Setelah mendapat kabar dari Lintang, Dona memajukan jadwal terbangnya ke Bali. Ia juga mengajak Surya dan tak lupa mengabari Andro yang kebetulan sedang berada di Singapura.
Pasangan suami istri itu berjalan cepat di lorong rumah sakit menuju ruang rawat Lintang. Pintu terbuka, Dona langsung memeluk putrinya yang sedang berbaring.
"Gimana keadaan kamu Sayang?"
"Baik mam. Tapi kak Langit..." Dona kembali memeluk Lintang yang terisak. Surya menyipitkan mata melihat ada yang aneh dengan wajah putrinya. Ia sedikit menunduk, meraih dagu Lintang.
"Pipi kamu kenapa merah begini Sayang?" sebelah tangan Lintang menyentuh pipinya.
"Ditampar Gina, Pap." Detik itu juga tangan Surya mengepal.
"Jadi benar anaknya Indra yang melakukan semua ini sama kalian?" Lintang mengangguk. Sebelumnya dia memang sudah menceritakan kejadian yang menimpa keluarga kecilnya melalui telfon. Hanya garis besarnya saja karena Lintang kembali menangis jika mengingat kejadian tadi pagi.
"Lalu dimana dia sekarang?" sambung Surya.
"Tadi sebelum ke rumah sakit kak Langit udah minta tolong temannya - Dito buat bawa Gina ke kantor polisi."
"Trus apa kata Dito? Apa dia udah kesini buat kasih kabar?" Lintang menggeleng.
"Lintang nggak tau pap. Lintang nggak mikirin itu. Lintang cuma takut... takut kak Langit kenapa-napa.... sampai sekarang kak Langit masih di ruang operasi. Lintang takut." Dona mempererat pelukannya.
"Udah pap. Nanti aja bahas masalah ini." Dona tau Surya pasti marah besar melihat Lintang dan Langit menjadi korban dari dendamnya Indra Kusuma. Tapi tidak tepat rasanya membahas masalah ini sekarang ditengah emosi Lintang yang belum stabil.
Surya menatap keadaan putrinya sendu, berganti menatap cucunya yang masih tertidur di box. Harusnya sekarang Lintang dan Langit sedang berbahagia menyambut kelahiran putra pertama mereka. Tapi keadaannya malah seperti ini.
"Papi ke tempat Langit dulu ya." Dona yang masih menenangkan Lintang hanya mengangguk.
"Lintang takut Mam." Ibu baru itu kembali terisak. Dona mengusap pipi basah Lintang, merapikan rambutnya.
"Papi udah disana menunggu Langit. Kamu harus yakin semua akan baik-baik aja. Jangan berhenti berdoa ya." Lintang tidak menjawab, ia hanya mempererat pelukan ibunya.
Suara tangisan bayi membuyarkan keharuan itu. Dona menoleh, melihat cucunya menggeliat di box bayi sebelah ranjang Lintang. Ia tersenyum lebar, mengusap sudut matanya. Terlalu kalut dengan keadaan Lintang membuatnya lupa kalau sudah ada cucunya di ruangan itu.
"Kamu harus kuat Sayang. Demi Langit, demi anak kalian." Dengan mata sembab, Lintang menatap bayinya yang masih menangis. Lintang tertegun sejenak. Dona benar, ia harus kuat. Terutama untuk bayinya yang saat ini sangat membutuhkannya.
"Duh duh duh cucu eyang, ganteng banget sih." Dona mengambil bayi berbalut kain biru muda itu dari tempatnya. Menimangnya sayang, menciumnya gemas. Bayi merah itu masih terus menangis di gendongan neneknya.
"Siniin Mam. Udah waktunya dia minum ASI."
"ASI kamu udah keluar?"
"Baru sedikit. Tapi kata dokter harus terus dipancing dengan menyusui si adek biar ASInya bisa keluar lancar." Susah payah Lintang memiringkan badan untuk memberi ruang pada bayinya. Dona membantu memegangi tubuh cucunya yang sudah berada di samping Lintang.
"Uluhh uluuhh kesayangan mama... kamu haus ya..." Bayi merah itu terus menangis karena belum menemukan sumber makanannya.
"Iya sayang... ini mama... minum ya." Lintang terus membimbing putranya dan akhirnya berhasil.
KAMU SEDANG MEMBACA
LINTANG & LANGIT
RomanceLintang Narova Emeraldi, anak baru di kampus yang belum genap 17 tahun Lintang cerdas pernah lompat kelas, sangat pemikir, berani, konsisten dan berprinsip kuat Karena sifat-sifatnya itu, dia tidak mau mengikuti ospek dan harus berhadapan dengan san...