnya mau tidak mau Langit membangunkan Lintang dengan menepuk pelan pipinya. Khawatir gadis itu bukan tidur tapi pingsan.
"Lin, bangun. Hei. Kamu demam?" Mata Lintang enggan terbuka, hanya tangannya yang bergerak mengeratkan jaket Langit yang ia pakai. Sukurlah Lintang nggak pingsan.
"Enggak papa kak. Cuma makin dingin aja angin disini." Langit merutuki dirinya sendiri. Saking bahagianya dia sampai lupa Lintang hanya memakai celana pendek di atas lutut. Walaupun tubuhnya sudah memakai jaket, tetap saja pasti kakinya kedinginan.
Langit langsung menggendong tubuh Lintang, turun dari kapal.
"Aku masih bisa jalan kak."
"Aku juga masih kuat kalau cuma gendong kamu." Masih semaunya sendiri ternyata pujaan hati Lintang ini. Ya sudah, Lintang langsung mengalungkan tangannya ke leher Langit. Dikasih enak kok nolak.
Sampai di dalam mobil, Langit membuka laci dashboard-nya. Mengambil obat.
"Kamu minum obat dulu ya. Kebetulan aku selalu bawa persediaan obat di mobil."
"Nggak usah kak."
"Dulu kamu nolak obat dan besoknya kebablasan sakit. Sekarang udah, buruan minum. Aku nggak mau kamu sakit lagi." Lintang menerima obat dan botol air mineral tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Langit.
"Iya diminum. Nggak usah gitu juga kali ngeliatnya." Padahal Lintang cuma nggak mau Langit melihat dia yang terpesona karena perhatian dan tatapannya. Lintang kan suka lemah dengan tatapan 'kakak manisnya'.
Akhirnya pria itu membenarkan posisi duduknya.
"Dari dulu kamu nggak berubah. Tiap aku nyatain cinta pasti berakhir dengan kamu nya sakit. Gimana nanti kalau kita udah nikah? Bisa lemes kamu sampai nggak bisa bangun dari tempat tidur gara-gara aku." Lintang hampir menyemburkan air yang belum sepenuhnya tertelan. Ia langsung memukul lengan Langit yang ingin menyalakan mobil.
"Kok dipukul?"
"Kak Langit pikirannya-"
"Pikiran aku kenapa?"
"Itu."
"Itu apa?"
"Ya itu."
"Apa sih? Aku kan cuma nyamain kamu yang dulu sakit setelah aku nyatain cinta, sama sekarang kamu juga demam setelah kita di kapal. Dan bisa jadi kalau kita udah nikah trus aku bilang cinta tiap hari, kamu jadi banyakan tidur di kamar karena sakit. Itu maksudku."
Lintang langsung menggigit bibirnya, malu sudah salah mengartikan kalimat Langit. Kirain lemes karena yang lain. Astagfirullah mikir apa kamu Lin.
"Sebenarnya kamu kenapa sih? Apa ini efek demam?"
"Hah, enggak." Lintang menjauhkan tangan Langit dari keningnya. Ya kali Lintang ngaku kalau dia sudah berpikiran liar.
"Trus?"
"Nggak papa."
"Ya maaf kalau kamu kesinggung. Sebenarnya aku juga cuma bercanda Lin. Aku tau kamu demam bukan karena pernyataan cinta aku. Tapi karena kelamaan kena angin malam. Apalagi di atas kapal dengan celana pendek gitu." Lintang hanya menyengir.
KAMU SEDANG MEMBACA
LINTANG & LANGIT
RomanceLintang Narova Emeraldi, anak baru di kampus yang belum genap 17 tahun Lintang cerdas pernah lompat kelas, sangat pemikir, berani, konsisten dan berprinsip kuat Karena sifat-sifatnya itu, dia tidak mau mengikuti ospek dan harus berhadapan dengan san...