Pintu terbuka, Langit membulatkan mata melihat Lintang berbaring di tempat tidur dengan tubuh yang menggigil hebat. Lintang memegangi ujung selimut yang menutupi tubuhnya sebatas leher dengan wajah pucat.
"Astaga Lintang!" Langit langsung mendekati gadis kecilnya, menjatuhkan tongkatnya kasar ke lantai lalu duduk di tepi ranjang.
"Lin kamu kenapa?"
"Di-dingin kak." Satu tangan Langit meraih tangan Lintang, menggenggamnya. Ia letakkan punggung tangannya yang lain ke kening dan leher gadis itu.
"Ya Allah badan kamu panas banget Lin. Kamu demam tinggi." Langit mengeratkan selimut Lintang, mengusap kening dan rambutnya.
"Tunggu bentar ya. Aku mau panggil dokter."
"Nggak usah kak. Aku tadi udah beli obat, ada di tas." Langit langsung menoleh kearah meja belajar dan melihat tas Lintang. Ia segera meraih tas itu, membuka isinya.
"Nggak ada Lin."
"Ada kak. Coba cek lagi." Langit kembali mencari obat yang dimaksud tapi tetap tidak ada. Bahkan dia sampai membawa tas itu ke tempat tidur untuk diperlihatkan pada Lintang.
"Kemana obatnya? Kenapa bisa nggak ada?" gumam Lintang.
"Udah udah nggak usah dipikirin. Kamu tunggu bentar ya, aku panggil dokter dulu." Lintang menahan tangan Langit.
"Jangan pergi kak."
"Tapi Lin-"
"Please. Aku takut sendiri."
Langit menatap wajah pucat Lintang. Ia jadi tidak tega meninggalkan Lintang sendiri. Langit akhirnya mengangguk, kembali duduk di tepi ranjang. Ia genggam tangan Lintang yang terasa panas.
"Iya. Aku nggak akan pergi." Lintang hanya tersenyum kecil. Tangan lain Langit merogoh ponsel dari saku celana pendeknya.
"Halo pak Ujang?"
"Iya mas."
"Tolong bawain handuk kecil dan air untuk mengompres ke kamar atas ya pak. Sekalian panggilin dokter. Lintang sakit pak."
"Ya Allah mbak Lintang sakit? Iya mas iya, sebentar lagi saya kesana." Langit meletakkan ponselnya lalu merapikan selimut dan mendekatkan guling di sebelah Lintang.
"Sabar ya. Bentar lagi dokter datang. Kamu harus kuat. Jangan bikin aku khawatir kayak gini." Lintang tersenyum kecil merasakan usapan lembut Langit di puncak kepalanya. Ia bisa melihat kekhawatiran dari wajah pria itu.
"Kak Langit udah minum obat?"
"Kamu ini lagi sakit masih aja mikirin aku. Apa kamu sesayang itu sama aku?"
"Kaak." Langit tersenyum sendu.
"Iya, nanti aku minum obat kalau kondisi kamu udah membaik. Sekarang udah jangan banyak ngomong dulu, tubuh kamu masih menggigil."
"Makin kerasa sakitnya kalau aku diam aja." Langit menggenggam tangan Lintang dengan kedua tangan.
"Aku usap-usap ya biar hangat dan enakan."
"Tubuh aku udah lebih dari hangat. Telur ditaruh di kening juga kayaknya bisa matang." Langit terkekeh mendengar ucapan Lintang, terlebih dengan suaranya yang sedikit serak karena batuk.
"Tapi kalau kehangatan dari tangan aku bisa sampai ke hati tau." Gantian Lintang yang terkekeh lemah. Tapi ia menikmati usapan lembut kedua tangan pria itu di tangannya.
Tak lama pak Ujang datang membawa kompresan.
"Makasih ya pak."
"Sama-sama mas. Saya juga udah telfon dokter, sebentar lagi beliau datang. Mbak Lintang yang sabar ya." Lintang mengangguk sebelum pria paruh baya itu berlalu keluar kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
LINTANG & LANGIT
RomanceLintang Narova Emeraldi, anak baru di kampus yang belum genap 17 tahun Lintang cerdas pernah lompat kelas, sangat pemikir, berani, konsisten dan berprinsip kuat Karena sifat-sifatnya itu, dia tidak mau mengikuti ospek dan harus berhadapan dengan san...